DATA DETIL
Sengketa Lahan Antara PT SAMP dan Tiga Desa di Telukjambe

 JAWA BARAT, KAB. KARAWANG

Nomor Kejadian :  015ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1972
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  Infrastruktur
Luas  :  350,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  100 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Desa Wanakerta
  • Pemerintah Desa Wanasari
  • Pemerintah Desa Margamulya
  • Menteri Pertanian dan Agraria
  • Panitia Landreform Dt. II
  • Gubernur Jawa Barat
  • Aparat Militer
  • Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karawang
  • Polres Karawang
  • PT Desa Bagja
  • PT Makmur Jaya Utama
  • PT Sumber Air Mas Pratama
  • PT Agung Podomoro Land
  • PT Buana Makmur Indah
  • Abu Bakar (Kepala Desa)
  • Sri Mulyani Safe'i (Notaris Bogor)
  • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta
  • Serikat Petani Karawang (SEPETAK)

KONTEN

Tiga desa yang berada di Kecamatan Telukjambe dan Kecamatan Pangkalan, Karawang, yaitu Desa Wanakerta, Desa Wanasari, dan Margamulya yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bogor pada awal mulanya pernah tercatat sebagai Eigendom Verponding No. 54 dalam surat ukur No. 40 tahun 1845 pada masa kolonialisasi Belanda atas nama NV. Mijtot Ex Ploitatie Van De Tegal Waroe Landen seluas 55.173 Ha. Lahan dengan alas hak erfpacht tersebut dipergunakan oleh kolonial Belanda untuk dijadikan lahan perkebuan, kopi, teh, tebu, dan sebagainya dengan menerapkan kebijakan tanam paksa terhadap masyarakat.

Pada 17 Mei 1949 ketika Belanda menyerah pada penjajah Jepang, perkebunan Belanda tersebut akhirnya ditelantarkan sehingga masyarakat yang pada mulanya adalah pekerja perkebunan mulai mengerjakan lahan tersebut dengan berdaulat dan digarap secara turun temurun selama bertahun-tahun. Pemerintah paska kemerdekaan, pada tahun 1958, menerapkan aturan untuk menasionalisasikan seluruh aset yang pernah dimiliki atau diberikan hak barat (hak erfpacht), tidak terkecuali perkebunan NV. Mijtot Ex Ploitatie Van De Tegal Waroe Landen Merk tersebut. Di dalam UU No. 1 tahun 1958 tersebut menyatakan bahwa lahan-lahan bekas eks erfpacht diprioritaskan bagi masyarakat yang menggarap dan mendiami lahan tersebut.

Masyarakat yang menyadari bahwa status kepenguasaan lahan tersebut masih tidak kuat secara hukum, akhirnya mengajukan lahan tersebut kepada pemerintah untuk diredistribusikan. Maka terbitlah Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria No. 30/Ka/62 tanggal 8 Noveber 1962 yang menyatakan lahan tersebut adalah objek landreform seluas 582 Ha. Begitu juga dengan diterbitkannya SK Panitia Landreform Dt. II Karawang No. 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar No. 228/C/VIII/52/1965 yang mengatur kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing utuk memiliki hak milik tanah.

Lambatnya proses redistribusi lahan objek landreform di Indonesia pada umumya, dan Telukjambe pada khususnya mengakibatkan redistribusi hak tanah kepada masyarakat tiga desa di Telukjambe dan Pangkalan terhambat dan belum tuntas. Keadaan tersebut diperburuk dengan peristiwa G30S yang membuat dinamika politk di Indonesia memanas dan tidak kondusif. Banyak aturan atau regulasi di bawah pemerintahan Soekarno untuk sementara, bahkan secara permanen, dihentikan, salah satunya adalah proses redistribusi objek lahan landreform. Pada tahun 1972, pemerintah di bawah Presiden Soeharto memerintahkan lahan yang sudah digarap didata kembali. Panitia pendataan dibentuk dan melibatkan pejabat desa yang bertujuan untuk megeluarkan girik dan Buku Letter C Desa untuk pemerintah desa.

Pada 1972, PT Desa Bagja yang merupakan perusahaan perkebunan mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) kepada pemerintah di wilayah Dasa Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya yang merupakan lahan garapan masyarakat sebelumnya. Namun, pengajuan tersebut ditolak. Akan tetapi, PT Dasa Bagja mengubah strategi untuk menguasai lahan-lahan tersebut dengan sistem sewa. Di atas lahan seluas 350 Ha dengan ketentuan Rp10.000,- per hektar selama tiga tahun terhitung dari tahun 1974. Kemudian masyarakat menanyakan kembali kepada pemerintah desa mengenai girik yang dijanjikan akan diberikan kepada masyarakat, namun kepala desa pada saat itu (Abu Bakar) menyampaikan bahwa girik akan segera diurus dan untuk sementara waktu masyarakat dipersilahkan menggarap lahannya masing-masing seperti sedia kala dan untuk tetap membayar pajak lahan garapannya. Alih-alih diserahkan kepada masyarakat, girik tersebut justru diserahkan kepada perusahaan PT Dasa Bagja untuk dijadikan HGU sehingga keluar Buku Letter C ketiga desa tersebut atas nama PT Dasa Bagja.

Kemudian, pada tahun 1986, PT Dasa Bagja yang tidak terbukti memiliki alas hak ataa lahan seluas 582 Ha tersebut kepada PT Makmur Jaya Utama (MJU) melalui akta notaris Sri Mulyani Safe’i di Bogor. PT MJU kembali mengalihkan lahan tersebut kepada PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP) dan mengajukan hak milik lahan seluas 350 Ha kepada Gubernur Jawa Barat yang diterbitkan pada tahun 1991. PT SAMP yang kemudian diakuisisi oleh PT Agung Podomoro Land (APL) memaksa masyarakat untuk menandatangani Surat Pelepasan Hak (SPH). Paksaan tersebut dilakukan oleh oknum yang merupakan aparat militer yang diturunkan langsung oleh PT SAMP (dan PT APL). Aparat memaksa masyarakat untuk menerima upah atas tandatangan SPH yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.

Masyarakat yang telah kurang lebih 50 tahun lamanya menggarap lahan tersebut, menuntut kembali atas haknya dengan bukti-bukti kepemilikan seperti sebagian sertifikat hak milik, girik, peta rincik, buku Letter C Desa, dan juga bukti SPPT pembayaran pajak yang dibayarkan kepada pemerintah setiap tahunnya. Namun, perusahaan tidak menghiraukan dan tidak mau mengakui, bahkan perushaan mengajukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karawang untuk menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT SAMP pada tahun 2005 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengukuran tanah oleh BPN dan Polres Karawang tanpa persetujuan masyarakat setempat.

Pada tanggal 24 Juni 2014 terjadi eksekusi terhadap 49 warga pemilik tanah yang dalam kasus perdata No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG. juncto No. 2/Pdt.G/2007/PN.Krw dimenangkan oleh PT SAMP seluas 65 Hektar. Akan tetapi selama proses eksekusi tidak dilakukan sita jaminan dan pengukuran batas-batas kepemilikan, yang terjadi di lapangan justru berupa bentuk perampasan lahan seluas 350 Hektar dari 344 Kepemilikan oleh PT. SAMP yang melalui Pengadilan Negeri dan Kapolres Karawang.
Kondisi masyarakat hingga hari ini, tidak dapat kembali menggarap lahannya karena perampasan yang dilakakukan oleh PT SAMP pada tahun 2014 bersama aparat militer dan juga melalui manipulasi hukum atas alas hak kepemilikan sehingga tidak ada lagi masyarakat yang dapat mengelola lahannya kembali, lahan yang telah dikuasai selama 50 tahun lebih. Banyak masyarakat, pada akhirnya, menjadi buruh-buruh industri di Kerawang dan sekitarnya.

Meskipun masih diperkarakan dan masih dalam proses hukum PT SAMP yang kemudian berubah menjadi PT Buana Makmur Indah (PT BMI) tetap melanjutkan proyeknya yang dilabeli Industrial Karawang Estate. Sementara, hingga saat ini masyarakat belum berhenti memperjuangkan haknya, masyarakat yang telah mengorganisir diri sebagai Serikat Petani Karawang (SEPETAK) yang berdiri pada tahun 2007 dengan bantuan lembaga masyarakat, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta dan solidaritas masyarakat sipil lainnya.


Nasyi’atul Laila. 2016. Hubungan Indusrilialiasi Terhadap Strategi Geraka Petani (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang); Moris Moy Purba. https://www.kompasiana.com/proletcyber/kronologis-konflik-tanah-antara-masyarakat-dan-pt-samp-agung-podomoro-group_54f9836fa3331148548b493b. Diakses pada 13 Mei 2018; https://selamatkanbumi.com/id/english-tragedi-telukjambe-barat-ketidakadilan-agraria-kian-memuncak/

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--