DATA DETIL
Ancaman Penyingkiran Akibat Industri Pariwisata Melalui Kebijakan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Flores

 NUSA TENGGARA TIMUR, KAB. MANGGARAI BARAT

Nomor Kejadian :  07-04-2020
Waktu Kejadian :  01-01-2012
Konflik :  -
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Pariwisata
Sektor Lain  :  
Luas  :  143,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  215 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
  • Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat
  • Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat
  • Badan Pertanahan Nasional (BPN)
  • Masyarakat Desa Gorontalo

KONTEN

Pada umumnya, masyarakat di Desa Gorontalo merupakan masyarakat asli yang mengenal sistem pembagian lahan berdasarkan hukum adat. Lahan yang sekarang diduduki oleh 215 jiwa adalah lahan yang pada 1999 dibagikan oleh kepala adat (Tua Golo) kepada sejumlah masyarakat. Namun, masyarakat tidak mengetahui bahwa tanah yang mereka duduki dan garap pada saat itu merupaan kawasan hutan yang berstatus Hutan Produksi (HP). Masyarakat tahu bahwa untuk tinggal di atas kawasan hutan merupakan tindakan ilegal di mata hukum formal yang berlaku. Tapi, mereka tidak memiliki pilihan.
Masyarakat terus mendorong pemerintah dan BPN untuk melepaskan lahan yang mereka tinggali dari kawasan hutan dan menerbitkan sertifikat hak milik untuk masyarakat. Namun, permohonan ini tidak pernah dikabulkan karena hampir tidak mungkin kawasan hutan untuk dilepaskan kepada masyarakat. Akhirnya, pada tahun 2015, setelah diketahui ada program Tanah Objek Reforma Agraria – Perhutanan Sosial (TORA-PS), mereka mulai mengajukan lahan-lahan yang mereka tinggali dan garap untuk dimasukkan kedalam skema Perhutanan Sosial (PS). Namun, pengajuan ini belum sampai ditetapkan masuk ke dalam skema PS, hanya sebagai Terindikasi Arahan Perhutanan Sosial. Masyarakat terus berupaya agar pengajuan ini berhasil. Sayangnya, beberapa kali pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan BPN, pengajuan tidak kunjung dikabulkan.
Pada 2017, Dinas Kehutanan kembali datang kepada masyarakat untuk meminta masyarakat memasang patok-patok atau batas lahan. Dinas Kehutanan pada saat itu tidak mengatakan apa tujuan dari pematokan lahan teresebut. Apalagi pematokan ini juga diiringi dengan pembangunan infrastruktur jalan yang dicor ke wilayah pemukiman warga, sehingga masyarakat berfikir bahwa proses pengajuan masuk kedalam skema PS akan.
Pada 2018, masyarakat baru memahami bahwa patok-patok yang mereka pasang pada 2017 sebenarnya bukan untuk mereka, tapi untuk pemagaran kawasan BOP Labuan Bajo-Flores. Mereka mengetahui ini persis ketika draft Perpres No. 32 2018 tentang BOP Labuan Bajo-Flores diterbitkan.
Masyarakat merasa telah dibohongi. Dinas Kehutanan dan Pemerinta Daerah tidak pernah mengajak masyarakat untuk berdialog atau sosialisasi. Masyarakat juga baru menyadari bahwa yang datang pada saat pematokan lahan pada 2017 adalah Dinas Kehutanan dan Panitia BOP Labuan Bajo-Flores. Kemarahan masyarakat ini direspo oleh Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa masyarakat akan dilibatkan dalam proses pembangunan kawasa pariwisata BOP Labuan Bajo-Flores di atas lahan mereka. Tapi pemerintah tidak menjelaskan sejauh apa pelibatan masyrakat ini.
Hingga saat ini masyarakat masih merasa terancam akan diusir. Terlebih, rencana pembangunan kawasan pariwista di Desa Gorontalo tidak menunjukkan adanya kesempatan pelibatan masyarakat di dalamnya, seperti membangu taman wisata alam, adventure tourism, dll. Masyarakat menuntut jika harus dilibatkan bagaimana bentuk pelibatannya, dan meminta jaminan kepada pemerintah jika tempat tinggal mereka tidak akan digusur.


Agrarian Resources Center

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--