DATA DETIL
Konflik Warga Pesisir Bukit dengan Taman Nasional Kerinci Seblat

 JAMBI, KAB. KERINCI

Nomor Kejadian :  008ARC
Waktu Kejadian :  12-12-1988
Konflik :  Taman Nasional
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Hutan Konservasi
Sektor Lain  :  hutan suaka alam, hutan wisata, hutan lindung, dan hutan produksi terbatas
Luas  :  246,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • DPRD Kerinci Tahun 1988
  • Gubernur Jambi Tahun 1988
  • BPN
  • Kementrian Kehutanan

KONTEN

Pesisir Bukit merupakan sebuah desa di wilayah Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Berdasarkan UU No. 5/1979, tahun 1982 Pesisir Bukit ditetapkan menjadi sebuah desa yang terdiri dari enam dusun: Ulu Jernih, Tala Lindung, Dunung Pandang, Sungai Keruh, Air Tepesut, dan Harapan Jaya. Semula daerah di Pesisir Bukit bernama Sungai Keruh Jaho.

Lahan di Sungai Keruh Jaho, area yang kini termasuk Desa Pesisir Bukit, telah dibuka sejak sekitar tahun 1930-an. Ninik Mamak, semacam pemuka adat, dari daerah sekitar, mengerahkan rakyat untuk membuka lahan di Sungai Keruh Jaho karena lahan di tempat asalnya sudah tidak mencukupi lagi. Sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda juga telah membuka lahan di sana. Mereka menanam aneka tanaman yang laku di pasar ketika itu. Misalnya, cengkeh, kopi, tembakau, dan kayu manis. Hingga Belanda angkat kaki tahun 1942, penduduk yang tinggal di area tersebut terbilang tidak begitu banyak secara kuantitas.

Sekitar tahun 1943, fasis Jepang masuk ke wilayah Kerinci. Seluruh pangan penduduk diambil paksa untuk kebutuhan logistik perang. Daerah Siulak Deras, Seiulak Gedang, Siulak Mukai, Semurup, dan sekitarnya, mengalami kekurangan bahan pangan bahkan hingga kelaparan. Melihat hal tersebut, Ninik Mamak melakukan musyawarah adat yang hasilnya adalah mengarahkan anak-kemenakan membuka lahan persawahan dan perkebunan baru ke daerah Pesisir Bukit, yang sebelumnya telah dirintis beberapa orang warganya.

Setelah Indonesia merdeka, pembukaan lahan oleh penduduk mengalami peningkatan. Lahirlah pemukiman dan lahan pertanian permanen, tidak lagi bersifat darurat atau seperti rumah peladangan (humo). Puluhan tahun berselang, pada 1974, Bupati Kerinci Rusdi Sayuti mencanangkan daerahnya menjadi daerah penghasil kayu manis untuk meningkatkan pendapatan daerah. Sebuah SK diterbitkan yang isinya menetapkan bahwa setiap bujang yang ingin menikah harus membuka hutan atau tanah yang terlantar untuk ditanami kayu manis. Hal itu mendorong rakyat terus memperluas lahan dan pindah ke daerah-daerah baru. Jalan-jalan baru pun dibangun untuk memudahkan akses dan mobilitas penduduk. Sejak mendapat status desa pada 1982, pengakuan hak milik rakyat semakin kuat, terlebih ketika rakyat tercatat sebagai pembayar pajak PBB.

Pada 14 Oktober 1982, terbit SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/1982, tentang penetapan kawasan Kerinci Seblat sebagai Taman Nasional. SK itu juga memutuskan bahwa taman nasional seluas 1.484,850 ha itu terletak di empat provinsi: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi. Kawasan hutan terdiri dari gabungan hutan suaka alam, hutan wisata, hutan lindung, dan hutan produksi terbatas. Area hutan di Provinsi Jambi, menjadi bagian kawasan taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 46/KPTS/II/87, tahun 1987 tentang tata guna hutan kesepakatan. Darinya, kawasan taman nasional yang meliputi Provinsi Jambi berjumlah 589,023 ha, terdiri dari: Kabupaten Sarolangun-Bangko, 247,910 ha; Kabupaten Kerinci, 246,079 ha; dan Kabupaten Bungo Tebo, 94,972 ha.

Pada 12 Desember 1988, terbit SK Gubernur No. 508 tentang penghapusan dan penyatuan desa. SK itu menjadi landasan operasional tentang keharusan pengosongan taman nasional dari keberadaan rakyat. Rakyat harus angkat kaki dari kawasan yang termasuk taman nasional. Konflik mencapai puncaknya ketika petugas BPN dan Kehutanan melakukan pengukuran. Mereka melakukan pemasangan patok tanpa melibatkan rakyat setempat.

Di mata pemerintah, rakyat telah melanggar UU Konservasi karena rakyat tinggal dan mendayagunakan tanah dalam kawasan hutan konservasi. Sedangkan rakyat merasa bahwa desa dan kebun mereka yang tergusur adalah hak mereka, dan tanah yang telah menghidupi mereka itu telah diolah secara turun temurun.

Pada 22 September 1988, DPRD Kerinci mengunjungi daerah-daerah yang status desanya (terancam) dihapus. Dari kunjungan itu melahirkan rekomendasi bahwa Desa Pesisir Bukit dan sekitarnya, dengan beberapa dusunnya, tidak dapat dijadikan kawasan taman nasional dan pemerintah dianjurkan untuk menimbang kembali agar daerah tersebut kembali dijadikan desa pemukiman. DPRD kemudian bertemu Gubernur Jambi pada 27 Februari 1992. Hasilnya tidak diumumkan dan tidak mengubah apa-apa, pemerintah tetap pada keputusan semula. Rakyat dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun akhirnya membuat kesatuan gerakan di bawah jaringan isu yang bernama Warung Informasi Konservasi (Warsi).

Warsi, yang berada di empat provinsi terdampak taman nasional, melakukan berbagai upaya advokasi. Di antaranya: investigasi, yang kemudian salah satu temuannya adalah keterlibatan aparat pemerintah dalam mengintimidasi rakyat; pentingnya pendampingan yang bertujuan menggalang kekuatan dan mengorganisasikan rakyat; pengenalan sistem pertanian konservasi; lobi dan negosiasi, untuk meyakinkan pentingnya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan; dan menggalang konsolidasi dan koordinasi dengan kalangan LSM lainnya.

Hingga tahun 1995, upaya-upaya advokasi mereka bisa dibilang mengalami kegagalan. Penyebabnya, kekuatan rakyat belum tergalang secara maksimal dan upaya perjuangan LSM untuk mengadvokasi perubahan kebijakan tidak menghasilkan apapun. Terbaru, ribuan massa yang mengatas namakan petani Kabupaten Kerinci, berunjuk rasa ke kantor DPRD Kabupaten Kerinci. Mereka meminta agar dewan membantu mencarikan solusi, terhadap tanah milik warga non-masyarakat wilayah Adat Muaro Langkap, yang sedang menjadi sengketa. Ribuan massa yang berunjuk rasa ini, berasal dari berbagai wilayah di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Di antaranya, dari Kecamatan Air Hangat, Kecamatan Depati Tujuh, Kecamatan Air Hangat Timur kabupaten Kerinci, serta dari Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Pesisir Bukit, kota Sungaipenuh.


Yayasan Bhakti Masyarakat, “Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Mencaplok Tanah Adat” dalam Boy Fidro & Noer Fauzi, 1995, Pembangunan Berbuah Sengketa, Kisaran, Lampung, Bandung, Yogyakarta: Yayasan Sintesa, Pos Yayasan LBH Indonesia Lampung, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan (LPPP), Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat (LEKHAT).

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--