Ancaman Penggusuran di Tiga Desa (Desa Komodo, Desa Papagarang, Desa Rinca) dalam Taman Nasional Komodo untuk Kepentingan Pariwisata dan Konservasi
NUSA TENGGARA TIMUR, KAB. MANGGARAI BARAT
Nomor Kejadian
:
08-04-2020
Waktu Kejadian
:
01-01-1967
Konflik
:
Taman Nasional
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Hutan Konservasi
Sektor Lain
:
Pariwisata
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
0,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
1.500 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Pusat
- Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat
- Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Masyarakat Desa Komodo
KONTEN
1960-1980
Pada 1960-an, mayoritas matapencaharian masyarakat Desa Komodo merupakan pemburu dan petani-penggarap yang hidup secara subsisten dengan sistem pertanian lokal yang disebut lingko. Kebanyakan dari kelompok masyarakat ini juga melakukan sitem ladang-berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Rata-rata lahan garapan yang dikuasai per Kepala Keluarga (KK) seluas 0,1 ha yang dibagikan oleh kepala suku/ketua adat secara merata. Tanaman pangan yang ditanam umumny berupa padi, jagung, ubu, dan sayur-sayuran.
Loh Liang adalah tempat terakhir mereka melakukan ladang berpindah, yang sekarang merupakan gerbang pariwisata di Pulau Komodo. Di Loh Liang pada 1960-an mereka mulai membayar pajak kepada pemerinta daerah, dan pemerintah pun masih mendukung aktivitas pertanian warga dengan memfasilitasi pagar kawat berduri untuk melindungi lahan garapan warga, yang sebelumnya warga masih menggunakan pohon asam, untuk menghindari hama babi hutan dan monyet.
Tahun 1971 adalah tahun terakhir bagi 60 KK penggarap menggarap kebunnya di daerah Loh Liang, tepat dua tahun setelah ditetapkannya Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar sebagai Kawasan Hutan Wisata. Pada saat itu, Kementerian Kehuatanan yang datang bersama aparat bersenjata mengusir warga dari daerah Loh Liang karena dianggap keberadaan mereka dapat mengganggu ekosistem. Tanpa mampu berbuat apa-apa, warga harus rela menyaksikan anjing-anjing peliharaan mereka dihabisi, rumah-rumah mereka dibakar, dan tanaman yang mereka tanam dimusnahkan. Semenjak saat itu, warga dilarang untuk menggarap kebun atau pun memburu rusa dan dipaksa untuk mencari sumber penghidupan yang baru. Setelah peristiwa tersebut, banyak dari warga beralih menjadi nelayan dengan cara mengutang untuk membeli kapalnya sendiri atau menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal warga yang sebelumnya sudah menjadi nelayan. Pada tahun-tahun 1970-an, mayoritas nelayan di Pulau Komodo adalah nelayan bagan penangkap cumi.
Tidak jauh berbeda dengan Pulau Komodo, masyarakat di Pulau Rinca, tepatnya Desa Pasir Panjang juga dapat ditemukan kelompok masyarakat penggarap pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970. Para menggarap hanya menggarap lahan mereka hanya pada saat musim angin timur, ketika ikan-ikan yang biasa ditangkap pada musim angin barat belum muncul. Pada saat itu, para penggarap menanam komoditas berupa pisang, dan kelapa yang ditanam di sebelah Barat desa hingga ke Loh Buaya. Akan tetapi, karena banyak masyarakat yang tidak sanggup mengatasi hama-hama monyet dan babi hutan, mereka tidak lagi mengelolalanya, kemudian beralih mata pencaharian menjadi nelayan penangkap ikan dengan menggunakan jaring dan pukat. Selain penggarap, masyarakat Desa Pasir Panjang juga merupakan pemburu hingga akhirnya dilarang pada tahun 2002. Sedangkan masyarakat di Pulau Papagarang, mayoritas adalah nelayan pukat dan bagan penangkap cumi karena memang kondisi tanah Pulau Papagarang yang tandus tidak memungkinkan untuk menanam komoditas perkebunan.
1980-1990
Pada sekitar tahun 1980–1990, saat mayoritas masyarakat Desa Komodo menjadi nelayan, salah satu warga yang telah memiliki keahlian dalam memahat patung, mengajak dan mengajari masyarakat untuk beralih mata pencaharian menjadi pemahat patung karena negara melalui Kementerian Pertanian telah menyatakan pembentukan Taman Nasional Komodo (TNK) pada tahun 1980 dianggap akan meningkatkan jumlah pengunjung atau wisatawan ke Desa Komodo. Semenjak saat itu, satu per satu masyarakat Desa Komodo beralih mata pencaharian menjadi pemahat atau penjual cenderamata, dan mengubah kapal-kapal yang sebelumnya digunakan menangkap ikan menjadi kapal-kapal wisata.
Sementara di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca dan Desa Papagarang, Pulau Papagarang mayoritas masyarakat pada saat itu adalah nelayan dan ABK dari kapal keluarganya sendiri. Seperti yang dialami oleh Pak Masiga di Desa Papagarang yang menjadi ABK di kapal orangtuanya. Pada umumnya, nelayan-nelayan tersebut masih dapat menggunakan alat tangkap yang beragam tanpa dibatasi oleh aturan-aturan dari Badan Taman Nasional Komodo (BTNK).
1990-2000
Pada rentang tahun 1990–2000, kondisi mata pencaharian di tiga desa dalam Kawasan TNK relatif tidak banyak berubah. Masyarakat di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca mayoritas adalah nelayan. Akan tetapi, semenjak disahkannya TNK oleh Soeharto pada tahun 1992 dan pemberlakuan aturan zonasi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan mulai dibatasi dan sejak saat itu banyak terjadi penangkapan oleh polisi. Nelayan-nelayan banyak dianggap sebagai kriminal.
2000-2017
Penetapan usulan zonasi yang ditetapkan pada tahun 2001 melalui SK Ditjen PHKA No.65/kpts/Dj-V/2001 dan pemberian konsesi pengelolaan TNK kepada The Nature Concervancy (TNC) menyebabkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber-sumber alam kian dipersempit yang turut mempengaruhi penghasilan dan kualitas hidup masyarakat. Para nelayan di tiga pulau dalam Kawasan TNK diwajibkan untuk melapor sebelum melakukan kegiatan melaut, namun tetap saja masyarakat sering mendapat perlakuan tidak adil dan satu per satu banyak masyarakat yang dipenjara karena melakukan cara-cara tradisional dalam menangkap ikan.
Tidak hanya berdampak pada nelayan, aturan zonasi dan perlakuan petugas patroli BTNK yang cenderung represif pun kerap merugikan pemahat dan penjual cenderamata. Para pemahat yang pada tahun 2000-an sudah mendominasi di Desa Komodo tidak dapat lagi mengambil bahan baku kayu dari wilayah hutan Pulau Komodo. Para pemahat hanya diperbolehkan untuk mengambil kayu dari pohon yang sudah mati dengan syarat tidak boleh membawa alat tajam ketika masuk ke dalam hutan. Jika petugas patroli mendapati masyarakat yang membawa alat tajam maka akan dilaporkan ke kantor pusat BTNK dan diberi sanksi.
Hal-Hal Lainnya...
Masyarakat di dalam Taman Nasional Komodo hingga hari ini tidak memiliki kpastian dalam penguasaan tanah pemukiman yang sudah mereka dudukii selama puluhan tahun akibat dari kebijakan Taman Nasional dan Industri Pariwisata. Secara perlahan dan terus menerus, warga dibatasi pergerakannya dan dilarang untuk berkembang. Misalnya, warga dilarang untuk memperluah tanah ruamhnya, warga dilarang untuk membangun sekolah untuk anak-anaknya, dan warga tidak pernah mendapat fasilitas untuk air bersih yang seharusnya sudah menjadi haknya sebagai warga negara.
Saat ini, wacara Pariwisata Premium semakin menunjukkan bahwa ada keinginan dari negara untuk mengusir masyarakat, khususnya Desa Komodo, dari Pulau Komodo hanya untuk mementingkan turis dan investasi pariwisata. Berita terkahir yang diterima bawha masyarakat akan dipindah ke Pulau Rinca.
Agrarian Resources Center
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
NUSA TENGGARA TIMUR, KAB. MANGGARAI BARAT
Nomor Kejadian | : | 08-04-2020 |
Waktu Kejadian | : | 01-01-1967 |
Konflik | : | Taman Nasional |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Hutan Konservasi |
Sektor Lain | : | Pariwisata |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 0,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 1.500 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Pusat
- Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat
- Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Masyarakat Desa Komodo
KONTEN
1960-1980
Pada 1960-an, mayoritas matapencaharian masyarakat Desa Komodo merupakan pemburu dan petani-penggarap yang hidup secara subsisten dengan sistem pertanian lokal yang disebut lingko. Kebanyakan dari kelompok masyarakat ini juga melakukan sitem ladang-berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Rata-rata lahan garapan yang dikuasai per Kepala Keluarga (KK) seluas 0,1 ha yang dibagikan oleh kepala suku/ketua adat secara merata. Tanaman pangan yang ditanam umumny berupa padi, jagung, ubu, dan sayur-sayuran.
Loh Liang adalah tempat terakhir mereka melakukan ladang berpindah, yang sekarang merupakan gerbang pariwisata di Pulau Komodo. Di Loh Liang pada 1960-an mereka mulai membayar pajak kepada pemerinta daerah, dan pemerintah pun masih mendukung aktivitas pertanian warga dengan memfasilitasi pagar kawat berduri untuk melindungi lahan garapan warga, yang sebelumnya warga masih menggunakan pohon asam, untuk menghindari hama babi hutan dan monyet.
Tahun 1971 adalah tahun terakhir bagi 60 KK penggarap menggarap kebunnya di daerah Loh Liang, tepat dua tahun setelah ditetapkannya Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar sebagai Kawasan Hutan Wisata. Pada saat itu, Kementerian Kehuatanan yang datang bersama aparat bersenjata mengusir warga dari daerah Loh Liang karena dianggap keberadaan mereka dapat mengganggu ekosistem. Tanpa mampu berbuat apa-apa, warga harus rela menyaksikan anjing-anjing peliharaan mereka dihabisi, rumah-rumah mereka dibakar, dan tanaman yang mereka tanam dimusnahkan. Semenjak saat itu, warga dilarang untuk menggarap kebun atau pun memburu rusa dan dipaksa untuk mencari sumber penghidupan yang baru. Setelah peristiwa tersebut, banyak dari warga beralih menjadi nelayan dengan cara mengutang untuk membeli kapalnya sendiri atau menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal warga yang sebelumnya sudah menjadi nelayan. Pada tahun-tahun 1970-an, mayoritas nelayan di Pulau Komodo adalah nelayan bagan penangkap cumi.
Tidak jauh berbeda dengan Pulau Komodo, masyarakat di Pulau Rinca, tepatnya Desa Pasir Panjang juga dapat ditemukan kelompok masyarakat penggarap pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970. Para menggarap hanya menggarap lahan mereka hanya pada saat musim angin timur, ketika ikan-ikan yang biasa ditangkap pada musim angin barat belum muncul. Pada saat itu, para penggarap menanam komoditas berupa pisang, dan kelapa yang ditanam di sebelah Barat desa hingga ke Loh Buaya. Akan tetapi, karena banyak masyarakat yang tidak sanggup mengatasi hama-hama monyet dan babi hutan, mereka tidak lagi mengelolalanya, kemudian beralih mata pencaharian menjadi nelayan penangkap ikan dengan menggunakan jaring dan pukat. Selain penggarap, masyarakat Desa Pasir Panjang juga merupakan pemburu hingga akhirnya dilarang pada tahun 2002. Sedangkan masyarakat di Pulau Papagarang, mayoritas adalah nelayan pukat dan bagan penangkap cumi karena memang kondisi tanah Pulau Papagarang yang tandus tidak memungkinkan untuk menanam komoditas perkebunan.
