DATA DETIL
Konflik Antara Petani dengan HGU PTPN XII Kalibakar, Malang

 JAWA TIMUR, KAB. MALANG

Nomor Kejadian :  21-03-2022
Waktu Kejadian :  01-03-2022
Konflik :  PTPN
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  4.846,52 Ha
Dampak Masyarakat  :  13.000 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemkab Malang
  • Pemda kecamatan Dampit, Ampelgading, dan Tirtoyudho
  • Direktorat Agraria Provinsi Jawa TImur
  • PTPN XII Kalibakar
  • Petani/Warga Kecamatan Dampit, Ampelgading, dan Tirtoyudho

KONTEN

Hampir 27 tahun konflik lahan antara petani dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PTPN XII, Kabupaten Malang, Jawa Timur belum juga usai. Padahal, area HGU perkebunan PTPN XII telah berakhir sejak tahun 2013 lalu. Sementara, warga di tiga kecamatan Dampit, Ampelgading, dan Tirtoyudho telah menggarap lahan di Kalibakar sejak tahun 1942, tepatnya ketika pendudukan
kolonial Jepang di Indonesia.

Beberapa upaya untuk memperoleh lahan garapan telah dicoba oleh warga. Mulai dari aksi pendudukan yang dilakukan oleh warga sendiri atau reclaiming hingga audiensi bersama elite Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kabupaten Malang. Sayangnya, pemerintah Indonesia masih belum memiliki komitmen politik untuk melepaskan lahan yang kini tidak lagi dikuasai.

Sejarah konflik agraria bermula ketika lahan garapan yang telah lama dikuasai oleh warga petani Kalibakar sejak tahun 1942 silam, diambil alih oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Tindakan pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini, tidak terlepas dari kerumitan mengenai konsep status penguasaan dan kepemilikan tanah. PTPN XII dalam hal ini sebagai perwujudan dari eksistensi negara, mendominasi kepemilikan tanah di tiga kecamatan tersebut. Sementara, rata-rata penguasaan tanah pada rumah tangga petani di ketiga kecamatan hanya sebesar 0,2 hektar. Penguasaan tanah yang sempit membuat warga tidak mampu melakukan proses produksi dan reproduksi yang baik. Ditambah lagi, terjeratnya warga tani berlahan sempit melalui mekanisme hutang-piutang kepada rentenir sebagai strategi bertahan hidup, pada akhirnya membawa mereka masuk ke dalam spiral kemiskinan yang semakin pelik.

Mulyani (2006) menjabarkan riwayat penguasaan tanah di Kalibakar sejak tahun 1959. Dimana pada tahun inilah dimulai awal babak konflik antara rakyat Kalibakar dengan Pemerintah yang diwakili oleh BUMN. Waktu itu pemerintah Republik Indonesia mengambil alih bekas hak erpfacht empat perkebunan milik Belanda melalui instrumen Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 Jo Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1959 Jo PP No. 19 Tahun 1959. Sementara, pengurusan dan pengelolaan Kawasan diberikan kepada Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru melalui SK Menteri Pertanian No. 49/UM/1959: 17 – 4 – 1959. Setelah itu, melalui PP No. 170/1961 kawasan HGU diberikan hak kelola kepada PPN Jatim VI. Dikemudian hari, PPN Jatim VI berubah nama menjadi PPN Aneka Tanaman XII, yang diikuti dengan diterbitkannya PP No. 27 Tahun 1963, dan berubah kembali menjadi PNP XIII melalui PP No. 14 Tahun 1968. Setelah itu, dari PNP XIII terjadi perubahan bentuk organisasi pengelola kembali dengan nama PTP XXII (Persero) melalui PP No. 8 Tahun 1971. Kini, PTP XXII (Persero) berubah nama kembali menjadi PTPN XII.

