DATA DETIL
Sengketa Lahan PT Ambarawa maju dan masyarakat Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen, Kabupaten Batang

 JAWA TENGAH, KAB. BATANG

Nomor Kejadian :  012ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1969
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  52,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  620 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Dirjen Agraria Jawa Tengah
  • Dirjen Transmigrasi Jawa Tengah
  • Direktorat Agraria Jawa Tengah
  • Menteri Dalam Negeri
  • Menteri Pertanian dan Agraria
  • Pemerintah Desa Simbangdesa
  • Pemerintah Desa Kebumen
  • DPRD Kabupaten Batang
  • Tim Gabungan Penyelesaian Kasus Tanah Kabupaten Batang
  • PT Ambarawa Maju
  • Petani Penggarap
  • Tim Reformasi Desa Simbangdesa
  • Tim Reformasi Desa Kebumen
  • Kelompok Kembang Tani

KONTEN

Secara geografis Kabupaten Batang membentang dari wilayah dataran tinggi, pegunungan, hingga wilayah dataran rendah, perairan/ laut. Dengan luas hampir 80.000 Hektar, Kabupaten Batang menawarkan potensi sumberdaya alam yang luar biasa, mulai dari hasil-hasil perikanan, hingga hasil pertanian dan perkebunan. Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen merupakan sedikit dari desa yang berada di Kecamatan Tulis dan Kecamatan Subah yang rata-rata jumlah penduduknya sebanyak 4.000 jiwa dan sebagian besar di antaranya bermatapencahariaan sebagai petani.

Masyarakat Simbangdesa dan Desa Kebuman telah memanfaatkan dan mengolah lahan pertanian bekas peninggalan kolonialisme – yang kemudian menjadi tanah negara. Namun, pada saat Jepang mulai menguasai sebagian wilayah Indonesia pada saat itu dan mewajibkan kerja paksa pada rakyat Indonesia, tak terkecuali masyarakat yang berada di Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen. Masyarakt dipaksa untuk menanam tanaman kebutuhan pokok seperti jagung dan ketela yang hasilnya, tentu saja dikhususkan untuk kebutuhan atau kepentingan Jepang pada saat itu.

Pada awal mulanya, di masa kolonialisme, lahan seluas kurang lebih 52 Ha perusahaan NV. Handel My Liong Hien dan Tjan Kiong Tjauw sebagai pemegang hak erfpacht Verponding No. 67 untuk masa 75 tahun. Sepeninggalan Tjan Kiong Tjauh, hak atas lahan tersebut jatuh pada ahli warisnya secara berturut-turut, hingga yang terakhir jatuh kepada Tjan Hei Se alias Tjandra Santoso di tahun 1947. Kemudian pad atahun 1967, Tjandra Santoso membentuk PT Ambarawa Maju dengan akta pendirian No. 61 tanggal 30 Juni 1967 dan pada tanggal 10 Juli 1947 untuk pengusahaan tanaman randu dan karet, PT Ambarawa Maju mengajukan permohonan HGU kepada Kepala Direktorat Agraria dan Transmigarasi Provinsi Jawa Tengah untuk lahan seluas 2.400 Ha. Akan tetapi, Surat Keputusan HGU tak pernah terbit atau dikabulkan – tidak pernah ada sampai tahun 1999. Sedangkan masyarakat telah mengerjakan sebagian lahan perkebunan dengan perjanjian hasil sejak 1965 sampai tahun 1969.

Dari keseluruhan luasan lahan yang dikuasai oleh PT Ambarawa Maju tidak seluruhnya diusahakan atau dengan kata lain, ada luasan lahan yang ditelantarkan oleh pihak perusahaan yang kemudian diusahakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. PT Ambarawa Maju megakui pernah mengajak dan menawarkan kepada masyarakat untuk menjadi bagian dari perusahaan atau menjadi buruh perusahaan tersebut. Tetapi, masyarakat menolak karena perjanjian bagi hasil lah yang masyarakat inginkan. Tahun 1969, PT Ambarawa Maju mengusir paksa masyarakat petani di wilayah konsesinya, bahkan dicap sebagai komunis/PKI jika masyarakat tidak mau pergi.

Pada tahun 1970, PT Ambarawa Maju kembali kepada Direktorat Agraria Provinsi Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri untuk mengabulkan pengajuan permohonan HGU yang telah diajukan pada tahun 1947. Sampai lahan tersebut dituntut oleh masyarakat Surat Keputusan HGU tidak pernah ada. Wardoyo, selaku kepala desa pun mengakui bahwa PT Ambarawa Maju tidak pernah melapor atau memberitahukan keberadaan perusahaan tersebut di desanya. Tuntutan masyarkat pun dibuktikan dengan adanya bukti pembayaran pajak atas tanah yang pernah diolahnya di atas lahan bekas hak erfpacht tersebut dan lahan yang ditelantarkan tidak sesuai dengan ketentuan UU No.29 tahun 1956 yang menyatakan negara dapat membatalkan hak usaha atas lahan yang tidak diusahakan secara layak atau alasan yang tidak dibenarkan oleh Menteri Pertanian dan Agraria.

Meskipun demikian, PT Ambarawa Maju tetap melanjutkan usahanya hingga tahun 1999, yang berarti usaha tanpa satu pun alas hak.

Dengan memanfaatkan momentum jatuhnya orde baru pada 1998, masyarakat Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen menuntut dengan protes-protes keras teradap pemerintah dan melalui jalur litigasi yang dibantu oleh kepala desa. Meski beberapa kali gagal, pada tanggal 2 Oktober 1998 masyarakat Desa Kebumen, disusul oleh masyarakat Desa Simbangdesa pada tanggal 18 September 1998 mengajukan reformasi damai kepada DPRD Kabupaten Batang untuk dapat kembali menggarap lahan bekas hak erfpacht tersebut. Namun, tidak mendapat tanggapan serius. Masyarakat dari kedua desa tersebut yang pada awalnya menuntut dan berjuang secara mandiri atas nama desa masing-masing, yaitu Tim Reformasi Desa Simbangdesa dan Tim Reformasi Desa Kebumen akhirnya menyatukan diri menjadi Kelompok Kembang Tani yang terdiri dari 620 Kepala Keluarga (KK).

Perjuangan pun tidak berhenti sampai 1999, dengan surat pengajuan yang dilengkapi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar tidak bertanah, disertai pula surat bukti pembayaran pajak lahan garapan dan Surat Ketetapan Daerah (IPEDA), dan juga menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui sejarah akhirnya mendapat tanggapan dari DPRD Kabupaten Batang yang kemudian menjadi pertimbangan pada rapat paripurna Komisi A DPRD Batang. Semenjak itu pemerintah daerah secara serius menindaklanjuti dan menyelesaikan kasus di lahan yang diklaim PT Ambarawa Maju dan masyarakat Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen.

Pada tanggal 13 September 1999, Tim Gabungan Penyelesaian Kasus Tanah Kabupaten Batang (bentukan pemerintah) menyampaikan hasil dari investigasi kasus tersebut dengan hasil msing-masing KK diusulkan memperoleh 225 m2 sehingga perkiraan wilayah pemukiman seluas kurang lebih 15 Ha. Sebagian lain digunakan untuk fasilitas umum sebagai Lapas (Rumah Tahanan) seluas 5 Ha. Sarana pendidikan seluas 7,5 Ha, sanggar kegiatan belajar 2 Ha, Perusda Aneka Usaha Kabupaten Batang seluas (PADS) seluas 15 Ha, dan HGB PT Ambarawa Maju seluas 5 Ha, serta fasilitas umum lainnya seluas 2 Ha.


1. Muhadjirin, 2003. Konflik Penguasaan Tanah Negara Bekas Hak Erfpacht (Studi Kasus Tanah Negara Bekas Hak Erfpacht No. 67 PT Ambarawa Maju di Desa Sumbangdesa, Kecamatan Tulis dan Desa Kebumen, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang). Semarang: Tesis Program Pascasarjana Universitas Dipenogoro; Profil Kabupaten Batang. https://vandbox.wordpress.com/batang-kotaku/. Diakses 12 Mei 2018.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--