Konflik Kelompok Tani Sakato Jaya, Desa Lubuk Mandarsyah Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo Dengan PT. WKS
JAMBI, KAB. TEBO
Nomor Kejadian
:
13 Agustus 2019
Waktu Kejadian
:
13-12-2007
Konflik
:
HTI
Status Konflik
:
Dalam Proses
Sektor
:
Hutan Produksi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
1.500,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Tebo
- Pemerintah Provinsi Jambi
- PT. Wirakarya Sakti
- SInarmas Forestry
- Asia Pulp and Paper
- Oknum Perangkat Desa Lubuk Mandarsyah
KONTEN
KONFLIK DESA LUBUK MANDARSAH DENGAN PT. WIRA KARYA SAKTI (WKS)
1. Sejarah Konflik Desa Lubuk Mandarsah Dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS)
Desa Lubuk Mandarsah berada di Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi. terdiri dari 8 dusun, Tanjung Pauh, Sungai Landai, Lubuk Punggur, Kelapa Kembar, Pelayang Tebat, Tanjung Beringin, Malako dan Sumber Arum. Berdasarkan buku Tembo (kitab sejarah masyarakat adat), penduduk lubuk mandarsah telah hidup dikawasan tersebut sejak tahun 1813 M. Masyarakat asli desa ini adalah suku Melayu Jambi, namun saat ini tidak hanya suku melayu yang hidup disana, terdapat suku Jawa, suku Batak, suku Karo, suku Sunda, suku Melayu Palembang, suku Aceh, suku Minang, dan suku Minahasa. Khusus dusun Pelayang Tebat, mulai ditempati oleh penduduk pada tahun 1975.
Luas desa ±120.000 Hektare (60% wilayah administrasi desa di dalam kawasan HP) dengan jumlah KK 6000 jiwa (sedang dalam proses pemekaran menjadi desa Lubuk Mandarsah dan desa Lubuk Mandarsah hulu). Batas Desa Lubuk Mandarsah adalah sebagai berikut: sebelah timur laut berbatasan dengan Desa Lubuk Kambing dan Sungai Paur, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat; sebelah tenggara berbatasan dengan Desa Kunangan, Kecamatan Tebo Ilir dan Desa Rantau Api, Kecamatan Tengah Ilir; sebelah selatan dan barat daya berbatasan dengan Desa Mengupeh dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir.
Wilayah Lubuk Mandarsah yang sangat luas ini berelief berbukit bukit dan merupakan daerah aliran sungai. Bukit-bukit yang lumayan tinggi adalah Bukit Bakar, Bukit Rinting, dan Bukit Huluketalo. Sungainya antara lain Sungai Ketalo, Sungai Landai dan Sungai Pademan. Lahan digunakan untuk perkampungan dan lahan perkebunan serta sebagian besar termasuk Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Lahan P.T. Wira Karya Sakti, Distrik VIII, dan terdapat perusahaan tambang bara yang sedang explorasi.
Berdasarkan isin KEMENHUT No. 346-Menhut//2004 yang luasnya 293.812 Hektare, PT. WKS beroperasi di kawasan desa tersebut sejak tahun 2006. Operasional PT. WKS menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat terutama dusun Muara Kilis, Pelayang Tebat, dan Mengupeh. Hal ini dikarenakan daerah operasional PT. WKS tumpang tindih dengan kawasan kelola masyarakat seluas ± 380.00 Hektare. Posisi PT. WKS diperkuat dengan SK Bupati No 522/29/Sda/2012 yang dikeluarkan pada 11 januari 2012, menyatakan bahwa lahan dari tiga dusun (Muara Kilis, Pelayang Tebat, dan Mengupeh) berada didalam konsesi PT WKS.
