Konflik Petani Pesisir Selatan Kulon Progo dengan PT JMI (Tambang Pasir)
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, KAB. KULON PROGO
Nomor Kejadian
:
05_IM
Waktu Kejadian
:
17-11-2008
Konflik
:
Pasir Besi
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Pertambangan
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
2.987,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
21.322 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Kementerian ESDM
- Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
- Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
- PT JMI
- Rajawali Group
- Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel
KONTEN
Kementrian ESDM pada 4 November 2008, melalui siaran pressnya dengan nomer : 64/HUMAS DESDM/2008 menyatakan, telah dilakukan penandatanganan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT Jogja Magasa Iron (PT JMI) untuk mengusahakan bahan galian pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan “Integrated Iron Making Industryâ€. Kontrak karya ini merupakan kontrak karya generasi VII+ yang merupakan kontrak karya pertama sejak penandatanganan kontrak karya generasi ke VII, pada tahun 1998 dan juga merupakan yang pertama ada di Pulau Jawa dan kontrak karya pertama yang akan mengusahakan bahan galian pasir besi. Naskah Kontrak Karya tersebut telah mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan telah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sedangkan komposisi kepemilikan saham PT Jogja Magasa Iron adalah PT Jogja Magasa Mining (Indonesia) sebesar 30% dan Indo Mines Limited (Australia) sebesar 70%. dan pada tahun kepemilikan PT Jogja Magasa Iron (JMI) telah beralih tangan  menjadi milik Rajawali Grup. setelah Rajawali Group membeli sebanyak 250 juta saham baru Indo Mines seharga Aus $ 50 juta ,dengan  pembelian saham yang dilakukanya maka PT Rajawali menguasai 57, 12% Indo Mine Ltd. sedangkan cadangan besi yang terdapat dalam pasir besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Cadangan besi diperoleh dari konsentrat pasir besi. Proyek ini akan menambang bahan galian pasir besi (iron sand) dengan sistem tambang terbuka untuk diolah melalui proses konsentrasi dan smelting untuk memproduksi pig iron (besi kasar) dengan kandungan Fe>94%. Hingga saat ini PT JMI hanya mampu memabnagun Pilot Project (Proyek Percontohan) di desa Trisik dan Glagah, yang kondisinya dalam keadaan terlantar.
Lahan konsesi pertambangan seluas 2.987 hektar merupakan lahan yang menjadi kehidupan masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mata pencaharian. Lahan itu terdiri dari 75 persen lahan milik warga yang bersertifikat leter A, B, dan C, serta 25 persen tanah merah (tanah negara dan Paku Alam Ground). namun secara sepihak Pakualaman menyatakan bahwa secara keseluruhan lokasi rencana penambangan seluas 22 km x 1,8 km merupakan tanah yang dimiliki oleh Paku Alaman (Paku Alaman Ground), peryataan ini tertuang dalam dokumen UKL UPL Pilot Project , dokumen Australia Kimberly Diamond, 3 November 2005. Rencana pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo berada di sepanjang pesisir pantai selatan Kulon Progo, yang membujur dari arah barat (muara Sungai Bogowonto) ke timur (muara Sungai Progo) yang dibatasi oleh Jalan Daendels. Wilayah administratif kawasan pesisir Kulon Progo terdiri dari 4 (empat) kecamatan dan terbagi menjadi 10 desa, yakni Kecamatan Temon  (Desa Jangkaran, Desa Sindutan, Desa Palihan, dan Desa Glagah), Kecamatan Wates (Desa Karangwuni), Kecamatan Panjatan (Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel), Kecamatan Galur (Desa Banaran dan Desa Karangsewu).
Keberadaan Tanah kadipaten atau tanah Paku alaman Ground, statusnya diperkuat dengan adanya Undang - Undang nomor 13 tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daearah Yogyakarta, dalam pasal 32 disebutkan bahwa Kesultanan dan Kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan di daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas Tanah Kadepaten, selain itu keberadaan Tanah Kesultanan dan kadipaten juga tercantum dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, Perda Istimewa No 1 Tahuh 2017 tentang Pengelolahan dan Pemanfaatan Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten serta Perda Istimewa No 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kesultanan dan Kadipaten. Dengan kondisi tersebut, di Daerah Istimewa Yogyakarta keberadaan tanah swapraja mendapatkan legalitasnya kembali, yang sebelumnya telah ditiadakan melalui berlakukanya UUPA sepenuhnya di Yogyakarta pada 1 april 1985, berdasarkan Keppres No 33 Tahun 1984 dan mulai berlaku secara efektif semenjak tanggal 24 September 1984 berdasarkan SK Mendagri No 66 Tahun 1984. Pasal 1 Keppres 33/1984 . meyatakan bahwa. “ Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tantang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta†dan kedudukan hapusya swapraja diperkuat oleh Perda DIY No 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Sepenuhnya Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk memastikan legitimasi Kontrak Karya pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo Yogyakarta, Pemerintah menyiapkan beberapa aturan hukumnya salah satunya adalah mengubah perda RTRW Kulon Progo, di Perda No 1 tahun 2003 RTRW Kulon Progo tidak terdapat kawasan pertambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai Kulon Progo, pada perda perubahananya yaitu Perda No 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulon Progo di pasal 48 ayat 4 huruf e terdapat kawasan pertambangan di pesisir Kulon Progo, namun keberadaan Kontrak Karya PT JMI untuk penambangan pasir besi sudah ada sebelum perubahan Perda RTRW tersebut.
Diatas lahan yang akan direncanakan untuk menjadi kawasan pertambangan tersebut terdapat 21.322 Jiwa yang tergusur dan wilayah tersebut memiliki potensi melimpah mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata. Misalkan pada sektor pertanian dengan luas lahan 1000 m2 Â atau 0,1 ha, hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai mencapai Rp 2.250.000,00 per bulan. Di kawasan pesisir Kulon Progo terdapat 25 kelompok tani dengan masing-masing kelompok tani rata-rata beranggotakan 100 orang petani sehingga total anggota kelompok tani adalah 2500 petani. Jika satu kepala keluarga petani terdiri dari empat orang maka 10.000 warga masyarakat kehidupannya sangat bergantung pada hasil pertanian. Total pendapatan bersih kawasan pesisir Kulon Progo dari pertanian lahan pantai adalah Rp 5.625.000.000,00 per bulan (Rp 2.250.000,00 x 2500 orang). Sangat menunjang kesejahteraan petani lahan pantai (Shiddieq, 2008).
Untuk dapat mempertahankan hak serta akses atas tanahnya yang produktif, petani penolak tambang yang tergambung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) dengan melakukakan serangkain aksi, berikut beberapa contoh rangkaian aksi yang pernah dilakukan PPLP. Seperti pada tanggal 27 Agustus 2007, Petani melakukan pendudukan di kantor DPRD Kabubapten Kulon Progo selama tiga hari, dan aksi tersebut ditanggapi oleh Bupati serta Ketua DPRD Kulon Progo, dengan statmen (dalam bentuk pernyataan resmi bermaterai yang ditandatangani) akan membatalkan proyek penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo dan mendukung perjuangan penolakan pertabangan pasir besi dan jika terjadi pengingkaran tersebut sesuai pernyataan akan bersedia mundur dari jabatan. Namun dalam perjalananya Bupati dan ketua DPRD membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. Atas pengingkaran tersebut pada 1 Maret 2008, warga Bugel melakukan aksi pemblokiran jalan menuju pesisir untuk kepentingan pengankutan bahan material untuk pembangunan Pilot Project. Pada 23 - 25 Oktober 2008, masyarakat pesisir menduduki kantor DPRD Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek penambangangan pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran HAM, namun tidak ada tanggapan dari pihak DPRD Kulon Progo, selanjutnya PPLP-KP meminta bantuan LBH Yogyakarta untuk mengirimkan pengaduan ke Komnasham RI untuk memintah kepada Komnasham terkait kejelasan sikap Gubernur DIY dan Pemda Kulon Progo atas aspek HAM pada keberadaan proyek pertamabnagan, dan pada tanggal 23 - 25 Oktober 2008, komnasham yang telah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan , menyebutkan rencana proyek pembangunan pasir besi di Kulon Progo sanagat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM, khususnya pada (1). Hak atas tanah, (2). Hak atas pekerjaan, (3). Hak atas rasa aman, (4) Hak atas informasi dan (5) Hak atas Petani. Upaya politik lainnya yang dilakukan oleh PPLP - KP bersama Forum Sekolah Bersama (SEKBER) adalah melakukan aksi mogok makan di kantor DPRD Propinsi DIY selama 15 hari pada bulan september 2011, dengan tuntutan pembebasan atas Tukijo, petani dan anggota PPLP- KP yang dikriminalisasi dengan hukuman 3 tahun penjara karena penolakan atas tambang dan penghentian atas penambangan pasir besi di Kulon Progo, namun aksi tersebut tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Selain itu untuk menghentikan akses modal PT JMI, PPLP-KP mengirimkan surat kepada World Bank (yang berencana berinvestasi untuk Pasir Besi ) pada 6 November 2011 dengan nomor surat 105/ PPLP-KP/XI/2011, yang isinya prihal tentang penjelasan belum selesainya konflik pertanahan, sosial di pesisir Kulon Progo terkait penambangan pasir besi oleh PT JMI.
LBH Yogyakarta, PPLPKP, Forum Sekolah Bersama
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, KAB. KULON PROGO
Nomor Kejadian | : | 05_IM |
Waktu Kejadian | : | 17-11-2008 |
Konflik | : | Pasir Besi |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Pertambangan |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 2.987,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 21.322 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Kementerian ESDM
- Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
- Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
- PT JMI
- Rajawali Group
- Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel
KONTEN
Kementrian ESDM pada 4 November 2008, melalui siaran pressnya dengan nomer : 64/HUMAS DESDM/2008 menyatakan, telah dilakukan penandatanganan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT Jogja Magasa Iron (PT JMI) untuk mengusahakan bahan galian pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan “Integrated Iron Making Industryâ€. Kontrak karya ini merupakan kontrak karya generasi VII+ yang merupakan kontrak karya pertama sejak penandatanganan kontrak karya generasi ke VII, pada tahun 1998 dan juga merupakan yang pertama ada di Pulau Jawa dan kontrak karya pertama yang akan mengusahakan bahan galian pasir besi. Naskah Kontrak Karya tersebut telah mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan telah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sedangkan komposisi kepemilikan saham PT Jogja Magasa Iron adalah PT Jogja Magasa Mining (Indonesia) sebesar 30% dan Indo Mines Limited (Australia) sebesar 70%. dan pada tahun kepemilikan PT Jogja Magasa Iron (JMI) telah beralih tangan  menjadi milik Rajawali Grup. setelah Rajawali Group membeli sebanyak 250 juta saham baru Indo Mines seharga Aus $ 50 juta ,dengan  pembelian saham yang dilakukanya maka PT Rajawali menguasai 57, 12% Indo Mine Ltd. sedangkan cadangan besi yang terdapat dalam pasir besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Cadangan besi diperoleh dari konsentrat pasir besi. Proyek ini akan menambang bahan galian pasir besi (iron sand) dengan sistem tambang terbuka untuk diolah melalui proses konsentrasi dan smelting untuk memproduksi pig iron (besi kasar) dengan kandungan Fe>94%. Hingga saat ini PT JMI hanya mampu memabnagun Pilot Project (Proyek Percontohan) di desa Trisik dan Glagah, yang kondisinya dalam keadaan terlantar.
Lahan konsesi pertambangan seluas 2.987 hektar merupakan lahan yang menjadi kehidupan masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mata pencaharian. Lahan itu terdiri dari 75 persen lahan milik warga yang bersertifikat leter A, B, dan C, serta 25 persen tanah merah (tanah negara dan Paku Alam Ground). namun secara sepihak Pakualaman menyatakan bahwa secara keseluruhan lokasi rencana penambangan seluas 22 km x 1,8 km merupakan tanah yang dimiliki oleh Paku Alaman (Paku Alaman Ground), peryataan ini tertuang dalam dokumen UKL UPL Pilot Project , dokumen Australia Kimberly Diamond, 3 November 2005. Rencana pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo berada di sepanjang pesisir pantai selatan Kulon Progo, yang membujur dari arah barat (muara Sungai Bogowonto) ke timur (muara Sungai Progo) yang dibatasi oleh Jalan Daendels. Wilayah administratif kawasan pesisir Kulon Progo terdiri dari 4 (empat) kecamatan dan terbagi menjadi 10 desa, yakni Kecamatan Temon  (Desa Jangkaran, Desa Sindutan, Desa Palihan, dan Desa Glagah), Kecamatan Wates (Desa Karangwuni), Kecamatan Panjatan (Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel), Kecamatan Galur (Desa Banaran dan Desa Karangsewu).
Keberadaan Tanah kadipaten atau tanah Paku alaman Ground, statusnya diperkuat dengan adanya Undang - Undang nomor 13 tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daearah Yogyakarta, dalam pasal 32 disebutkan bahwa Kesultanan dan Kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan di daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas Tanah Kadepaten, selain itu keberadaan Tanah Kesultanan dan kadipaten juga tercantum dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, Perda Istimewa No 1 Tahuh 2017 tentang Pengelolahan dan Pemanfaatan Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten serta Perda Istimewa No 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kesultanan dan Kadipaten. Dengan kondisi tersebut, di Daerah Istimewa Yogyakarta keberadaan tanah swapraja mendapatkan legalitasnya kembali, yang sebelumnya telah ditiadakan melalui berlakukanya UUPA sepenuhnya di Yogyakarta pada 1 april 1985, berdasarkan Keppres No 33 Tahun 1984 dan mulai berlaku secara efektif semenjak tanggal 24 September 1984 berdasarkan SK Mendagri No 66 Tahun 1984. Pasal 1 Keppres 33/1984 . meyatakan bahwa. “ Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tantang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta†dan kedudukan hapusya swapraja diperkuat oleh Perda DIY No 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Sepenuhnya Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk memastikan legitimasi Kontrak Karya pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo Yogyakarta, Pemerintah menyiapkan beberapa aturan hukumnya salah satunya adalah mengubah perda RTRW Kulon Progo, di Perda No 1 tahun 2003 RTRW Kulon Progo tidak terdapat kawasan pertambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai Kulon Progo, pada perda perubahananya yaitu Perda No 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulon Progo di pasal 48 ayat 4 huruf e terdapat kawasan pertambangan di pesisir Kulon Progo, namun keberadaan Kontrak Karya PT JMI untuk penambangan pasir besi sudah ada sebelum perubahan Perda RTRW tersebut.
Diatas lahan yang akan direncanakan untuk menjadi kawasan pertambangan tersebut terdapat 21.322 Jiwa yang tergusur dan wilayah tersebut memiliki potensi melimpah mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata. Misalkan pada sektor pertanian dengan luas lahan 1000 m2 Â atau 0,1 ha, hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai mencapai Rp 2.250.000,00 per bulan. Di kawasan pesisir Kulon Progo terdapat 25 kelompok tani dengan masing-masing kelompok tani rata-rata beranggotakan 100 orang petani sehingga total anggota kelompok tani adalah 2500 petani. Jika satu kepala keluarga petani terdiri dari empat orang maka 10.000 warga masyarakat kehidupannya sangat bergantung pada hasil pertanian. Total pendapatan bersih kawasan pesisir Kulon Progo dari pertanian lahan pantai adalah Rp 5.625.000.000,00 per bulan (Rp 2.250.000,00 x 2500 orang). Sangat menunjang kesejahteraan petani lahan pantai (Shiddieq, 2008).
Untuk dapat mempertahankan hak serta akses atas tanahnya yang produktif, petani penolak tambang yang tergambung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) dengan melakukakan serangkain aksi, berikut beberapa contoh rangkaian aksi yang pernah dilakukan PPLP. Seperti pada tanggal 27 Agustus 2007, Petani melakukan pendudukan di kantor DPRD Kabubapten Kulon Progo selama tiga hari, dan aksi tersebut ditanggapi oleh Bupati serta Ketua DPRD Kulon Progo, dengan statmen (dalam bentuk pernyataan resmi bermaterai yang ditandatangani) akan membatalkan proyek penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo dan mendukung perjuangan penolakan pertabangan pasir besi dan jika terjadi pengingkaran tersebut sesuai pernyataan akan bersedia mundur dari jabatan. Namun dalam perjalananya Bupati dan ketua DPRD membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. Atas pengingkaran tersebut pada 1 Maret 2008, warga Bugel melakukan aksi pemblokiran jalan menuju pesisir untuk kepentingan pengankutan bahan material untuk pembangunan Pilot Project. Pada 23 - 25 Oktober 2008, masyarakat pesisir menduduki kantor DPRD Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek penambangangan pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran HAM, namun tidak ada tanggapan dari pihak DPRD Kulon Progo, selanjutnya PPLP-KP meminta bantuan LBH Yogyakarta untuk mengirimkan pengaduan ke Komnasham RI untuk memintah kepada Komnasham terkait kejelasan sikap Gubernur DIY dan Pemda Kulon Progo atas aspek HAM pada keberadaan proyek pertamabnagan, dan pada tanggal 23 - 25 Oktober 2008, komnasham yang telah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan , menyebutkan rencana proyek pembangunan pasir besi di Kulon Progo sanagat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM, khususnya pada (1). Hak atas tanah, (2). Hak atas pekerjaan, (3). Hak atas rasa aman, (4) Hak atas informasi dan (5) Hak atas Petani. Upaya politik lainnya yang dilakukan oleh PPLP - KP bersama Forum Sekolah Bersama (SEKBER) adalah melakukan aksi mogok makan di kantor DPRD Propinsi DIY selama 15 hari pada bulan september 2011, dengan tuntutan pembebasan atas Tukijo, petani dan anggota PPLP- KP yang dikriminalisasi dengan hukuman 3 tahun penjara karena penolakan atas tambang dan penghentian atas penambangan pasir besi di Kulon Progo, namun aksi tersebut tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Selain itu untuk menghentikan akses modal PT JMI, PPLP-KP mengirimkan surat kepada World Bank (yang berencana berinvestasi untuk Pasir Besi ) pada 6 November 2011 dengan nomor surat 105/ PPLP-KP/XI/2011, yang isinya prihal tentang penjelasan belum selesainya konflik pertanahan, sosial di pesisir Kulon Progo terkait penambangan pasir besi oleh PT JMI.
LBH Yogyakarta, PPLPKP, Forum Sekolah Bersama
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |