DATA DETIL
Masyarakat Adat Turungan Baji Vs Kehutanan

 SULAWESI SELATAN, KAB. SINJAI

Nomor Kejadian :  01
Waktu Kejadian :  16-12-2013
Konflik :  hutan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Hutan Produksi
Sektor Lain  :  
Luas  :  5.983,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  4.883 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sinjai

KONTEN

Perampasan tanah kelola rakyat terus-menerus terjadi, baik dengan alasan konsesi maupun dengan alasan lainnya termasuk kawasan hutan atau tanah milik negara. Rezim baru Jokowi-JK yang oleh banyak pihak digadang-gadang akan mendukung pelaksanaan reforma agraria ternyata menemui kekeliruan, hal tersebut tidak lepas dari kekeliruan melihat posisi kelas dan kepentingan yang dibawanya sehingga menempatkan Jokowi-JK sebagai bagian dari perjuangan rakyat.
Salah satu bentuk perampasan tanah kelola rakyat menimpa Bahtiar Bin Sabang, lelaki 45 Tahun tersebut bermukim di Kampung Soppeng, Desa Turungan Baji, Kec. Sinjai Barat, Kab. Sinjai Sulawesi Selatan. Saat ini beliau berstatus Tahanan Rumah Kejaksaan Negeri Sinjai setelah lebih dari 50 hari menjadi tahanan di Polres Sinjai. Bahtiar telah menjalani proses hukum sekitar 1 Tahun, 4 Bulan sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resort Sinjai.
Kasus ini bermula saat Bahtiar bermaksud menyiangi tanaman di tanah adat tempat Ia bercocok tanam, namun oleh pihak Kehutanan Kab. Sinjai kemudian dilaporkan ke Polisi telah melakukan perambahan hutan. Berdasarkan catatan AMAN Sulawesi Selatan, berikut beberapa kejanggalan yang semestinya menjadi pertimbangan Hakim dalam mengambil keputusan agar asa rasa keadilan tetap terjaga.


Bahtiar Korban Kriminalisasi, Kenapa ?
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh AMAN Sul-Sel bersama Front GERTAK maka dengan ini kami simpulkan bahwa Bahtiar Bin Sabang adalah korban kriminalisasi hasil persekongkolan antara Dinas Kehutanan Sinjai (Mandor Hutan, POLHUT, Kepala Dinas) dengan Kepolisian Resort Sinjai, dan Kejaksaan Negeri Sinjai. Bahtiar ditangkap bukan karena pelanggaran hukum yang telah dilakukannya namun lebih pada aktivitas politiknya sebagai salah satu penggerak masyarakat adat Soppeng-Turungan dan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM Sipil Politik.
Berikut kami paparkan fakta-fakta upaya kriminalisasi terhadap Beliau:

