Konflik lahan antara warga Dusun Pondokasem, desa Kedungasri, kec. Tegaldlimo, Kab. Banyuwangi dengan Perum Perhutani
JAWA TIMUR, KAB. BANYUWANGI
Nomor Kejadian
:
09-03-2021
Waktu Kejadian
:
01-03-2021
Konflik
:
Hutan Produksi
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Hutan Produksi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
5.669,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
3.121 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- KLHK
- ATR/BPN
- Perum Perhutani KPH banyuwangi selatan
- warga Dusun Pondokasem
- Pemerintah Desa Kedungasri
KONTEN
GAMBARAN SINGKAT KONFLIK TENURIAL ANTARA WARGA PONDOKASEM DENGAN PERUM PERHUTANI
1. GAMBARAN UMUM DUSUN PONDOKASEM
Secara admninistratif Dusun Pondokasem merupakan bagian dari Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Wilayah Dusun Pondokasem berbatasan langsung dengan kawasan hutan produksi, yang dikelola oleh KPH Banyuwangi selatan dan perairan Teluk Pangpang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kalipait, sebelah barat berbatasan dengan dusun Dam Buntung dan sebelah utara berbatasan dengan Dusun Persen.
Wilayah Dusun Pondokasem terbagi menjadi 2 Rukun Warga (Rw. 005, 006) dan 7 Rukun Tetangga (Rt. 026, 027, 028, 029, 030, 031, 032). Dusun Pondokasem mempunyai luas permukiman 91 Ha dan luas lahan Pertanian 1,25 Ha. Berdasarkan buku RPJMDES jumlah penduduk Dusun Pondokasem mencapai 3121 jiwa, dengan perincian sebagai berikut;
No DUSUN RW RT Jumlah Penduduk Jumlah
(L + P)
L P
1 PONDOKASEM 2 07 940 1181 3121
Sebagian besar penduduk Dusun Pondokasem sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Kegiatan pertanian dilakukan pada kawasan pertanian yang terbagi dalam wilayah hak kepemilikan pribadi dan hak guna pakai di kawasan hutan produksi. Rata rata penduduk Pondokasem memanfaatkan lahan di hutan produksi, hal itu disebabkan karena kepemilikan tanah pribadi yang rendah (landless). Ketergantungan terhadap kawasan hutan sangatlah tinggi karena hanya di wilayah hutan mereka bisa melakukan aktivitas untuk mencari nafkah untuk keluarga. Rata-rata petani hutan menggarap lahan hutan berkisar dari 0.25 ha-.0.50 ha, namun juga ada yang menggarap sampai dengan 1 ha di lahan babatan. Di sektor pertanian ini masyarakat bercocok tanam dengan sistem tumpangsari, yaitu sebuah metode yang cukup efektif untuk menanam jagung, padi, kedelai, palawija dan tanaman lain diantara tanaman pokok kehutanan. Tanaman tersebut menjadi komoditas yang penting bagi petani penggarap karena hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Selain bertani, penduduk juga memanfaatkan potensi hutan dengan melakukan rencek kayu sisa sisa tebangan, menjadi buruh tebang, buruh tani, nelayan dan sebagainya.
Di sektor perikanan, banyak warga Pondokasem yang bekerja menjadi nelayan di teluk Pangpang. Para nelayan ini melakukan kegiatannya di sekitar ddi Teluk Pangpang dan ada yang sampai Selat Bali, dengan menggunakan perahu. Hampir setiap hari para nelayan ini mencari ikan, kerang, udang dan kepiting di teluk. Biasanya mereka akan berangkat saat lampek (air pasang) di pagi hari dan pulang di sore hari atau berangkat pada malam hari dan pulang pada pagi hari. Para nelayan ini memiliki alat tangkap yang beragam, mulai dari dengan menjala, banjang sero, slondo, bubu, mancing dan lain sebagainya.
Untuk mendukung kegiatan perekonomian warga, banyak penduduk Pondokasem yang memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing. Rata rata setiap keluarga memiliki satu atau dua sapi, ada yang memelihara ternak sapi dengan sistem gaduh. Sistem gaduh ini lazim digunakan di wilayah ini, hal itu dikarenakan bisa saling menguntungkan antara si penggaduh dan pemilik sapi. Biasanya si penggaduh berlatar belakang ekonomi menengah kebawah merasa diuntungkan dengan adanya sistem bagi hasil sampai dnegan 50% dari hasil keuntungan dan masih mempunyai hak untuk mengelola kotoran ternak, seperti sebagai pupuk ataupun dijual.
Di sektor sosial budaya, masyarakat Dusun Pondokasem memiliki masyarakat yang beragam baik dari kebudayaan maupun agama, hal itu dibuktikan dengan relaitas mayarakatnya yang berlatar belakang asal dari berbagai daerah dan memiliki beberapa religi yang dianut, seperti Islam, Hindu, Budha dan Kristen. Dengan latar yang beragam masyarakat Dusun Pondokasem dikenal memiliki jiwa toleransi antar warga masyarakat yang tinggi dan tidak pernah membeda-bedakan antara satu agama dengan agama lain, oleh sebab itu hubungan antar kelompok dan agama dapat terjalin dengan baik.
Selain kerukunan yang terjaga, masyarakatnya mempunyai tradisi yang sampai sekarang masih ada, yaitu sayan atau gotong royong. Tradisi ini masih terjaga dengan baik terutama pada saat ada warga yang punya gawe, seperti hajatan daur hidup, membangun rumah, jalan dan sebagainya.
2. SEJARAH DUSUN PONDOKASEM
Menurut cerita rakyat, Dusun Pendokasem awalnya adalah wilayah perladangan. Para penggarap ladang (peladang) yang berasal dari desa-desa (pemukiman) di sekitarnya membuat satu ‘pondok’ atau gubuk kerja sebagai tempat istirahat. Mereka bekerja dari pagi di ladangnya, istirahat di pondok dan pulang ke rumah pada sore hari. Bahkan beberapa diantaranya ada yang tinggal berhari-hari di pondok tersebut. Secara kebetulan pondok atau gubuk tempat istirahat tersebut berada di dekat satu batang pohon asem yang sangat rindang. Lambat laun, tempat perladangan tersebut disebut sebagai pondokasem, yang artinya pondok di dekat pohon asem. Seiring perkembangan waktu, jumlah pondok semakin bertambah dan semakin banyak yang membawa keluarganya dan menetap di kawasan tersebut.
Berdasarkan keterangan beberapa warga yang sudah sudah berusia tua, keberadaan dusun Pondokasem telah ditinggali sejak tahun 1941 atau sejak jaman Jepang, namun ada juga yang mengatakan bahwa sejak jaman Kolonial Belanda sudah ada yang meninggali di wilayah ini. Cikal bakal penduduk dusun ini rata rata bekerja sebagai pembabat alas atau buruh di hutan yang kemudian mendapatkan lahan garapan dan lahan untuk tinggal. Dari informasi yang ada para penduduk ini datang dari berbagai daerah seperti, Yogyakarta, Solo, Malang, Blitar dan lain sebagainya.
Dari cerita mbah Bakir (warga generasi pertama di dusun Pondokasem), pada awalnya wilayan ini merupakan alas yang kemudian dibabat, dengan tanamannya sempu dan alang alang. Awalnya yang membabat ada 16 orang, seperti Pak Supar dan yang lainnya sudah meninggal. Ia mengatakan bahwa mereka tinggal di wilayah Pondokasem karena diberikan oleh Bos Faisen (Boschwezen) dan sering disebut ndoro yang bertugas sebagai mantri kehutanan. Mereka bersama dengan orang orang Kalipait dipanggil untuk diberikan tawaran seberapa mampu menggarap tanah. “ wong Pondokasem kekuatane babat sepira? Orang Pondokasem diberikan seprapat (seperempat) ya†kemudian gong dipukul sebagai kesepakatan bahwa setiap warga yang tinggal di Pondokasem mendapatkan lahan sebesar 0.25 ha. Tanah tersebut kemudian ditinggali dari dahulu sampai dengan sekarang.(Wawancara mbah Bakir April 2017).
Dari penuturan Mbah Sukiman yang sudah tinggal sejak tahun 1945an, di Pondok asem sudah ada beberapa yang tinggal tapi belum banyak. Waktu itu penduduk Pondokasem diberikan tanah seperempat ha oleh Boss Wakker (Boschwakker), pegawai Kehutanan. Mereka dipesani supaya tanah yang diberikan ini boleh diwariskan tetapi tidak boleh dijualbelikan. Penduduk diberikan tanah supaya ikut membantu “ngayah memberi pakan sepur†(kerja bakti memberikan makanan kereta api, yaitu kayu kayu yang dibakar).
Tanah Pondokasem ini dari awal dibuka sebagai permukiman tidak pernah sekalipun ada program penanaman, karena mereka diserahi lahan tersebut namun diberi kewajiban untuk merawat tanaman di hutan atau siap bekerja di hutan. Mereka diperkejakan juga sebagai buruh tebang kayu jati dan kemudian mengangkat kedalam alat angkut kayu (sepur) yang ada saat itu.
Pada awalnya Dusun Pondokasem di bawah pemerintahan administratif desa Kedungwungu, namun seiring bertambahnya penduduk, maka pada tahun 1969 pemerintahan Desa Kedungwungu di pecah menjadi 2 desa. Pecahan tersebut terdiri dari satu desa induk yaitu Desa Kedungwungu dan satu desa pecahan yaitu Desa Kedungasri. Desa Kedungasri terdiri dari 3 dusun, yaitu Dusun Persen, Dusun Dambuntung dan Dusun Pondokasem. Setelah menjadi desa tersendiri, Mbak Bores selaku kepala desa pada waktu itu banyak melakukan pembenahan seperti pembangunan insfrastruktur, yang dilakukan secara bergotong royong melibatkan warga desa. Mbah Bores juga melakukan pendataan sistem pertanahannya, tanah-tanah milik warga dicatat dalam buku administrasi desa dan kemudian diajukan untuk bisa membayar pajak. Hal itu dilakukan supaya warga desa mendapatkan pengakuan dan hak yang sama, tak terkecuali untuk Dusun Pondokasem.
Sejak jamannya mbah Bores, warga diusahakan untuk mendapatkan haknya, seperti dengan membayar tumpi. Bukti penguat lainnya bahwa adanya pengakuan warga Pondokasem tinggal sejak jaman Jepang dapat dilihat dalam sebuah surat keterangan Tanda Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Daerah Kehutanan Banyuwangi Selatan dengan ditandatangani oleh Bupati Kdh Kabupaten Banywangi Selatan, an Pjs. Kepala Sub Direktorat Agraria, Soekiman B. A. Tanda Penda Pendaftaran ini memuat keterangan nama dalam surat tersebut sudah menduduki sejak tahun 1941.
3. PERMASALAHAN AGRARIA : KEJELASAN STATUS TANAH DUSUN PONDOKASEM
Saat ini sengketa tanah antara Pemerintah Desa Kedungasri dan Perum Perhutani masih terjadi. Perum Perhutani mengakui bahwa dusun Pondokasem masuk di dalam peta kerja perum perhutani ( Tenorial ), sementara itu Pemerintah desa juga mempunyai peta desa dan latter C, yang menyatakan bahwa keberadaan dusun Pondokasem masuk di dalam adminitrasi desa kedungasri. Dengan adanya sengketa status tanah ini mengakibatkan ada beberapa hambatan pembangunan kawasan desa dan kejelasan status tanah yang menjadi hak warga masyarakat.
Akibat langsung dari ketidakjelasan status tanah ini menyebabkan warga tidak bisa mengurus sertifikat tanah karena BPN tidak mau mengeluarkan keputusan, padahal segala persyaratan sudah dipenuhi. Alasan yang dikemukakan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) mengatakan wilayah dusun pondokasem desa Kedungasri kecamatan Tegaldlimo, tanah pemukiman seluas 72 Ha, yang diajukan kepada BPN terkait dengan permohonan pembuatan sertifikat, oleh kepala ukur di sarankan untuk menyelasaikan batas wilayah dengan Perum Perhutani, mengingat wilayah tersebut menurut Perum Perhutani adalah kawasan Tenurial .
Hal tersebut tentu sangat merugikan warga, karena disisi lain segala persyaratam untuk mengajukan Permohonan sertifika sudah sangat komplit. Seperti adanya; SPPT, Kerawangan Latter C, Petok Persil, KK dan KTP, bahkan dari pihak PPATS kecamatan Tegaldlimo, dan dari pihak DISPENDA sudah mengakui kebenaranya dan pengajuan kepada BPN. sudah di lakukan, ketika menunggu hasil ukur dari pihak BPN tidak pernah keluar hasil ukur tersebut (di pending) oleh kepala ukur BPN,
Permasalahan terjadi pada saat adanya program pemerintah terkait PTSL, ketika masyarakat ingin mengajukan program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap), pihak BPN menyarankan penundaan pengajuan program tersebut, di karenakan wilayah yang akan di ajukan masih berada di dalam wilayah kehutanan, padahal di lihat dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan hak kepemilikan tanah, yang harusnya bisa di ikut sertakan dalam program PTSL di tunda oleh pihak BPN.
Untuk itu dengan adanya kebijakan dari negara dengan adanya Perpres 88 tahun 2017 dan Inpres 8 tahun 2018 terkait dengan cara cara penyelesaian persoalan kawasan permukiman di wilayah kehutanan, diharapkan adanya percepatan penyelesaian sehingga hak-hak warga negara yang sudah sekian lama tinggal disitu dan turut aktif membayar pajak juga terakomodir kepentinganya.
4. SARANA DAN PRASARANA DUSUN PONDOKASEM
Selama menjadi sebuah permukiman terjadi pengembangan pengembangan sarana insfrastruktur yang ada di dusun ini. mulai dari bentuk perumahan yang awalnya masih terbuat dari kayu, kini kebanyakan sudah permanen semua. Kemudian seiring terjadi pertambahan penduduk, dibangunlah sarana umum seperti jalan, Tempat Ibadah, Sekolah dan fasilitas lainnya.
a. Sarana Prasarana Jalan
Berdasarkan pengamatan di lapangan sebagian besar kontruksi jalan Dusun Pondokasem sudah cukup baik, dengan jalan utama dusun pondokasem sudah aspal dan setiap rumah sudah bisa di akses dengan mudah, dengan menggunakan kendaraan Roda 2 maupun kendaraan Roda 4.
b. Fasilitas Pendidikan
Dusun pondokasem memiliki fasilitas pendidikan berupa 2 Taman Kanak-kanak dan 1 Sekolah Dasar, yang dimanfaatkan dengan baik oleh warga Dusun Pondokasem. Selain pendidikan formal ada juga pendidikan non – formal yaitu ada 3 Taman Pendidikan Qur’an dan 1 Pondok Pesantren.
c. Fasilitas Keamanan
Fasilitas untuk menjaga kemanan ada 4 Pos Ronda.
d. Fasilitas Ibadah
Di dusun ini terdapat tempat Ibadah di Dusun Pondokasem ada 3 Masjid 3 Mushola dan 3 Pura.
e. Perumahan warga
Lembaga Arupa- Jogjakarta
LAMPIRAN
JAWA TIMUR, KAB. BANYUWANGI
Nomor Kejadian | : | 09-03-2021 |
Waktu Kejadian | : | 01-03-2021 |
Konflik | : | Hutan Produksi |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Hutan Produksi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 5.669,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 3.121 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- KLHK
- ATR/BPN
- Perum Perhutani KPH banyuwangi selatan
- warga Dusun Pondokasem
- Pemerintah Desa Kedungasri
KONTEN
GAMBARAN SINGKAT KONFLIK TENURIAL ANTARA WARGA PONDOKASEM DENGAN PERUM PERHUTANI
1. GAMBARAN UMUM DUSUN PONDOKASEM
Secara admninistratif Dusun Pondokasem merupakan bagian dari Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Wilayah Dusun Pondokasem berbatasan langsung dengan kawasan hutan produksi, yang dikelola oleh KPH Banyuwangi selatan dan perairan Teluk Pangpang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kalipait, sebelah barat berbatasan dengan dusun Dam Buntung dan sebelah utara berbatasan dengan Dusun Persen.
Wilayah Dusun Pondokasem terbagi menjadi 2 Rukun Warga (Rw. 005, 006) dan 7 Rukun Tetangga (Rt. 026, 027, 028, 029, 030, 031, 032). Dusun Pondokasem mempunyai luas permukiman 91 Ha dan luas lahan Pertanian 1,25 Ha. Berdasarkan buku RPJMDES jumlah penduduk Dusun Pondokasem mencapai 3121 jiwa, dengan perincian sebagai berikut;
No DUSUN RW RT Jumlah Penduduk Jumlah
(L + P)
L P
1 PONDOKASEM 2 07 940 1181 3121
Sebagian besar penduduk Dusun Pondokasem sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Kegiatan pertanian dilakukan pada kawasan pertanian yang terbagi dalam wilayah hak kepemilikan pribadi dan hak guna pakai di kawasan hutan produksi. Rata rata penduduk Pondokasem memanfaatkan lahan di hutan produksi, hal itu disebabkan karena kepemilikan tanah pribadi yang rendah (landless). Ketergantungan terhadap kawasan hutan sangatlah tinggi karena hanya di wilayah hutan mereka bisa melakukan aktivitas untuk mencari nafkah untuk keluarga. Rata-rata petani hutan menggarap lahan hutan berkisar dari 0.25 ha-.0.50 ha, namun juga ada yang menggarap sampai dengan 1 ha di lahan babatan. Di sektor pertanian ini masyarakat bercocok tanam dengan sistem tumpangsari, yaitu sebuah metode yang cukup efektif untuk menanam jagung, padi, kedelai, palawija dan tanaman lain diantara tanaman pokok kehutanan. Tanaman tersebut menjadi komoditas yang penting bagi petani penggarap karena hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Selain bertani, penduduk juga memanfaatkan potensi hutan dengan melakukan rencek kayu sisa sisa tebangan, menjadi buruh tebang, buruh tani, nelayan dan sebagainya.
