DATA DETIL
Kisah Masyarakat Adat Tau Taa Wana yang Terdesak

 SULAWESI TENGAH, KAB. MOROWALI UTARA

Nomor Kejadian :  10/08/2017
Waktu Kejadian :  10-08-2017
Konflik :  Perkebunan Kelapa Sawit
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  Pertambangan, Hutan Konservasi
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Kehutanan
  • Menteri Agraria dan Tata Ruang
  • Kapolda Sulteng
  • Kapolres Banggai
  • Kepala Kejaksaan Negeri Luwuk
  • PT. Kurnia Luwuk Sejati
  • Masyarakat Adat Tau Taa Wana

KONTEN

PT KLS datang dan mulai mengaveling tanah milik orang Tau Taa Wana
pada tahun 1997/1998. Padahal sebelumnya orang Tau Taa Wana masih
dapat membuka kebun secara bebas. Orang Tau Taa Wana tidak
mengenal konsep kepemilikan pribadi atas tanah, melainkan
kepemilikan tanaman, atau apa yang mereka bisa tumbuhkan di atas
tanah.127 Konsep kepemilikan ini berubah ketika perkebunan kelapa
sawit mulai memasuki kampung orang Tau Taa Wana. Lahan komunal
luas yang tadinya dapat dibuka sebagai kebun, berganti manjadi
kaplingan dengan kepemilikan pribadi. Bagi sebagian masyarakat,
termasuk Indo Ere, proses ini memutuskan akses mereka terhadap
tanah, terhadap kebun yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
Menurut Indo Ere pada tahun 1996, Murad Husain pemilik PT KLS
datang melakukan sebuah pertemuan. Dalam pertemuan tersebut
Murad Husain memberikan janji kesejahteraan kepada masyarakat
melalui perkebunan kelapa sawit. Untuk membujuk agar warga mau
menanam kelapa sawit, Murad memberikan janji-janji manis kepada
masyarakat.
“Anak yang sudah dalam kandungan mama sudah ada sawit yang
dikasih, saya mau sumbangkan uang tapi saya tidak bisa, tapi saya bisa
sumbang dengan sawit” kata Indo Ere menirukan perkataan Murad.
Murad yang datang dengan helikopter berjanji akan memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat jika mereka bersedia menyerahkan
tanahnya. Ia juga berjanji akan membangun jalan, sekolah, sarana
kesehatan, dan fasilitas umum lain untuk memajukan wilayah tersebut.
Pihak Kepala Desa, Papa Ede, ikut mendukung PT KLS, ia bahkan
mengancam tidak bersedia mengurus masyarakat yang tidak mau
menyerahkan tanahnya.
“Waktu itu juga Pak Murad bilang kita harus serahkan tanahnya kita
supaya kita bisa sejahtera dengan adanya kebun sawit, sampai saat ini
kesejahteraan itu hanya menjadi surga telinga,” ujarnya.
Murad mengatakan bahwa untuk lahan yang diserahkan, sebagai
gantinya setiap orang yang sudah berumah tangga akan mendapatkan 2ha kebun kelapa sawit, sedangkan yang belum menikah akan
mendapatkan 1 ha. Faktanya, kebanyakan masyarakat hanya
memperoleh 75 are. Hasil kebun sawit yang tidak terlalu
menguntungkan pada akhirnya menyebabkan banyak masyarakat
menjual kembali lahan mereka dengan harga murah.
Cagar Alam Morowali telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan
nomor: 237/Kepts-11n/1999, tanggal 21 April 1999, di atas wilayah hutan
adat orang Tau Taa Wana. Menurut Indo Ere, ia tidak pernah tahu apa
dan bagaimana wilayah mereka menjadi cagar alam. “Yang kami tahu,
dulu itu tiba-tiba langsung dibilang saja lokasi di sana adalah wilayah
cagar alam jadi jangan ada yang menebang pohon sembarangan dan
kayunya dijual,” ujar Indo Ere. Seperti ketika wilayah mereka menjadi
target transmigrasi, sekali lagi orang Tau Taa Wana tidak tahu-menahu.
Dalam menetapkan kebijakan terkait wilayah mereka, lagi-lagi negara
tampaknya mengabaikan orang Tau Taa Wana.128
Penetapan batas wilayah cagar alam juga sangat dekat dengan kampung
karena pada perintisannya, masyarakat setempat tidak mengetahui
dampak penetapan kawasan cagar alam tersebut. Saat ini, ketika
populasi warga semakin bertambah sehingga wilayah yang dibutuhkan
juga semakin bertambah, namun penambahan wilayah pemukiman atau
perkebunan tidak dimungkinkan karena penetapan kawasan cagar alam
Karena dijanjikan kehidupan yang lebih sejahtera, Indo Ere, Ibu, dan adik
perempuannya, seperti kebanyakan orang Tau Taa Wana lain, akhirnya
memberikan lahan mereka di Desa Taronggo. Namun, pada akhirnya
Indo Ere harus menerima kenyataan bahwa entah mengapa, mereka
tidak memperoleh lahan sawit sedikitpun. Karena tidak memiliki lahan
lagi, mereka harus bekerja di kebun orang lain untuk menyambung
hidup, padahal sebelum PT KLS datang, Indo Ere bebas membuka kebun
sesuai kebutuhan. Selama 2 tahun, dari tahun 1998 hingga tahun 2000,
Indo Ere bertahan di Desa Taronggo, namun kondisi hidup yang semakin
sulit pada akhirnya memaksa Indo Ere berpindah ke Lipu Sumbol


INKUIRI NASIONAL KOMNAS HAM 2015

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--