Setelah Bahtiar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resort Sinjai pada Tanggal 29/1/2014, berdasar Laporan Polisi Nomor: LP/379/XII/2013/SPKT tanggal 16/12/2013, selanjutnya Bahtiar mendapatkan surat panggilan untuk menghadap ke Polres Sinjai namun tidak dihiraukannya karena merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan yaitu: “Menebang pohon didalam kawasan hutan produksi terbatas tanpa izin dari pihak yang berwenang". (Pasal 78 ayat (2) Junto Pasal 50 ayat (3) Huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Bahtiar kemudian ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Informasi ini didaptkan berdasarkan keterangan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kab. Sinjai pada saat aksi Demonstrasi dalam memperingati hari kebangkitan masyarakat adat, 17 Maret 2014 (Tribun Timur, 18/3/2014, Hal. 16 – Warga 4 Kecamatan Demo Dinas Kehutanan). Menjadi kejanggalan kemudian adalah Bahtiar ditetapkan dalam status DPO, sementara Bahtiar tetap berada dirumahnya, menjalankan aktivitasnya seperti biasa dan tidak ditangkap. Ada upaya untuk menggantung posisi status Bahtiar yang dilakukan oleh Polres Sinjai.
Bahtiar merupakan salah satu penggerak dikomunitas Adat Soppeng-Turungan (Terdaftar sebagai Anggota AMAN pada Rapat Pengurus Besar, April 2014), pada tanggal 12/12/2014 bersama dengan Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Sinjai dibantu oleh Front GERTAK melaksanakan konsolidasi kampung terkait rencana pemetaan wilayah adat.
Polres Sinjai mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Bahtiar dengan Nomor : SP. KP/65/X/2014/Reskrim bertanggal 13/10/2014. Tanggal 15/10/2014 sekitar pukul 15.00 Wita, Bahtiar di jemput dirumahnya oleh 7 orang Polisi. Dengan alasan kepentingan pemeriksaan, Bahtiar dibawa ke Polres Sinjai dan ditahan sejak hari itu juga. Jika kita mencermati rentetan peristiwa diatas, maka tergambar bahwa pada dasarnya Polres Sinjai tidak berniat melanjutkan kasus Bahtiar tersebut terbukti dengan tidak ditangkapnya Bahtiar sejak ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Januari 2014 dengan alasan Bahtiar DPO sementara fakta lapangan yang kami dapatkan bahwa Bahtiar tetap berada di Kampungnya (Januari – Oktober 2014). Namun menjadi janggal kemudian, sehari setelah konsolidasi kampung yang diinisiasi oleh Bahtiar, surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh Polres Sinjai.
Tiga hari setelah Bahtiar ditangkap dan ditahan di Polres Sinjai, Kuasa Hukum Bahtiar mengajukan Surat penangguhan penahanan dengan jaminan AMAN secara organisasi baik ditingkat Daerah (Sinjai) maupun ditingkat Wilayah (Sulawesi Selatan). Kasat Reskrim Polres Sinjai mengajukan syarat untuk penangguhan penahanan Bahtiar dengan meminta jaminan berupa uang sebesar Rp. 2.500.000,-. Syarat tersebut ditolak oleh kuasa hukum Bahtiar yang juga merupakan Tim Advokasi AMAN Sulawesi Selatan dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa Kasat Reskrim Sinjai secara tersirat membandingkan AMAN secara organisasi tidak seharga dengan uang sebesar Rp. 2.500.000,- dan tindakan tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap organisasi.Dari paparan diatas, kasat Reskrim Sinjai tidak memberikan hak tersangka berupa penangguhan penahanan meskipun AMAN secara organisasi menjamin bahwa Bahtiar “Tidak akan melarikan diri, mengulangi perbuatan, dan menghilangkan barang bukti,” Yang merupakan syarat pemberian penangguhan penahahan.
Pada tanggal 16/11/2014, AMAN bersama Front GERTAK melaksanakan rapat akbar di Komunitas Adat Soppeng Turungan (Bahtiar Di Kriminalisasi, 3 Desa ancam duduki Disbunhut Sinjai—Kabar AMAN Sulsel) yang melibatkan 3 Desa di Kecamatan Sinjai Barat yaitu Desa Turungan Baji, Desa Terasa dan Desa Turungan Baji.Anggota DPRD Kab. Sinjai, H. Salam Dg. Bali yang juga hadir dalam rapat akbar tersebut menjelaskan bahwa pernah bertemu dengan Kepala Disbunhut Sinjai dan bertanya tentang penangkapan Bahtiar. Kepala Disbunhut Sinjai menjawab bahwa penangkpana Bahtiar tersebut didasari karena aktivitasnya mengumpulkan warga untuk melakukan pemetaan dan akan mengajak masyarakat disekitar kampung tersebut untuk merambah kawasan hutan. Dari penjelasan diatas ditangkap bahwa Kepala Disbunhut Sinjai menekan pihak Polres Sinjai untuk menangkap Bahtiar karena berburuk sangka dan menunjukkan ketidaktahuannya tentang pemetaan partisipatif, menunjukkan tidak adanya ruang partisipasi yang diberikan kepada masyarakat disekitar hutan untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk melakukan pemetaan atas wilayah adat dan wilayah kelola mereka yang telah digarap secara turun-temurun. Selain itu, Kepala Disbunhut Sinjai juga mempertegas bahwa masyarakat selalu dianggap layaknya Hama terhadap kawasan hutan dengan mengarus utamakan prasangka buruknya. Hal yang perlu digaris bawahi pula bahwa penangkapan Bahtiar bukan semata karena kasus hukum namun lebih pada aktivitas politiknya yang dianggap mengancam digdaya kehutanan dalam memonopoli lahan.
Pihak Polres Sinjai saat didatangi oleh Pejuang-pejuang GERTAK mempertanyakan bahwa: “Apakah Bapak pernah melihat salinan SK Penetapan Kawasan Hutan seperti yang sering dikatakan oleh pihak Kehutanan ?“Pihak Polres Sinjai menjawab tidak pernah dan menolak menanggapi pertanyaan lanjutan mengenai landasan hukum penangkapan Bahtiar.
Pihak Polres Sinjai kemudian menyerahkan berkas Bahtiar ke Kejaksaan Negeri Sinjai, namun dikembalikan karena dianggap berkas tersebut belum lengkap. Pada saat berkas tersebut dikembalikan, pihak Polres Sinjai kemudian melakukan pemeriksaan tambahan terhadap Bahtiar dan merubah beberapa kata dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait dengan barang bukti berupa parang tanpa sepengetahuan Kuasa Hukum. Pengembalian berkas dari Kejaksaan ke Kepolisian tersebut adalah sinyal bahwa Bahtiar tidak cukup bukti untuk dijadikan tersangka dan ditahan, hal ini juga terbukti dengan adanya pemeriksaan tambahan terhadap Bahtiar (3/11/2014) yang terkesan mendesak sampai-sampai tidak melakukan koordinasi dengan Kuasa Hukum Bahtiar.
Pada saat persidangan pertama dengan agenda pembacaan Dakwaan, Bahtiar yang awalnya dijerat dengan UU 41 Tahun 1999 kemudian didakwa melanggar Pasal 81 ayat (1) Huruf b Jo. Pasal 12 Huruf b dan Pasal 84 ayat (1) Jo. Pasal 12 Huruf f Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU-P3H). Adanya perubahan UU yang menjerat Bahtiar tentunya bukan hal tanpa sebab. Hal lain yang menjanggal dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah pasal yang dikenanakan tidak tepat (Pasal 81 ayat (1) Huruf b Jo. Pasal 12 Huruf b UUP3H) alias tidak ada didalam UU–P3H.
Keterangan Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan tertanggal 3 Desember 2014 pada rapat dengar pendapat di ruang Pertemuan Komisi II DPRD Kab. Sinjai “Semua kawasan hutan yang ada di wilayah hukum Kab.Sinjai belum berstatus penetapan namun masih dalam status penunjukan”, dengan demikian kawasan hutan yang masih berstatus “penunjukan” jelas tidak memiliki kekuatan hukum, dalam pertemuan ini juga Dinas Perkebunan dan Kehutanan bersepakat dengan DPRD Kab. Sinjai barulah akan melakukan pengusulan tata batas kawasan hutan di Kab. Sinjai pada tahun 2015 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini menandakan bahwa batas kawasan hutan pun masih bermasalah.
Dalam persidangan yang menghadirkan saksi dari pelapor bernama ‘Katu’ jelas informasi yang disampaikan berbeda saat memberikan keterangan saat BAP di Kepolisian.Katu menjelaskan dalam BAP bahwa Bahtiar Sabang menebang 40 batang pohon berdiameter 50 Cm sedangkan pada saat memberikan kesaksian dipersidangan Katu menjelaskan bahwa Katu tidak melihat Bahtiar menebang pohon dan diameter kayu yang ditebang bukan 50 Cm namun jauh dibawahnya bahkan Katu mengatakan bahwa Kayu tersebut tidak dapat diolah menjadi Balok atau Papan namun hanya dapat dijadikan kayu bakar. Saat didesak oleh hakim tentang keterangan yang berbeda tersebut, Katu menepuk Jidat dan menyesali telah diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian sehingga tidak dapat berbohong dan terpaksa mengakui bahwa keterangan yang benar adalah yang baru saja Ia berikan di Persidangan.
Dipersidangan lainnya, dua orang mandor hutan yang menjadi saksi pelapor juga memberikan kesaksian yang berbeda saat ditanya tentang jumlah pohon yang ditebang Bahtiar. Mandor hutanyang pertama member keterangan bahwa Ia mengetahui jumlah pohon yang ditebang Bahtiar sebanyak 40 batang saat melakukan tinjauan lapangan dan mendapati 32 batang gelondongan yang masih tersisa. Namun saat ditanya 8 batang dimana oleh Penasehat Hukum, Polhut tersebut menjawab tidak tau dan saat ditanya kembali oleh Penasehat Hukum darimana Dia tau ada 40 pohon yang ditebang, Polhut tersebut menjawab hanya menerima informasi dari Katu (mandor Hutan). Informasi yang berbeda diberikan oleh Polhut yang ke-Dua. Dia mengatakan bahwa Dia mengetahui ada 40 batang yang ditebang dengan melihat bekas tebangan dilokasi tersebut. Saat ditanya oleh Hakim apakah melihat ada gelondongan dilokasi tersebut, Saksi menjawab bahwa tidak ada.
Saat kesaksian ahli terlapor, Ibu Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM) menjelaskan bahwa status kawasan hutan yang masih penunjukan tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk menyatakan seseorang bersalah, selain itu Sandra Moniaga juga menjelaskan bahwa Masyarakat Adat adalah masyarakat rentan terhadap kriminalisasi dengan berbagai kepentingan yang ada diluar dirinya baik Negara maupun Swasta sehingga selayaknya Masyarakat Adat dilindungi sesuai dengan pengakuan Negara terhadap keberadaan mereka. Selain itu, Sandra Moniaga juga menjelaskan bahwa dalam Inkuiri Nasional yang dilaksanakan baru-baru ini menmaparkan fakta-fakta bahwa ada pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat dan KOMNASHAM merekomendasikan agar Pemerintah Daerah membentuk tim yang melibatkan multi pihak untuk melakukan Identifikasi keberadaan masyarakat adat dan sampai saat ini, Pemda Sinjai belum melakukan hal tersebut.
Pada saat tinjauan lapangan oleh Hakim, Jaksa, Penasehat Hukum dan pihak-pihak lainnya, terbukti bahwa tidak ada bekas tebangan sebanyak 40 batang dan tidak ada bekas tebangan berdiameter 50 Cm.
Mantan Kepala Desa Turungan Baji, Puang Becce yang menandatangai berita acara tata batas kawasan hutan (1991/1992) tersebut membuat surat penyataan bahwa yang dimaksud dalam berita acara tata batas kawasan hutan yang Ia Tandatangani adalah Dusun Laha-laha, sementara lokasi Bahtiar bercocok tanam yakni Semelle yang masuk dalam wilayah administratif Dusun Soppeng. Surat penyataan tersebut disertai dengan gambar sketsa yang menunjukkan bahwa Laha-laha dan Semelle berjarak sekitar 5 Km dan diantarai Sungai Tangka sehingga berita acara tata batas tersebut bukanlah diwilayah Semelle sehingga status kawasan hutan yang diklaim oleh pihak kehutanan masih tidak jelas.
Sidang dengan agenda mendengarkan Nota Pembelaan (Pledoi)kembali digelar pada hari Rabu, 6 Mei 2015 di Pengadilan Negeri Sinjai. 25 lembar Pledoi tersebut memuat berbgai fakta persidangan yang menunjukkan bahwa tuntutan yang dikenakan terhadap Bahtiar tidak dapat dibuktikan secara sah atau setidak-tidaknya perbuatan Bahtiar tidak dapat dikatakan perbuatan Pidana.


AMAN Sulsel

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--