1980-1990
Pada sekitar tahun 1980–1990, saat mayoritas masyarakat Desa Komodo menjadi nelayan, salah satu warga yang telah memiliki keahlian dalam memahat patung, mengajak dan mengajari masyarakat untuk beralih mata pencaharian menjadi pemahat patung karena negara melalui Kementerian Pertanian telah menyatakan pembentukan Taman Nasional Komodo (TNK) pada tahun 1980 dianggap akan meningkatkan jumlah pengunjung atau wisatawan ke Desa Komodo. Semenjak saat itu, satu per satu masyarakat Desa Komodo beralih mata pencaharian menjadi pemahat atau penjual cenderamata, dan mengubah kapal-kapal yang sebelumnya digunakan menangkap ikan menjadi kapal-kapal wisata.
Sementara di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca dan Desa Papagarang, Pulau Papagarang mayoritas masyarakat pada saat itu adalah nelayan dan ABK dari kapal keluarganya sendiri. Seperti yang dialami oleh Pak Masiga di Desa Papagarang yang menjadi ABK di kapal orangtuanya. Pada umumnya, nelayan-nelayan tersebut masih dapat menggunakan alat tangkap yang beragam tanpa dibatasi oleh aturan-aturan dari Badan Taman Nasional Komodo (BTNK).
1990-2000
Pada rentang tahun 1990–2000, kondisi mata pencaharian di tiga desa dalam Kawasan TNK relatif tidak banyak berubah. Masyarakat di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca mayoritas adalah nelayan. Akan tetapi, semenjak disahkannya TNK oleh Soeharto pada tahun 1992 dan pemberlakuan aturan zonasi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan mulai dibatasi dan sejak saat itu banyak terjadi penangkapan oleh polisi. Nelayan-nelayan banyak dianggap sebagai kriminal.
2000-2017
Penetapan usulan zonasi yang ditetapkan pada tahun 2001 melalui SK Ditjen PHKA No.65/kpts/Dj-V/2001 dan pemberian konsesi pengelolaan TNK kepada The Nature Concervancy (TNC) menyebabkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber-sumber alam kian dipersempit yang turut mempengaruhi penghasilan dan kualitas hidup masyarakat. Para nelayan di tiga pulau dalam Kawasan TNK diwajibkan untuk melapor sebelum melakukan kegiatan melaut, namun tetap saja masyarakat sering mendapat perlakuan tidak adil dan satu per satu banyak masyarakat yang dipenjara karena melakukan cara-cara tradisional dalam menangkap ikan.
Tidak hanya berdampak pada nelayan, aturan zonasi dan perlakuan petugas patroli BTNK yang cenderung represif pun kerap merugikan pemahat dan penjual cenderamata. Para pemahat yang pada tahun 2000-an sudah mendominasi di Desa Komodo tidak dapat lagi mengambil bahan baku kayu dari wilayah hutan Pulau Komodo. Para pemahat hanya diperbolehkan untuk mengambil kayu dari pohon yang sudah mati dengan syarat tidak boleh membawa alat tajam ketika masuk ke dalam hutan. Jika petugas patroli mendapati masyarakat yang membawa alat tajam maka akan dilaporkan ke kantor pusat BTNK dan diberi sanksi.
Hal-Hal Lainnya...
Masyarakat di dalam Taman Nasional Komodo hingga hari ini tidak memiliki kpastian dalam penguasaan tanah pemukiman yang sudah mereka dudukii selama puluhan tahun akibat dari kebijakan Taman Nasional dan Industri Pariwisata. Secara perlahan dan terus menerus, warga dibatasi pergerakannya dan dilarang untuk berkembang. Misalnya, warga dilarang untuk memperluah tanah ruamhnya, warga dilarang untuk membangun sekolah untuk anak-anaknya, dan warga tidak pernah mendapat fasilitas untuk air bersih yang seharusnya sudah menjadi haknya sebagai warga negara.
Saat ini, wacara Pariwisata Premium semakin menunjukkan bahwa ada keinginan dari negara untuk mengusir masyarakat, khususnya Desa Komodo, dari Pulau Komodo hanya untuk mementingkan turis dan investasi pariwisata. Berita terkahir yang diterima bawha masyarakat akan dipindah ke Pulau Rinca.
Agrarian Resources Center
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |