DATA DETIL
Sengketa lahan antara masyarakat dan korporasi perkebunan besar swasta sawit PT HMBP (Best Group).

 KALIMANTAN TENGAH, KAB. KOTAWARINGIN TIMUR

Nomor Kejadian :  30-04-2020
Waktu Kejadian :  01-03-2020
Konflik :  Perkebunan Kelapa Sawit
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  117,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • DPRD Kotawaringin Timur
  • Bupati Kotawaringin Timur
  • Komnas HAM
  • Polda Kalimantan Tengah
  • Polres Kotawaringin Timur
  • Brimob
  • Gubernur Kalimantan Tengah
  • BPN Kotawaringin Timur
  • PT Hamparan Masawit Bangun Persada
  • Masyarakat Desa Penyang
  • Masyarakat Desa Bangkal
  • Masyarkat Desa Tanah Putih

KONTEN

Seorang petani di Desa Penyang ditangkap di kebun sawitnya sendiri, dianggap telah mencuri tandan buah sawit di area konsesi PT. Hamparan Mas Sawit Bangun Persada (PT. HMBP).

PT. HMBP merupakan perusahaan perkebunan sawit yang berada di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Mereka mendapatkan surat izin dari Plt Kotawaringin Timur (Suandi) melalui SK Bupati yang dikeluarkan pada 6 Juli 2005. Izin lokasi ini merupakan izin lokasi yang sebelumnya dikeluarkan untuk PT. Karya Agung Subur Kencana (PT KASK) yang diberikan melalui SK Bupati Kotawaringin Timur (M Wahyudi K Anwar) No. 647.460.42 tentang pemberian izin lokasi pembangunan perkebunan sawit atas nama PT. KASK di Desa Tanah Putih, Kecamatan Kota Besi, dan Desa Natai Nangka, Kecamatan Mentaya Hilir Utara dengan luas 8.200 hektar.

Lokasi perkebunan tersebut berada di tempat bekas ladang warga. Perlu diketahui warga di wilayah tersebut merupakan warga yang masih mempraktikan perladangan berpindah. Meskipun bekas ladang, wilayah tersebut masih dipakai untuk kemudian digunakan kembali pada masanya untuk berladang. Oleh karena itu, warga setempat menolaknya. Selain itu PT. HMBP telah merubah landskap geografis wilayah di sana, yaitu dengan melakukan pengeringan danau alam untuk area penanaman sawit dan penimbunan Sungai Paring Dua dan Sungai Pinang Tunggal di wilayah Desa Natai Baru, Kecamatan Matan Meulaya Hilir Utara. Warga pun kehilangan 1 balai adat mereka dan 5 rumah warga yang dirobohkan oleh perusahaan.

Salah satu penolakan warga ditunjukan dengan adanya surat pernyataan tanah atas nama Yati, Dias Manthongka, Sile Najir, dan Artho Purwiro. Surat tersebut menyatakan bahwa mereka menguasai sebidang tanah adat dengan luas 100.000 m2 di Jalan Sampit Pangkalan Bun Km. 45, Kelurahan Natai Baru, Kecamatan Mentaya Hilir Utata, Kabupaten Kotawaringin Timur yang dikeluarkan pada 17 September 2005. Penolakan lain yang ditunjukan secara tertulis muncul kembali pada tahun 25 Juni 2010. Kali ini berasal dari masyarakat Desa Pondok Damar, Desa Tanah Putih, dan Desa Penyang yang menyatakan bahwa mereka adalah pemilik tanah di sekitar HGU PT. HMBP.

Menanggapi hal ini, pada Oktober 2010 Bupati Kotim mengerluarkan surat nomor surat nomor 525/498/Ek.SDA/X/2010 terkait dengan penyelesaian lahan atas nama Dias Manthongka dan rekan-rekan. Surat ditujukan kepada Direktur PT HMBP. Isinya menerangkan, PT. HMBP telah bekerja di luar HGU dan telah menggarap lahan yang dikuasai Dias Manthongka dan rekan-rekan. Pihak perusahaan juga diminta mengembalikan lahan tersebut.

DPRD Kabupaten Kotim juga mengeluarkan keputusan pada tanggal 4 Januari 2011 terkait pembentukan Pansus menyoal Perkebunan Besar Sawit di Kabupaten Kotim. Rekomendasi dari kegiatan tersebut adalah Pemkab Kotim diminta untuk 1) mengembalikan lahan atas Dias Manthongka dan rekan-rekannya seluas 117 hektar atau dijadikan plasma.; 2) Pansus juga meminta tanaman sawit di luar HGU pada kawasan hutan seluas 1.726 hektar dijadikan kebun plasma dan dilengkapi perizinannya; 3) Pihak HMBP juga diminta mengembalikan fungsi sungai dan danau serta bantaran Sungai Sampit dan membangun areal konservasi minimal 5% dari luas wilayah serta 4) membangun plasma bagi masyarakat. Rekomendasi ini kemudian menjadi SK Bupati No 525/240/Ek.SDA. Komnas HAM juga sempat menyampaikan surat kepada PT HMBP untuk menindaklanjuti surat dari Bupati Kotim atas pengaduan masyarakat Desa Penyang yang berpotensi terjadinya penyelenggaraan hak azasi manusia.

Gelar masalah tanah juga pernah dilakukan antara Dias Manthongka dan rekan-rekan dengan PT HMBP yang dimediasi oleh BPN Kotim pada 2 Mei 2012. Kesimpulannya bahwa tanah yang diklaim oleh Dias Manthongka dan rekan-rekan berada di luar SHGU No. 35 tanggal 22 September 2006. Direkomendasikan, tanah seluas 117 hektar itu dikembalikan ke pemiliknya atau dijadikan plasma. Kemudian, baru tahun 2019, pada 15 Oktober, terjadi kesepakatan yang ditunjukan melalui surat pernyataan Manajer Legal PT. HMBP dan Supervisor Legal yang berisi bahwa PT bersedia menyerahkan atau memitrakan lahan seluas 117 hektar tersebut. Kesepakatan inilah kemudian yang juga menjadi dasar bagi masyarakat Desa Penyang, Tanah Putih, dan Desa Pondok Damar bahwa mereka juga telah mendapatkan haknya untuk berkebun di area 117 hektar tersebut.

Namun kemudian, pada bulan Februari-Maret 2020 terjadi penangkapan warga Desa Penyang sebanyak 15 orang dengan tuduhan pencurian buah sawit. Penangkapan pertama terjadi pada dua orang warga Desa Penyang pada 17 Februari 2020. Kemudian pada 27 Februari 2020, 11 warga Desa Penyang yang tergabung dalam kelompok tani Sahai Hapakat ditangkap pasukan Brimob dan digelandang ke Polres Kotim. Beberapa diantaranya diduga mengalami penyaniayaan. Puncaknya adalah penangkapan yang terjadi pada 7 Maret 2020 terhadap James Watt dan Dedi S di Mess Walhi Jakarta. Penangkapan tersebut dilakukan oleh lebih dari 10 polisi yang tidak memakai seragam pada dini hari.

Sengketa ini belum selesai. Proses pengadilan warga atas tuduhan pencurian masih berlangsung (Pengadilan terbaru dilakukan pada 13 April 2020).


Berbagai sumber: media elektronik dan siaran pers (Walhi, Greenpeace, Sawit Watch, Kontras, Save Our Borneo, Walhi Kalimantan Tengah, JPIC Kalimantan, PW AMAN Kalimantan Tengah, LBH Palangkaraya, LBH Genta Keadilan, Progress Kalimantan Tengah, Elspa, Serikat Perempuan Mamut Menteng, Lembaga Dayak Studi-21, Retina Institut, Serikat Perempuan Indonesia, Sepasi, dan Jari Kalimantan Tengah).

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--