DATA DETIL
Penyerobotan Tanah Warga oleh PT Silva Inhutani Lampung

 LAMPUNG, KAB. MESUJI

Nomor Kejadian :  01_IM
Waktu Kejadian :  01-06-1998
Konflik :  Perkebunan Karet
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  9.600,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  3.518 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kementerian Liangkungan Hidup dan Kehutanan
  • PT Silva Inhutani Lampung
  • Desa Moro Seneng (Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, Moro-Moro)

KONTEN

Kabupaten Mesuji adalah Daerah Otonomi Baru (DOB), dan konflik pertanahan di kabupaten Mesuji terjadi antara pemerintahan daerah dengan warga masyarakat yang menduduki kawasan hutan Register 45, dan antara PT. Siva Inhutani Lampung (SIL) dengan warga masyarakat. Konflik Register 45 Mesuji Lampung terjadi sejak tahun 1998, yang sampai saat ini belum berakhir, dan wilayah Moro-Moro Register 45 kini bagai daerah tak bertuan. Kekerasan, kriminalitas menjadi pandangan biasa dihampir setiap harinya karena perebutan pengelolaan lahan oleh pihak-pihak tertentu. Wilayah Moro - Moro register 45 berada dalam kabupaten Mesuji, yang melingkupi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Way Serdang, Simpang Pemantang dan tanjung Raya.

Kawasan hutan tersebut dikenal sebagai kawasan Register 45, disusun berdasar nomor registrasi di Kementrian Kehutanan. Lebih lanjut, pada 7 Oktober 1991, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) nomor 688/Kpts-II/1991. Kementerian Kehutanan memberikan areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) sementara kepada PT Silva Inhutani Lampung (SIL) di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 Ha. Dimana, PT SIL merupakan korporasi patungan antara PT Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V. Selanjutnya, SK HPHTI untuk kawasan Register 45 pun keluar. SK Menteri Kehutanan nomor 93/Kpts-II/1997 berisi penetapan kawasan hutan Register 45 seluas 43. 100 Ha.

Pada tahun 1999, masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Tulang Bawang (sebelum pemekaran) menuntut reclaimming lahan kepada Gubernur Lampung. Menurut tokoh adat ketiga kampung tersebut, desa mereka menjadi masuk dalam kawasan Register 45 Sungai Buaya dengan diterbitkannya SK No. 93/Kpts-II/1997 tentang Pemberian Hak Pengusahaan HTI atas Areal Hutan seluas 43.100 Ha kepada PT SIL. Karena menurut Besluit Residen Lampung Distrik No. 249, luas kawasan Register 45 adalah: 33.500 Ha. Penyebab terjadinya konflik di Kawasan Register 45 tersebut adalah perluasan areal hutan Register 45 dari 33.500 Ha menjadi 43.100 Ha, artinya ada selisih tanah seluas 9.600 Ha yang diambil dari tanah milik masyarakat. Perluasan inilah yang dianggap mengambil tanah masyarakat, sehingga menimbulkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dan perusahaan. Dengan kondisi tersebut, masyarakat sebagai pemilik tanah, menuntut agar perusahaan mengembalikan tanah yang mereka miliki sehingga mereka bisa kembali bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan kata lain masyarakat yang merasa tanahnya terambil akibat perluasan kawasan hutan Register 45 melakukan berbagai upaya, mulai dari gugatan ke pengadilan sampai dengan pendudukan.

Pada tahun 1997, sejumlah warga yang mendiami kawasan tersebut mulai menebangi tanaman yang ditinggal oleh PT Inhutani untuk membuka lahan. Pada tahun 1999 pula, berkembang dengan banyaknya warga pendatang yang datang dari berbagai daerah seperti Lampung Timur, Metro, Tulang Bawang bahkan dari Pulau Jawa. Warga kemudian membuat kapling-kapling dan dibagi ke sesama. Lahan tersebut digunakan untuk menanam singkong sebagai mata pencaharian mereka. Lambat laun kawasan ini kemudian semakin merambah daerah sekitarnya, hingga mereka mendirikan desa sendiri bernama Desa Moro-moro yang terdiri dari Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-moro. Mereka mendirikan rumah-rumah, ladang singkong, bahkan sekolah dan tempat ibadah. Kawasan ini kemudian semakin berkembang hingga tahun 2003 banyak warga mulai membuka lahan kembali di wilayah Alpha 8 dan membuat perkampungan yang bernama Pelita Jaya. Warga di kawasan ini kemudian dikoordinasi oleh sebuah organisasi yang bernama Pekat Raya. Warga yang ingin tinggal di kawasan tersebut diharuskan membayar 3 hingga 15 juta per-kapling sesuai luas dan lokasi lahan tersebut. Keberadaan masyarakat pendatang yang perlahan menguasai kawasan Register 45 itu membuat Pemerintah Provinsi Lampung membentuk Tim Gabungan Penertiban Perlindungan Hutan. Anggota tim itu terdiri dari polisi, TNI, jaksa, pemerintah, satuan pengamanan perusahaan dan pengamanan swakarsa. Mereka melakukan aksinya pada bulan September 2010. Tim beranggotakan ribuan orang itulah yang menggusur permukiman dan gubuk-gubuk liar yang dibangun Pekat Raya. Sempat ada perlawanan, tapi tidak ada korban jiwa. Penertiban yang digelar 6 November 2010 yang menyebabkan satu orang warga tewas dan satu lainnya terluka, kata Kepala Polda Lampung Brigadir Jenderal Jodie Roosseto. Pada penertiban itu, seorang warga, Made Asta, 38 tahun, tewas tertembak aparat. Sementara Nyoman Sumarje, 29 tahun, luka tembak di bagian kaki. Pasca peristiwa itu polisi menangkap sejumlah pengurus Pekat Raya karena telah mengkapling-kapling lahan Register 45 dan diperjualbelikan.
Pada 6 November 2010, terjadi kontak kekerasan saat demo yang dilakukan atas penggusuran lahan yang melibatkan masyarakat dari lima desa di Kabupaten Tulang Bawang. Kekerasan terjadi antara masyarakat dan aparat polisi yang mengakibatkan satu orang tewas dan satu orang luka tembak. Permasalahan ini dipicu oleh penambahan luasan Hak Penguasaan Hutan Industri (HPHI) kepada PT Silva Inhutani Lampung (SIL) seluas 9.600 Ha pada tahun 1997. Dengan kata lain, bahwa konflik agraria di kawasan Register 45 pada dasarnya merupakan konflik antara perusahaan dengan petani mengenai hak klaim tanah


http://www.beritasatu.com/nasional/21963-kronologis-kasus-register-45-way-buaya-mesuji- lampung.html,

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--