Pada tahun 1986 PTP XXII mengajukan permohonan HGU atas kawasan hak erfpacht di empat area perkebunan bekas Belanda, yakni pada area: Nv. Mij te Exploitatie Van Land Petung Ombo, Nv Mij te Exploitatite Van Het Land Sumber
Telogo, Nv. Cultuur Mij Kalibakar dan Nv. Zuid Freanger Rubber Mij, yang luasnya kurang lebih 4.826, 84 hektar. Keempat bekas perkebunan Belanda ini terletak di Kecamatan Ampelgading, Tirtoyudho, dan Dampit, Kabupaten Malang.
Melalui Surat Keputusan HGU No. 49/HGU/88 yang telah dikeluarkan oleh MENDAGRI pada tanggal 18 Juni 1988, PTP XXII melakukan pendaftaran dan pengajuan permohonan pengukuran tanah di Kantor Agraria Kabupaten Malang.
Setelah pengukuran kadastral, luas lahan garapan menjadi sebesar 1.936,733 hektar dengan sertifikat HGU No. 1 dan No. 2 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Sedangkan area sisanya seluas 2.776,34 hektar sebagai objek landreform oleh pemerintah yang harus didistribusikan kepada masyarakat setempat. Padahal sejak tahun 1980 – 1987, untuk keseluruhan area bekas persil milik Belanda tersebut telah diajukan permohonan hak kepemilikan oleh warga Kalibakar lebih dahulu melalui mekanisme program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA).

Pengambilalihan tanah bekas hak erfpacht oleh negara tersebut memukul harapan rakyat Kalibakar. karena menurut rakyat, tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka, yang dirampas oleh Belanda dengan mekanisme Hak erfpacht. Sementara itu, rakyat Klaibakar sedang menunggu habisnya masa hak erfpacht tersebut. Ironisnya, ketika rakyat sedang menunggu dengan sabar, lantas pemerintah Indonesia mengambil alih tanah tersebut, tanpa persetujuan dari rakyat.

Rakyat berusaha untuk menjelaskan sejarah tanah versi rakyat ke pemerintah, namun selalu tidak menemui titik temu. Lantaran pemerintah Indonesia enggan menerima sejarah penguasaan versi rakyat, 38 tahun kemudian sejak pemerintah mengklaim tanah rakyat, rakyat Kalibakar melakukan tindakan pendudukan di wilayah HGU milik PTPN XII tersebut. Pada tanggal 25 Desember 1997 babat masal pertama dimulai pada area perkebunan KAKAO di dalam Kawasan Desa Simojayan. Aksi terus dilakukan hingga pertengahan 1998. Aksi pendudukan warga Kalibakar juga didukung oleh kebijakan musyawarah desa untuk mengambil tanah warga yang menguasai tanah lebih dari satu hektar, untuk digunakan sebagai tanah kas desa yang disebut sebagai tanah ganjaran.

Sebelumnya, pada tahun 1958 warga tani telah meminta kepada PTPN untuk mengembalikan tanah mereka, sesuai dengan perjanjian secara lisan yang dibuat pada tahun 1951. Tapi, pihak perkebunan tidak menanggapi permohonan warga.
Warga merasa bahwa tanah yang masih dikuasai oleh PTPN merupakan tanah TT atau tanah Titi Tsoro, atau tanah bengkok desa. Alhasil, aksi pendudukan
perkebunan secara sepihak dilakukan oleh warga atas inisiatif secara kolektif.

Selain aksi pendudukan, warga Kalibakar juga melakukan berbagai macam cara. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Astawa (2015) menunjukkan beberapa aksi perlawanan tersebut: Pertama, rakyat Kalibakar melakukan unjuk rasa di depan kantor BPN dan PTPN XII untuk meminta bukti-bukti prosedur perpanjangan izin HGU yang telah dikeluarkan BPN, guna pemeriksaan kecacatan prosedur perpanjangan HGU milik PTPN XII. Kedua, meminta dukungan Bupati dan DPRD dalam perjuangan memperoleh hak atas tanah. Ketiga, meminta bantuan LBH sebagai kuasa hukum untuk menghadapi reaksi PTPN XII. Keempat, membentuk Panitia Permohonan Hak Atas Tanah (PPHAT) dan melengkapi syarat administrasi permohonan hak atas tanah. Kelima, memperkuat jaringan sosial dengan desa-desa lain untuk memperjuangkan hak atas tanah. Keenam, membentuk jaringan kerja sosial warga yang mempunyai masalah pertanahan dengan PTPN XII dalam wadah juang bernama Forum Komunikasi Petani (FORKOTMAS), Ketujuh, bergabungnya warga dengan organisasi tani tingkat provinsi Jawa Timur, yakni Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI). Kedelapan, mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Menteri Agraria atau Kepala BPN dan ditembuskan surat tersebut disampaikan kepada DPR-RI.

