Konflik Tenurial Wakatobi
SULAWESI TENGGARA, KAB. WAKATOBI
Nomor Kejadian
:
18d08n
Waktu Kejadian
:
08-08-2017
Konflik
:
Taman Nasional
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Kawasan Konservasi Laut
Sektor Lain
:
Turisme
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
0,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Taman Nasional Wakatobi
- Pemda Kabupaten Wakatobi
- Badan Otoritas Pariwisata (BOP)
- Patuno Resort
- Wakatobi Dive Resort (WDR )
- Masyarakat Adat Wakatobi
KONTEN
Penunjukan Kepulauan Wakatobi pada 1996 dan ditetapkan pada 2002 sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW) dengan luasan 1.390.000 juta ha justru menimbulkan sebuah teritorialisasi dalam “pagar-pagar†zonasi yang dibuat.Niat baik TNW untuk mentransfer pengetahuan tentang pelestarian alam justru dipersepikan negatif oleh masyarakat hal ini dikarenakan adanya pembatasan akses terhadap luasan wilayah penangkapan ikan bagi masyrakat wakatobi. Kondisi ini diperparah ketika kekayaaan alam yang terbatas tidak didapat dikelola secara optimal ketika laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi.Dari total luasan tersebut hanya terdapat 3% wilayah daratan yang tersedia. Kondisi ini jelas menasbihkan bahwa sumber laut merupakan sumberutama corak produksi-konsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hariannya.Keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria ini semakin terlihat ketika penguasaan atas semua luasan kawasan adalah notabene sepenuhnya adalah milik Negara lewat penunjukan TNW. Belum selesai dengan urusan teritorialisasi TNW, Presiden membentuk otoritas baru Bapan Otoritas Pariwisata (BOP ) dengan tujuan utamanya adalah mempercepat pembangunan pariwisata, objek pemercepatan ini diantaranya adalah wilayah Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Tanjung Kelayang (Bangka- Belitung), Mandalika (NTB), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Komodo (NTT), dan Pulau Marotai (Maluku Utara). Orotitas ini muncul ketika ditunjuknya Kabupaten Wakatobi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) setelah memisahkan diri dari Kabupaten Buton. Pemekaran ini dipicu untuk mestimulus Kepulauan Wakatobi menuju daerah yang mapan secara ekonomi. Oleh sebab itu, infrastruktur dan suprastruktur dipersiapkan dalam menghadapi persaingan ekonomi dalam skala nasional terlebih global. Sejumlah permasalahn lainpun muncul salah satunya adalah perubahan sosial-budaya pada masyarakat setempat yang terlihat dengan munculnya spot-spot resort bermunculan baik resort dengan skala nasional maupun internasional. Wakatobi dengan sumber sumber agrarian khas diperhatikan secara khusus
dan diperebutkan oleh berbagai otoritas. Pada satu hamparan kawasan yang sama, Taman Nasional
Wakatobi
(TNW
) dan Pemerintah Daerah
(Pemda
) Kabupaten Wakatobi sama-sama memegang otoritas
untuk mengelola kawasan yang seluas 1.390.000 Ha. Kasus-kasus seperti pembangunan Bandara Sombano
dan reklamasi di Bajo Mola menunjukan implementasi kebijakan yang tidak saling sinkron. Belum lagi
penetapan zonasi taman nasional menjadi bukti kebijakan yang ego-sektoral. Belum selesai permasalahan
dua otoritas tersebut, BOP malah “menggarami air laut†dengan kebijakannya tentang penguasaan kawasan.
Padahal jika ditelisik, di luar otoritas formal tersebut terdapat sebuah kelembagaan yang mengakar pada
masyarakat selama berabad-abad lamanya yaitu adat/sara. Sebelum TNW disahkan, banyak penolakan dari berbagai elemen
masyarakat. Masyarakat khawatir daerah mereka akan direlokasi dan ditetapkan sebagai kawasan yang
dilindungi. Kekhawatiran juga dirasakan ketika adanya zonasi, dapat berarti sebuah larangan penangkapan
ikan. Mereka ketakukan ketika laut tempat mereka hidup akan ditutup. Oleh sebab itu, berbagai upaya
dilakukan oleh pihak BTNW tentang pemahaman terkait fungsi utama ditetapkannya TN di Wakatobi
.
Koordinasi pada saat itu tidak mengindahkan prinsip-prinsip yang sudah mengakar, seperti nilai sosial
budaya pada masyarakat sebelumnya. Selain itu, zonasi yang dibuat tidak berdasarkan informasi biofisik
sebelumnya.
Sayogyo Institute
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
SULAWESI TENGGARA, KAB. WAKATOBI
Nomor Kejadian | : | 18d08n |
Waktu Kejadian | : | 08-08-2017 |
Konflik | : | Taman Nasional |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Kawasan Konservasi Laut |
Sektor Lain | : | Turisme |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 0,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Taman Nasional Wakatobi
- Pemda Kabupaten Wakatobi
- Badan Otoritas Pariwisata (BOP)
- Patuno Resort
- Wakatobi Dive Resort (WDR )
- Masyarakat Adat Wakatobi
KONTEN
Penunjukan Kepulauan Wakatobi pada 1996 dan ditetapkan pada 2002 sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW) dengan luasan 1.390.000 juta ha justru menimbulkan sebuah teritorialisasi dalam “pagar-pagar†zonasi yang dibuat.Niat baik TNW untuk mentransfer pengetahuan tentang pelestarian alam justru dipersepikan negatif oleh masyarakat hal ini dikarenakan adanya pembatasan akses terhadap luasan wilayah penangkapan ikan bagi masyrakat wakatobi. Kondisi ini diperparah ketika kekayaaan alam yang terbatas tidak didapat dikelola secara optimal ketika laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi.Dari total luasan tersebut hanya terdapat 3% wilayah daratan yang tersedia. Kondisi ini jelas menasbihkan bahwa sumber laut merupakan sumberutama corak produksi-konsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hariannya.Keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria ini semakin terlihat ketika penguasaan atas semua luasan kawasan adalah notabene sepenuhnya adalah milik Negara lewat penunjukan TNW. Belum selesai dengan urusan teritorialisasi TNW, Presiden membentuk otoritas baru Bapan Otoritas Pariwisata (BOP ) dengan tujuan utamanya adalah mempercepat pembangunan pariwisata, objek pemercepatan ini diantaranya adalah wilayah Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Tanjung Kelayang (Bangka- Belitung), Mandalika (NTB), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Komodo (NTT), dan Pulau Marotai (Maluku Utara). Orotitas ini muncul ketika ditunjuknya Kabupaten Wakatobi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) setelah memisahkan diri dari Kabupaten Buton. Pemekaran ini dipicu untuk mestimulus Kepulauan Wakatobi menuju daerah yang mapan secara ekonomi. Oleh sebab itu, infrastruktur dan suprastruktur dipersiapkan dalam menghadapi persaingan ekonomi dalam skala nasional terlebih global. Sejumlah permasalahn lainpun muncul salah satunya adalah perubahan sosial-budaya pada masyarakat setempat yang terlihat dengan munculnya spot-spot resort bermunculan baik resort dengan skala nasional maupun internasional. Wakatobi dengan sumber sumber agrarian khas diperhatikan secara khusus
dan diperebutkan oleh berbagai otoritas. Pada satu hamparan kawasan yang sama, Taman Nasional
Wakatobi
(TNW
) dan Pemerintah Daerah
(Pemda
) Kabupaten Wakatobi sama-sama memegang otoritas
untuk mengelola kawasan yang seluas 1.390.000 Ha. Kasus-kasus seperti pembangunan Bandara Sombano
dan reklamasi di Bajo Mola menunjukan implementasi kebijakan yang tidak saling sinkron. Belum lagi
penetapan zonasi taman nasional menjadi bukti kebijakan yang ego-sektoral. Belum selesai permasalahan
dua otoritas tersebut, BOP malah “menggarami air laut†dengan kebijakannya tentang penguasaan kawasan.
Padahal jika ditelisik, di luar otoritas formal tersebut terdapat sebuah kelembagaan yang mengakar pada
masyarakat selama berabad-abad lamanya yaitu adat/sara. Sebelum TNW disahkan, banyak penolakan dari berbagai elemen
masyarakat. Masyarakat khawatir daerah mereka akan direlokasi dan ditetapkan sebagai kawasan yang
dilindungi. Kekhawatiran juga dirasakan ketika adanya zonasi, dapat berarti sebuah larangan penangkapan
ikan. Mereka ketakukan ketika laut tempat mereka hidup akan ditutup. Oleh sebab itu, berbagai upaya
dilakukan oleh pihak BTNW tentang pemahaman terkait fungsi utama ditetapkannya TN di Wakatobi
.
Koordinasi pada saat itu tidak mengindahkan prinsip-prinsip yang sudah mengakar, seperti nilai sosial
budaya pada masyarakat sebelumnya. Selain itu, zonasi yang dibuat tidak berdasarkan informasi biofisik
sebelumnya.
Sayogyo Institute
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |