DATA DETIL
Konflik Hutan Adat Laman Kinipan dengan Perkebunan Sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML)

 KALIMANTAN TENGAH, KAB. LAMANDAU

Nomor Kejadian :  28-08-2020
Waktu Kejadian :  01-08-2020
Konflik :  Perkebunan Kelapa Sawit
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  3.689,1 Ha
Dampak Masyarakat  :  938 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kantor Staf Presiden
  • Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
  • Pemerintah Desa Kinipan
  • DPRD Lamandau
  • Pemerintah Kabupaten Lamandau
  • Komnas HAM
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  • PT. Sawit Mandiri Lestari (PT SML)
  • Komunitas Laman Kinipan
  • Dewan Adat Dayak (DAD) Kotawaringin Barat

KONTEN

Pada 25 Juli 2019 warga adat Laman Kinipan mengusir eksavator yang tengah membabat hutan mereka. PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML), perusahaan perkebunan sawit membabat hutan adat Laman Kinipan sejak 2018. Padahal, menurut penuturan ATR/BPN wilayah hutan adat Kinipan berada di luar HGU perusahaan tersebut.

PT. SML merupakan anak perusahaan dari PT. Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) Tbk, sebelum semua sahamnya diberikan kepada PT. SML pada 2016. SML memperoleh izin pelepasan kawasan hutan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. PT. SML juga telah memiliki izin lokasi, izin pemanfaatan kayu (IPK), dan juga Hak Guna Usaha pada 2017 seluas 9.435,22 hektar. Di Lamandau, mereka sudah mendapatkan izin sejak Bupati dijabat Ir. Marukan pada tahun 2012 melalui SK Bupati Lamandau Nomor Ek. 525.26/15/SK-IL/VI/2012 seluas 26.995,46 hektare.

Secara administratif, PT SML bekerja di sembilan desa dan tiga kecamatan, yaitu Desa Suja, Penopa, Karang Taba, Tapin Bini, Tanjung Beringin, Sungai Tuat, Cuhai, Kawa, Samujaya di Kecamatan Lamandau; Desa Riam Panahan di Kecamatan Delang; Batu Tambun, dan Kinipan di Kecamatan Batang Kawa.

Sebetulnya penolakan terhadap kehadiran investasi perkebunan sawit telah dilakukan oleh masyarakat adat Laman Kinipan sejak 2012 ketika PT. SML mulai datang berulang untuk bernegosiasi soal penggusuran wilayah adat Laman Kinipan. Bahkan mereka menyatakan penolakan tersebut secara tertulis.

Luas wilayah adat Laman Kinipan adalah 16.169,942 hektar, terdiri dari 70% hutan rimba dan 30% lahan garapan masyarakat dan pemukiman. Tidak hanya sebagai penjamin air, hutan rimba Laman Kinipan merupakan penjamin kesehatan bagi warga adat, karena sumber obat-obatan ada di sana.

Di lahan garapan mereka menanam karet, rotan, dan jengkol. Secara tegas mereka lebih memilih jengkol daripada sawit. Hal ini karena harga jengkol lebih tinggi daripada sawit, dan jengkol tidak memerlukan pupuk dan perawatan seperti sawit.
Sampai pada Juli 2019, setidaknya sudah ada 3.689,1 hektar hutan yang ditebang oleh PT. SML. Pohon dengan batang-batang besar, seperti kayu ulin, jelutong, meranti, kapang, habis dirusak. Rimba Laman Kinipan telah berganti tanaman sawit.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh warga adat. Mereka bersurat kepada pihak perusahaan. Ada tiga surat yang pernah mereka layangkan, diantaranya tentang: melakukan penolakan dan menghentikan operasi di wilayah adat; mengajak perusahaan duduk bersama dengan masyarakat adat; dan mengirimkan tuntutan adat. Semua surat tidak digubris. Termasuk penebusan denda adat sebanyak Rp 5 milliar karena telah mengambil tanah dan juga pohon-pohon masyarakat.

Mereka kemudian memutuskan untuk melapor pada kementerian dan Lembaga negara, diantaranya kepada Kantor Staf Presiden, KLHK, dan Komnas HAM. Mereka juga mengadu pada DPRD dan Bupati Lamandau. Sebanyak 200 orang warga adat turun gunung dan berdemo di depan DPRD pada Oktober 2018 lalu. Mereka bahkan menyerahkan Mandau, sebagai bentuk kepercayaan mereka pada DPRD.

Pada awal Agustus 2019 lalu, Kantor Staf Presiden mengundang perwakilan masyarakat adat ke Jakarta untuk berdiskusi dengan para pihak, diantaranya ATR/BPN, KLHK, Bupati Lamandau, dan Gubernur Kalimantan Tengah. Namun sayangnya, pemerintah daerah tidak ada yang hadir. Tapi pada pertemuan tersebut mereka tahu, bahwa ternyata HGU PT. SML tidak masuk sampai ke Kinipan. Hal ini disampaikan oleh ATR/BPN dalam rapat koordinasi tersebut.

Salah satu upaya lainnya yang dilakukan oleh warga adat Kinipan adalah mendaftarkan wilayah adat mereka untuk menjadi hutan adat ke KLHK. Pada tahun 2018, dibantu BRWA dan AMAN, mereka ambil bagian dalam rapat koordinasi nasional hutan adat yang diselenggarakan KLHK. Kabarnya mereka sudah mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK. Mereka juga sudah memiliki peta dan sudah diverifikasi.

Tanggal 26 Agustus 2020, Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan, ditangkap secara paksa oleh pasukan polisi dengan kekuatan berlebihan. Ia dijadikan sebagai tersangka tanpa surat pemanggilan terlebih dahulu atas tuduhan pencurian chainsaw dan perusakan bangunan. Tanggal 27 Agustus 2020 Efendi Buhing dilepaskan dengan status saksi. Mahfud MD, Menpolhukam, sempat berkomentar bahwa apa yang dilakukan polisi adalah tindak pidana semata, tidak ada hubungannya dengan wilayah adat. Hingga Agustus 2020, sudah lebih dari 4 anggota masyarakat adat Kinipan mendekam di penjara, salah satunya pengurus pemerintah Desa Kinipan.


Media Online

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--