Di sektor perikanan, banyak warga Pondokasem yang bekerja menjadi nelayan di teluk Pangpang. Para nelayan ini melakukan kegiatannya di sekitar ddi Teluk Pangpang dan ada yang sampai Selat Bali, dengan menggunakan perahu. Hampir setiap hari para nelayan ini mencari ikan, kerang, udang dan kepiting di teluk. Biasanya mereka akan berangkat saat lampek (air pasang) di pagi hari dan pulang di sore hari atau berangkat pada malam hari dan pulang pada pagi hari. Para nelayan ini memiliki alat tangkap yang beragam, mulai dari dengan menjala, banjang sero, slondo, bubu, mancing dan lain sebagainya.
Untuk mendukung kegiatan perekonomian warga, banyak penduduk Pondokasem yang memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing. Rata rata setiap keluarga memiliki satu atau dua sapi, ada yang memelihara ternak sapi dengan sistem gaduh. Sistem gaduh ini lazim digunakan di wilayah ini, hal itu dikarenakan bisa saling menguntungkan antara si penggaduh dan pemilik sapi. Biasanya si penggaduh berlatar belakang ekonomi menengah kebawah merasa diuntungkan dengan adanya sistem bagi hasil sampai dnegan 50% dari hasil keuntungan dan masih mempunyai hak untuk mengelola kotoran ternak, seperti sebagai pupuk ataupun dijual.
Di sektor sosial budaya, masyarakat Dusun Pondokasem memiliki masyarakat yang beragam baik dari kebudayaan maupun agama, hal itu dibuktikan dengan relaitas mayarakatnya yang berlatar belakang asal dari berbagai daerah dan memiliki beberapa religi yang dianut, seperti Islam, Hindu, Budha dan Kristen. Dengan latar yang beragam masyarakat Dusun Pondokasem dikenal memiliki jiwa toleransi antar warga masyarakat yang tinggi dan tidak pernah membeda-bedakan antara satu agama dengan agama lain, oleh sebab itu hubungan antar kelompok dan agama dapat terjalin dengan baik.
Selain kerukunan yang terjaga, masyarakatnya mempunyai tradisi yang sampai sekarang masih ada, yaitu sayan atau gotong royong. Tradisi ini masih terjaga dengan baik terutama pada saat ada warga yang punya gawe, seperti hajatan daur hidup, membangun rumah, jalan dan sebagainya.
2. SEJARAH DUSUN PONDOKASEM
Menurut cerita rakyat, Dusun Pendokasem awalnya adalah wilayah perladangan. Para penggarap ladang (peladang) yang berasal dari desa-desa (pemukiman) di sekitarnya membuat satu ‘pondok’ atau gubuk kerja sebagai tempat istirahat. Mereka bekerja dari pagi di ladangnya, istirahat di pondok dan pulang ke rumah pada sore hari. Bahkan beberapa diantaranya ada yang tinggal berhari-hari di pondok tersebut. Secara kebetulan pondok atau gubuk tempat istirahat tersebut berada di dekat satu batang pohon asem yang sangat rindang. Lambat laun, tempat perladangan tersebut disebut sebagai pondokasem, yang artinya pondok di dekat pohon asem. Seiring perkembangan waktu, jumlah pondok semakin bertambah dan semakin banyak yang membawa keluarganya dan menetap di kawasan tersebut.
Berdasarkan keterangan beberapa warga yang sudah sudah berusia tua, keberadaan dusun Pondokasem telah ditinggali sejak tahun 1941 atau sejak jaman Jepang, namun ada juga yang mengatakan bahwa sejak jaman Kolonial Belanda sudah ada yang meninggali di wilayah ini. Cikal bakal penduduk dusun ini rata rata bekerja sebagai pembabat alas atau buruh di hutan yang kemudian mendapatkan lahan garapan dan lahan untuk tinggal. Dari informasi yang ada para penduduk ini datang dari berbagai daerah seperti, Yogyakarta, Solo, Malang, Blitar dan lain sebagainya.
Dari cerita mbah Bakir (warga generasi pertama di dusun Pondokasem), pada awalnya wilayan ini merupakan alas yang kemudian dibabat, dengan tanamannya sempu dan alang alang. Awalnya yang membabat ada 16 orang, seperti Pak Supar dan yang lainnya sudah meninggal. Ia mengatakan bahwa mereka tinggal di wilayah Pondokasem karena diberikan oleh Bos Faisen (Boschwezen) dan sering disebut ndoro yang bertugas sebagai mantri kehutanan. Mereka bersama dengan orang orang Kalipait dipanggil untuk diberikan tawaran seberapa mampu menggarap tanah. “ wong Pondokasem kekuatane babat sepira? Orang Pondokasem diberikan seprapat (seperempat) ya†kemudian gong dipukul sebagai kesepakatan bahwa setiap warga yang tinggal di Pondokasem mendapatkan lahan sebesar 0.25 ha. Tanah tersebut kemudian ditinggali dari dahulu sampai dengan sekarang.(Wawancara mbah Bakir April 2017).
Dari penuturan Mbah Sukiman yang sudah tinggal sejak tahun 1945an, di Pondok asem sudah ada beberapa yang tinggal tapi belum banyak. Waktu itu penduduk Pondokasem diberikan tanah seperempat ha oleh Boss Wakker (Boschwakker), pegawai Kehutanan. Mereka dipesani supaya tanah yang diberikan ini boleh diwariskan tetapi tidak boleh dijualbelikan. Penduduk diberikan tanah supaya ikut membantu “ngayah memberi pakan sepur†(kerja bakti memberikan makanan kereta api, yaitu kayu kayu yang dibakar).
Tanah Pondokasem ini dari awal dibuka sebagai permukiman tidak pernah sekalipun ada program penanaman, karena mereka diserahi lahan tersebut namun diberi kewajiban untuk merawat tanaman di hutan atau siap bekerja di hutan. Mereka diperkejakan juga sebagai buruh tebang kayu jati dan kemudian mengangkat kedalam alat angkut kayu (sepur) yang ada saat itu.
Pada awalnya Dusun Pondokasem di bawah pemerintahan administratif desa Kedungwungu, namun seiring bertambahnya penduduk, maka pada tahun 1969 pemerintahan Desa Kedungwungu di pecah menjadi 2 desa. Pecahan tersebut terdiri dari satu desa induk yaitu Desa Kedungwungu dan satu desa pecahan yaitu Desa Kedungasri. Desa Kedungasri terdiri dari 3 dusun, yaitu Dusun Persen, Dusun Dambuntung dan Dusun Pondokasem. Setelah menjadi desa tersendiri, Mbak Bores selaku kepala desa pada waktu itu banyak melakukan pembenahan seperti pembangunan insfrastruktur, yang dilakukan secara bergotong royong melibatkan warga desa. Mbah Bores juga melakukan pendataan sistem pertanahannya, tanah-tanah milik warga dicatat dalam buku administrasi desa dan kemudian diajukan untuk bisa membayar pajak. Hal itu dilakukan supaya warga desa mendapatkan pengakuan dan hak yang sama, tak terkecuali untuk Dusun Pondokasem.
Sejak jamannya mbah Bores, warga diusahakan untuk mendapatkan haknya, seperti dengan membayar tumpi. Bukti penguat lainnya bahwa adanya pengakuan warga Pondokasem tinggal sejak jaman Jepang dapat dilihat dalam sebuah surat keterangan Tanda Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Daerah Kehutanan Banyuwangi Selatan dengan ditandatangani oleh Bupati Kdh Kabupaten Banywangi Selatan, an Pjs. Kepala Sub Direktorat Agraria, Soekiman B. A. Tanda Penda Pendaftaran ini memuat keterangan nama dalam surat tersebut sudah menduduki sejak tahun 1941.
3. PERMASALAHAN AGRARIA : KEJELASAN STATUS TANAH DUSUN PONDOKASEM
Saat ini sengketa tanah antara Pemerintah Desa Kedungasri dan Perum Perhutani masih terjadi. Perum Perhutani mengakui bahwa dusun Pondokasem masuk di dalam peta kerja perum perhutani ( Tenorial ), sementara itu Pemerintah desa juga mempunyai peta desa dan latter C, yang menyatakan bahwa keberadaan dusun Pondokasem masuk di dalam adminitrasi desa kedungasri. Dengan adanya sengketa status tanah ini mengakibatkan ada beberapa hambatan pembangunan kawasan desa dan kejelasan status tanah yang menjadi hak warga masyarakat.
Akibat langsung dari ketidakjelasan status tanah ini menyebabkan warga tidak bisa mengurus sertifikat tanah karena BPN tidak mau mengeluarkan keputusan, padahal segala persyaratan sudah dipenuhi. Alasan yang dikemukakan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) mengatakan wilayah dusun pondokasem desa Kedungasri kecamatan Tegaldlimo, tanah pemukiman seluas 72 Ha, yang diajukan kepada BPN terkait dengan permohonan pembuatan sertifikat, oleh kepala ukur di sarankan untuk menyelasaikan batas wilayah dengan Perum Perhutani, mengingat wilayah tersebut menurut Perum Perhutani adalah kawasan Tenurial .
Hal tersebut tentu sangat merugikan warga, karena disisi lain segala persyaratam untuk mengajukan Permohonan sertifika sudah sangat komplit. Seperti adanya; SPPT, Kerawangan Latter C, Petok Persil, KK dan KTP, bahkan dari pihak PPATS kecamatan Tegaldlimo, dan dari pihak DISPENDA sudah mengakui kebenaranya dan pengajuan kepada BPN. sudah di lakukan, ketika menunggu hasil ukur dari pihak BPN tidak pernah keluar hasil ukur tersebut (di pending) oleh kepala ukur BPN,
Permasalahan terjadi pada saat adanya program pemerintah terkait PTSL, ketika masyarakat ingin mengajukan program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap), pihak BPN menyarankan penundaan pengajuan program tersebut, di karenakan wilayah yang akan di ajukan masih berada di dalam wilayah kehutanan, padahal di lihat dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan hak kepemilikan tanah, yang harusnya bisa di ikut sertakan dalam program PTSL di tunda oleh pihak BPN.
Untuk itu dengan adanya kebijakan dari negara dengan adanya Perpres 88 tahun 2017 dan Inpres 8 tahun 2018 terkait dengan cara cara penyelesaian persoalan kawasan permukiman di wilayah kehutanan, diharapkan adanya percepatan penyelesaian sehingga hak-hak warga negara yang sudah sekian lama tinggal disitu dan turut aktif membayar pajak juga terakomodir kepentinganya.
4. SARANA DAN PRASARANA DUSUN PONDOKASEM
Selama menjadi sebuah permukiman terjadi pengembangan pengembangan sarana insfrastruktur yang ada di dusun ini. mulai dari bentuk perumahan yang awalnya masih terbuat dari kayu, kini kebanyakan sudah permanen semua. Kemudian seiring terjadi pertambahan penduduk, dibangunlah sarana umum seperti jalan, Tempat Ibadah, Sekolah dan fasilitas lainnya.
a. Sarana Prasarana Jalan
Berdasarkan pengamatan di lapangan sebagian besar kontruksi jalan Dusun Pondokasem sudah cukup baik, dengan jalan utama dusun pondokasem sudah aspal dan setiap rumah sudah bisa di akses dengan mudah, dengan menggunakan kendaraan Roda 2 maupun kendaraan Roda 4.
b. Fasilitas Pendidikan
Dusun pondokasem memiliki fasilitas pendidikan berupa 2 Taman Kanak-kanak dan 1 Sekolah Dasar, yang dimanfaatkan dengan baik oleh warga Dusun Pondokasem. Selain pendidikan formal ada juga pendidikan non – formal yaitu ada 3 Taman Pendidikan Qur’an dan 1 Pondok Pesantren.
c. Fasilitas Keamanan
Fasilitas untuk menjaga kemanan ada 4 Pos Ronda.
d. Fasilitas Ibadah
Di dusun ini terdapat tempat Ibadah di Dusun Pondokasem ada 3 Masjid 3 Mushola dan 3 Pura.
e. Perumahan warga
Lembaga Arupa- Jogjakarta