DATA DETIL
Warga Cirebon gugat pemerintah atas izin lingkungan PLTU Batubara Kanci

 JAWA BARAT, KAB. CIREBON

Nomor Kejadian :  jabar001
Waktu Kejadian :  06-12-2016
Konflik :  PLTU
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Infrastruktur Energi Listrik
Sektor Lain  :  Kesehatan
Luas  :  204,3 Ha
Dampak Masyarakat  :  3.500 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemprov Jabar
  • Pemda Cirebon
  • PT.Cirebon Energi Prasarana
  • Warga Bandengan
  • Warga Kanci Kulon
  • Warga Kanci

KONTEN

Hari ini masyarakat terdampak pembangunan PLTU Batubara Kanci di Cirebon mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Barat atas diterbitkannya izin lingkungan tentang kegiatan dan pembangunan PLTU Batubara yang berlokasi di kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Gugatan disampaikan oleh Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) ke Pengadilan Tata Usaha Bandung (TUN), didampingi Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim.

Izin Lingkungan diterbitkan 11 Mei 2016 dan merupakan bagian dari rangkaian perizinan terkait rencana ekspansi PLTU batubara tahap 2 dengan kapasitas 1x 1000MW diatas tanah seluas 204,3 hektar untuk PT.Cirebon Energi Prasarana (PT.CEPR) dengan nomor. 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016. Izin lingkungan tersebut dinilai cacat secara substansi, prosedur dan melanggar peraturan perundangan.

Akibatnya banyak nelayan kecil pencari ikan, rebon, kerang, pengrajin terasi dan petambak garam terancam kehilangan mata pancahariannya. Hampir seluruh penduduk masyarakat Desa Kanci Kulon bergantung dengan sumberdaya laut dan pesisir. Berbagai jenis kerang – kerangan, ikan, rebon dan lain – lain saat ini sudah jarang ditemui. Kerusakan dan pencemaran PLTU 1 sudah sangat berdampak pada masyarakat kanci apa lagi jika ditambah dengan PLTU 2. Selain itu rencana pembangunan ini telah menimbulkan konflik dan kerusakan parah pada sistem sosial masyarakat.

Muhnur Sathaya Prabu.SH, salah seorang tim kuasa hukum masyarakat mengatakan, izin lingkungan ini digugat karena pemerintah provinsi Jawa Barat telah menabrak sejumlah peraturan perundangan yaitu UU 26/2007 tentang penataan ruang, UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, PP 27/2012 tentang izin lingkungan, PerMen LH 16/2012 tentang pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup dan PerMen LH 17/2012 tentang pedoman keterlibatan masyarakat dalam proses analisis dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan. Oleh karena itu, izin tersebut tidak sah dan harus dibatalkan demi hukum, ditambah dalam penerbitannya telah melanggar dan tidak memperhatikan asas penyelenggaran pemerintahan yang baik.

Moch Aan Anwaruddin Koordinator Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) menjelaskan proses penyusunan AMDAL dan terbitnya izin lingkungan tidak merepresentasikan suara masyarakat terdampak, khususnya Kecamatan Astanajapura. “ justru masyarakat yang dilibatkan tidak mewakili suara masyarakat terdampak yang sesungguhnya kami memaksa hadir walau tanpa undangan pada pemabahasan sidang AMDAL yang dilakukan di Cirebon dan bandung pada bulan mei 2016 untuk menyatakan ketidak setujuan atas pembangunan PLTU 2 Kanci. Kemudian pembangunan tersebut tidak hanya mengancam hilangnya mata pencaharian masyarakat seperti nelayan pinggiran dan petambak garam namun juga meninmbulkan terjadi nya konflik social yang sebagaimana terjadi pada pembangunan PLTU 1 Cirebon sebelumnya. Terkait kepemilikan tanah masih bersengketa masyarakat, ujar Moch Aan Anwaruddin.

Sementara menurut Wahyu Widianto, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat,

“Kebijakan pemerintah pusat membangun tambahan 35.000 megawatt (MW) pembangkit listrik baru di mana sebanyak 22 GW berasal dari PLTU batubara menyebabkan terabaikannya hak rakyat atas lingkungan, hak atas akses terhadap sumberdaya alam yang memungkin mereka untuk hidup dan bertahan, termasuk tanah,pangan, air dan udara. Maka, Izin Lingkungan tersebut harus dicabut,” tegasnya.

Ditambah lagi, dengan diundangkannya UU 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa – Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pemerintah Indonesia diminta agar kebijakan sektor energi dapat mencerminkan kewajiban untuk melakukan pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang sudah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia internasional. Oleh karena itu Presiden Joko Widodo diminta agar meninjau ulang dan menghentikan rencana pembangunan proyek-proyek PLTU batubara di Indonesia, khususnya di Indonesia.


Walhi Jabar

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--