Pada tanggal 12 Oktober 1998 dan 21 Oktober 1998 telah dilakukan mediasi antara warga Kalibakar dengan pihak PTPN XII. Mediasi pertama dilakukan oleh Bakorstanasda Jawa Timur di Makorem. Hasil mediasi berbunyi: Pertama, perkebunan sebagai aset negara dan menghentikan Tindakan pembabatan dan pendudukan tanah. Kedua, PTPN XII memberikan program pengelolaan lahan berupa kemitraan dengan nama Kerjasama Usaha Tani (KUT). Mediasi pertama tidak menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Mediasi kedua dilakukan di kantor DPRD II Malang, dengan hasil warga menolak kesepakatan yang diusulkan oleh PTPN XII. Warga tetap bersikap ingin memiliki hak atas tanah secara sah, karena bagi mereka, tanah tersebut merupakan tanah rakyat yang diambil secara sepihak oleh negara pasca hak erfpacht perkebunan Belanda habis.

Setelah mediasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil, Menteri Pertanian dan Agraria atau Kepala BPN melalui Surat No. 540.1-1956 tanggal 1 Maret 1999 mengatakan menolak membagikan tanah-tanah kepada para petani dan lebih memilih untuk menawarkan pola kemitraan pengelolaan perkebunan kepada para petani. Keputusan Menteri ini mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah dan DPR-RI Komisi XI yang diikuti dengan terbitnya surat No. PW.06/5061/DPRRI/2000 yang berbunyi mendukung PTPN XII melakukan rehabilitasi kebun melalui pola kemitraan dengan warga, dan menolak warga memperoleh hak atas tanah dengan pola “kekerasan”.

Belum cukup dengan putusan surat Kepala BPN yang membuat warga menderita, pada tanggal 15 Desember 2015, PTPN XII melaporkan 37 warga tani ke pihak kepolisian. Warga dituduh penyerobotan lahan, tindak pidana perusakan dan/atau menggunakan tanah tanpa seizin PTPN XII. Warga dikenakan pasal 167 dan pasal 385 KUHP dan UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014. Meskipun laporan telah terima pihak kepolisian, namun hingga kini belum ada proses hukum yang berjalan. Warga Kalibakar juga masih menggarap di atas lahan eks HGU tersebut. Walaupun, hingga hari ini tidak ada alas hak kepemilikan atas tanah. Menurut portal online berita Kumparan.com pada tanggal 25 Februari 2019, sekitar 13 ribu petani masih menggarap lahan bekas HGU PTPN XII untuk kebutuhan pertanian dan hidup sehari-hari.

Upaya penyelesaian konflik agraria antara PTPN XII dengan warga Kalibakar pada tahun 2016 pernah dicoba ditawarkan. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) wilayah Jawa Timur, pernah mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) melalui organisasi FORKOTMAS Kalibakar. KPA mengusulkan agar wilayah kawasan bekas HGU PTPN XII yang telah habis masa berlakunya segera di redistribusi. Namun, menurut Izudin sebagai koordinator KPA wilayah Jawa Timur, Pemerintah Pusat tidak memiliki komitmen politik yang tegas. Ketidakjelasan untuk menyelesaikan konflik agraria tidak hanya terjadi pada kasus Kalibakar. Kasus serupa juga mengalami kebuntuan penyelesaian, khususnya ketika berhadapan dengan BUMN.


https://sajogyo-institute.org/wp-content/uploads/2022/01/Riset-RA-Kalibakar.pdf

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--