Ketika akan beroperasi di kawasan tersebut PT. WKS tidak melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat, sosialisasi hanya dilakukan dengan kelompok – kelompok tertentu, seperti dengan aparat desa dan para tokoh elit desa. Pada awalnya perusahaan mengatakan bahwa pihaknya hanya akan membuka jalan, bukan membuka lahan untuk konsesi, sehingga masyarakat menerima keberadaan PT. WKS. Namun ternyata perusahaan juga membuka lahan dan bahkan melakukan penggusuran di daerah tersebut sejak tahun 2006. Penggusuran ini menyebabkan masyarakat semakin kecewa dengan perusahaan dan akhirnya menimbulkan konfik berkepanjangan hingga saat ini.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat, sejak tahun 2006 perlawanan dari masyarakat terus terjadi dengan cara aksi ke pemerintahan, pendudukan lahan dan puncaknya pada tahun 2007 terjadi pembakaran 12 alat berat perusahaan oleh masyarakat. Setelah terjadi pembakaran 9 warga ditangkap dan ditahan selama 15 bulan. Gerakan perlawanan masyarakat pada saat itu belum terorganisir. Mulai tahun 2007 masyarakat bergabung dalam sebuah organisasi masyarakat yang berada di Jambi. Pendudukan lahan beberapa kali terjadi di lokasi yang disengketakan, dan pihak perusahaan selalu menggunakan aparat keamanan untuk mengusir dan intimidasi warga dari lokasi tersebut. selain aparat keamanan, karyawan perusahaan (security dan humas) juga melakukan intimidasi terhadap warga dengan cara mencabuti tanaman yang ditanam oleh warga dilokasi tersebut.
Pasca komitmen FCP APP yang dipublikasi pada Februari 2013, kelompok masyarakat (3 kelompok) melakukan pendudukan lahan (maret 2013) hingga sekarang seluas ±800 Hektare. Masyarakat juga mengirimkan surat kompalin kepada manajemen APP pada bulan September 2013 (atas nama Dodi) dengan tuntutan pembebasan warga yang ditangkap, penghentian penggunaan kayu alam dan perbaikan penyempitan aliran sungai. Surat komplain ini direspon oleh pihak APP dengan surat tertulis yang menyatakan akan melakukan verifikasi lapangan. Verifikasi lapangan dilakukan sekitar bulan oktober atau november 2013 dengan melibatkan PPJ, Masyarakat, TFT, dan Greenpeace. Ketika proses verifikasi lapangan terjadi ternyata banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat diluar poin yang telah disampaikan oleh Dodi, namum TFT (Berdi) tidak mau merespon keluhan diluar yang telah tertulis dalam surat komplain tersebut. pasca verifikasi lapangan, jawaban dari pihak APP adalah membebaskan warga yang ditangkap, dan tidak ditemukan dilapangan pemanfaatan kayu alam dan penyempitan sungai akibat operasional perusahaan. hal ini menimbulkan ketegangan baru pihak masyarakat sehingga masyarakat mengirimkan surat penolakan terhadap hasil verifikasi lapangan pada 4 Maret 2014 dan sampai saat ini tidak ada tanggapan dari pihak perusahaan.
2. Akar Penyebab Konflik
Jika dilihat dari kronologis konflik yang terjadi di desa Lubuk Mandarsah maka dapat disimpulkan bahwa akar penyebab konflik adalah:
• Dalam menentukan status dan fungsi kawasan termasuk memberikan izin kawasan kelola kepada perusahaan, kementrian kehutanan tidak memperhatikan kondisi kekinian dari lokasi tersebut sehingga menimbulkan konflik antara perusahaan dan masyarakat
• Perusahaan tidak menjalankan FPIC
• Perusahaan tidak melakukan tata batas partisipatif
• Perusahaan tidak mengakui hak masyarakat sekitar konsesi
• Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya untuk terlibat dalam peningkatan ekonomi masyarakat sekitar konsesi dengan pola-pola yang telah diatur oleh pemerintah (CSR, CD, Tanaman kehidupan, kemitraan)
• Arogansi pihak perusahaan menyebabkan ketidaknyamanan hubungan antara masyarakat dengan perusahaan
• Tidak ada komunikasi yang baik antar pihak.
Catatan Konflik Desa Lubuk Mandarsah / WALHI Jambi
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
JAMBI, KAB. TEBO
Nomor Kejadian | : | 13 Agustus 2019 |
Waktu Kejadian | : | 13-12-2007 |
Konflik | : | HTI |
Status Konflik | : | Dalam Proses |
Sektor | : | Hutan Produksi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 1.500,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Tebo
- Pemerintah Provinsi Jambi
- PT. Wirakarya Sakti
- SInarmas Forestry
- Asia Pulp and Paper
- Oknum Perangkat Desa Lubuk Mandarsyah
KONTEN
KONFLIK DESA LUBUK MANDARSAH DENGAN PT. WIRA KARYA SAKTI (WKS)
1. Sejarah Konflik Desa Lubuk Mandarsah Dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS)
Desa Lubuk Mandarsah berada di Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi. terdiri dari 8 dusun, Tanjung Pauh, Sungai Landai, Lubuk Punggur, Kelapa Kembar, Pelayang Tebat, Tanjung Beringin, Malako dan Sumber Arum. Berdasarkan buku Tembo (kitab sejarah masyarakat adat), penduduk lubuk mandarsah telah hidup dikawasan tersebut sejak tahun 1813 M. Masyarakat asli desa ini adalah suku Melayu Jambi, namun saat ini tidak hanya suku melayu yang hidup disana, terdapat suku Jawa, suku Batak, suku Karo, suku Sunda, suku Melayu Palembang, suku Aceh, suku Minang, dan suku Minahasa. Khusus dusun Pelayang Tebat, mulai ditempati oleh penduduk pada tahun 1975.
Luas desa ±120.000 Hektare (60% wilayah administrasi desa di dalam kawasan HP) dengan jumlah KK 6000 jiwa (sedang dalam proses pemekaran menjadi desa Lubuk Mandarsah dan desa Lubuk Mandarsah hulu). Batas Desa Lubuk Mandarsah adalah sebagai berikut: sebelah timur laut berbatasan dengan Desa Lubuk Kambing dan Sungai Paur, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat; sebelah tenggara berbatasan dengan Desa Kunangan, Kecamatan Tebo Ilir dan Desa Rantau Api, Kecamatan Tengah Ilir; sebelah selatan dan barat daya berbatasan dengan Desa Mengupeh dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir.
Wilayah Lubuk Mandarsah yang sangat luas ini berelief berbukit bukit dan merupakan daerah aliran sungai. Bukit-bukit yang lumayan tinggi adalah Bukit Bakar, Bukit Rinting, dan Bukit Huluketalo. Sungainya antara lain Sungai Ketalo, Sungai Landai dan Sungai Pademan. Lahan digunakan untuk perkampungan dan lahan perkebunan serta sebagian besar termasuk Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Lahan P.T. Wira Karya Sakti, Distrik VIII, dan terdapat perusahaan tambang bara yang sedang explorasi.
Berdasarkan isin KEMENHUT No. 346-Menhut//2004 yang luasnya 293.812 Hektare, PT. WKS beroperasi di kawasan desa tersebut sejak tahun 2006. Operasional PT. WKS menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat terutama dusun Muara Kilis, Pelayang Tebat, dan Mengupeh. Hal ini dikarenakan daerah operasional PT. WKS tumpang tindih dengan kawasan kelola masyarakat seluas ± 380.00 Hektare. Posisi PT. WKS diperkuat dengan SK Bupati No 522/29/Sda/2012 yang dikeluarkan pada 11 januari 2012, menyatakan bahwa lahan dari tiga dusun (Muara Kilis, Pelayang Tebat, dan Mengupeh) berada didalam konsesi PT WKS.
Ketika akan beroperasi di kawasan tersebut PT. WKS tidak melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat, sosialisasi hanya dilakukan dengan kelompok – kelompok tertentu, seperti dengan aparat desa dan para tokoh elit desa. Pada awalnya perusahaan mengatakan bahwa pihaknya hanya akan membuka jalan, bukan membuka lahan untuk konsesi, sehingga masyarakat menerima keberadaan PT. WKS. Namun ternyata perusahaan juga membuka lahan dan bahkan melakukan penggusuran di daerah tersebut sejak tahun 2006. Penggusuran ini menyebabkan masyarakat semakin kecewa dengan perusahaan dan akhirnya menimbulkan konfik berkepanjangan hingga saat ini.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat, sejak tahun 2006 perlawanan dari masyarakat terus terjadi dengan cara aksi ke pemerintahan, pendudukan lahan dan puncaknya pada tahun 2007 terjadi pembakaran 12 alat berat perusahaan oleh masyarakat. Setelah terjadi pembakaran 9 warga ditangkap dan ditahan selama 15 bulan. Gerakan perlawanan masyarakat pada saat itu belum terorganisir. Mulai tahun 2007 masyarakat bergabung dalam sebuah organisasi masyarakat yang berada di Jambi. Pendudukan lahan beberapa kali terjadi di lokasi yang disengketakan, dan pihak perusahaan selalu menggunakan aparat keamanan untuk mengusir dan intimidasi warga dari lokasi tersebut. selain aparat keamanan, karyawan perusahaan (security dan humas) juga melakukan intimidasi terhadap warga dengan cara mencabuti tanaman yang ditanam oleh warga dilokasi tersebut.
Pasca komitmen FCP APP yang dipublikasi pada Februari 2013, kelompok masyarakat (3 kelompok) melakukan pendudukan lahan (maret 2013) hingga sekarang seluas ±800 Hektare. Masyarakat juga mengirimkan surat kompalin kepada manajemen APP pada bulan September 2013 (atas nama Dodi) dengan tuntutan pembebasan warga yang ditangkap, penghentian penggunaan kayu alam dan perbaikan penyempitan aliran sungai. Surat komplain ini direspon oleh pihak APP dengan surat tertulis yang menyatakan akan melakukan verifikasi lapangan. Verifikasi lapangan dilakukan sekitar bulan oktober atau november 2013 dengan melibatkan PPJ, Masyarakat, TFT, dan Greenpeace. Ketika proses verifikasi lapangan terjadi ternyata banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat diluar poin yang telah disampaikan oleh Dodi, namum TFT (Berdi) tidak mau merespon keluhan diluar yang telah tertulis dalam surat komplain tersebut. pasca verifikasi lapangan, jawaban dari pihak APP adalah membebaskan warga yang ditangkap, dan tidak ditemukan dilapangan pemanfaatan kayu alam dan penyempitan sungai akibat operasional perusahaan. hal ini menimbulkan ketegangan baru pihak masyarakat sehingga masyarakat mengirimkan surat penolakan terhadap hasil verifikasi lapangan pada 4 Maret 2014 dan sampai saat ini tidak ada tanggapan dari pihak perusahaan.
2. Akar Penyebab Konflik
Jika dilihat dari kronologis konflik yang terjadi di desa Lubuk Mandarsah maka dapat disimpulkan bahwa akar penyebab konflik adalah:
• Dalam menentukan status dan fungsi kawasan termasuk memberikan izin kawasan kelola kepada perusahaan, kementrian kehutanan tidak memperhatikan kondisi kekinian dari lokasi tersebut sehingga menimbulkan konflik antara perusahaan dan masyarakat
• Perusahaan tidak menjalankan FPIC
• Perusahaan tidak melakukan tata batas partisipatif
• Perusahaan tidak mengakui hak masyarakat sekitar konsesi
• Perusahaan tidak memenuhi kewajibannya untuk terlibat dalam peningkatan ekonomi masyarakat sekitar konsesi dengan pola-pola yang telah diatur oleh pemerintah (CSR, CD, Tanaman kehidupan, kemitraan)
• Arogansi pihak perusahaan menyebabkan ketidaknyamanan hubungan antara masyarakat dengan perusahaan
• Tidak ada komunikasi yang baik antar pihak.
Catatan Konflik Desa Lubuk Mandarsah / WALHI Jambi
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |