DATA DETIL
Kriminalisasi dan Perampasan Tanah Proyek Bendungan Mbay Lambo

 NUSA TENGGARA TIMUR, KAB. NAGEKEO

Nomor Kejadian :  28
Waktu Kejadian :  01-04-2022
Konflik :  PLTA
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Bendungan
Sektor Lain  :  
Luas  :  5.206,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  24 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Kabupaten Nagekeo
  • Polres Nagekeo
  • DPRD Kabupaten Nagekeo
  • Balai Sungai Wilayah Nusa Tenggara II (BWS NT II)
  • BPN Nagekeo
  • PT. Waskita Karya
  • Masyarakat adat Desa Rendu Butowe
  • Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL)

KONTEN

Proyek bendungan lagi,konflik agraria lagi. Pemerintah seolah tidak pernah belajar bahwa perampasan tanah dan pengabaian hak masyarakat atas tanah hanya akan menimbulkan penolakan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agrarian melonjak sebesar 123% pada tahun 2021. Salah satu penyebabnya adalah Proyek Strategis Nasional. Dari 17 kasus di tahun 2020,jumlah itu meningkat menjadi 38 kasus selama 2021. Letusan konflik agrarian masih berlangsung pada awal 2022. Setelah terjadi letusan konflik di Desa Wadas,Purworejo,Jawa Tengah,kini konflik kembali terjadi akibat pembangunan PSN Bendungan Mbay/Lmbo di Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo,Nusa Tenggara Timur. Mega proyek Bendungan Mbay/Lambo di Desa Rendu Butowe,Kabupaten Nagakeo,Nusa Tenggara Timur, Mega proyek Bendungan Mbay/Lambo yang digagas Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II,telah mencipatkan konflik social dan konflik agraria.

Pemerintah melakukan survei lokasi dan pengukuran tanah pada tahun 2001 tanpa memberitahu warga sekitar. Setelah pengumuman bahwa warga diberi waktu 14 hari untuk menolak pembangunan, aksi pemblokiran akses menuju lokasi dilakukan sebagai bentuk penolakan. Pembangunan dihentikan sementara tahun 2002-2014 dan dana dialihkan sebagai dana hibah ke Sulawesi. Namun, pada tahun 2015, pemerintah daerah merencanakan dua pembangunan besar dan tokoh adat dan masyarakat membentuk forum penolakan lokasi pembangunan Waduk Lambo tetapi menawarkan alternatif lain.

Pada tahun 2016, konflik mencapai puncaknya antara masyarakat setempat dan pemerintah. Tim survei pemerintah dihadang kelompok masyarakat dan terjadi konflik hingga menyebabkan dua warga pingsan. Masyarakat juga menolak lokasi tersebut dan menawarkan alternatif lokasi lainnya. Tidak menyerah, tim survei bersama aparat kepolisian melakukan penurunan alat-alat mesin di lokasi pembangunan, namun disambut dengan aksi protes oleh ibu-ibu Dusun Jawatiwa sebagai bentuk protes.

Tahun 2017, staf khusus kepresidenan melakukan kunjungan dan melakukan pertemuan degan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut masyarakat menyuarakan bahwa pembangunan tersebut dapat merugikan mereka dengan menenggelamkan pemukiman warga, hilangnya lahan tempat mereka bertani dan lenyapnya kuburan leluhur. Namun, pada tahun 2019, pemerintah menyampaikan bahwa tidak lagi melakukan diskusi dengan masyarakat karena pembangunan ini merupakan program negara. Masyarakat meminta agar pemerintah menghadirkan tim survey dan kajian agar dapat menjelaskan secara detail mengenai lokasi pembangunan waduk.

Tahun 2021 sempat terjadi adu mulut antara warga dan aparat kepolisian dimana aparat bersikukuh melakukan pembongkaran pagar dan menghiraukan aksi protes dari masyarakat. Aksi protes lainnya dilakukan dengan menutup kantor desa sebab masyarakat tidak menerima lokasi pembangunan tersebut. Tahun 2022, tim survei kembali melakukan pengukuran namun dihadang kembali oleh masyarakat hingga terjadilah konflik yang menyebabkan sebanyak 24 orang warga diamankan ke Polres. Dalam hasil wawancara dijelaskan bahwa warga yang ditangkap mengalami penyiksaan di Polres. Konflik ini terjadi karena masyarakat setempat merasa tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dan kekhawatiran mereka tidak dihiraukan.


Konsorsium Pembaruan Agraria

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--