DATA DETIL
PLTU Batang, Jawa Tengah

 JAWA TENGAH, KAB. BATANG

Nomor Kejadian :  004ARC
Waktu Kejadian :  07-06-2011
Konflik :  PLTU
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Infrastruktur Energi Listrik
Sektor Lain  :  
Luas  :  226,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • PT IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund)
  • PT PLN
  • PT BPI (Bhimasena Power Indonesia): KOnsorsium 3 perusahaan
  • 1. PT Adaro
  • 2. PT Itochu
  • 3. PT J-Power
  • Japan Bank for International Corporation (JBI)
  • Sumitomo Mitsui Banking Corporation

KONTEN

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Batang, selanjutnya disebut PLTU Batang, berlokasi di lima desa dalam dua kecamatan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Desa-desa tersebut di antaranya ialah Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Wonokerso, Kecamatan Kandeman, serta Desa Ponowareng dan Desa Roban di Kecamatan Tulis. Ratusan hektar tanah di daerah tersebut merupakan tanah subur yang digunakan petani setempat untuk bertani dan berkebun. Wilayah perairan yang berada di sebelah utara Kabupaten Batang merupakan laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu, wilayah perairan tersebut juga masuk ke dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang ditetapkan melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.29/MEN.2012 (kkp.go.id).
Lahan persawahan di lima desa tersebut merupakan persawahan yang subur, beririgasi teknis, dan dengan musim panen sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Nelayan di pesisir utara Batang pun biasanya bisa berpenghasilan Rp500.000,- – Rp1.000.000,- per hari.

PLTU Batang merupakan salah satu proyek besar yang ditargetkan dalam pelaksanaan kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dasar proyek MP3EI adalah Peraturan Presiden No.32/2011 tentang MP3EI 2011-2025. PLTU Batang sendiri digadang-gadang akan menjadi pembangkit listrik berkapasitas 2x1000 mega watt. Proyek raksasa ini dibangun di lahan seluas 226 hektar lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan. Wilayah PLTU juga mencakup Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, Batang.

Penanggung jawab operasi dan pemeliharaan proyek PLTU Batang adalah PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI). PT BPI merupakan perusahaan konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan: PT Adaro, perusahaan yang didirikan pada 1992, menyediakan batu bara dari pertambangan batu bara di wilayah Tabalog, Kalimantan Selatan; PT Itochu, perusahaan yang fokus di berbagai industri, seperti tekstil, logam dan mineral, pengolahan pangan, mesin, energi dan kimia, serta industri lainnya; dan PT J-Power, perusahaan Jepang yang fokus pada penjualan tenaga listrik dengan rekam jejak yang terbilang handal. Pendanaan proyek yang utama berasal dari Japan Bank for International Corporation (JBI) dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.

Proyek PLTU Batang hendak dimulai sejak tahun 2011. Namun, proyek itu terkendala masalah pembebasan lahan dan penolakan dari warga sekitar. Mereka menolak karena ancaman polusi udara yang dihasilkan PLTU batu bara. Sebagaimana disampaikan Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, PLTU Batubara melepaskan polutan-polutan yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Polutan berbahaya yang dilepaskan dari pembakaran batubara di PLTU antara lain SO2, NO, CO, PM 2.5, Mercury, Arsenic, Lead, dan sebagainya (Greeners.co). Pembangunan PLTU itu juga mengancam keberlanjutan lahan pertanian serta mata pencaharian petani dan nelayan sekitar. Dampak PLTU dinilai sangat merugikan. Limbah di laut menyebabkan ikan dan terumbu karang rusak. Penghasilan nelayan menurun dan terjadi konflik sosial.

Sejak 2011, warga setempat berjuang mempertahankan lingkungan dan mata pencaharian sumber kehidupan mereka. Dengan payung Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, tanah yang semula milik para petani, tiba-tiba harus dijual untuk digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTU. Mereka menolak dan melakukan aksi-aksi protes. Mulai dari mogok makan, hingga protes di kantor-kantor instansi terkait, termasuk di depan Istana Negara dan ke Jepang, menyerahkan surat gugatan ke JBI. Aksi mereka pada tahun 2012 sempat dihadiahi rentetan peluru tajam dari aparat kepolisian (AntaraJateng.com). Tidak berhenti sampai sana, warga juga mengalami intimidasi, teror, dan pemaksaan agar mau menjual tanah.

Pada 14 Agustus 2015, Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 soal persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah sisa lahan seluas 125.146 meter persegi. Saat Presiden Jokowi menghadiri peresmian PLTU, 28 Agustus 2015, warga menggelar aksi membentangkan spanduk penolakan di tengah laut, tapi dihalangi oleh kepolisian, Paspampres, dan TNI Angkatan Laut. Jumat, 5 Februari 2016, Paguyuban UKPWR mendatangi tokoh agama Gus Mus dan Syafi'i Ma'arif. Pada 29 Februari 2016, Mahkamah Agung menolak gugatan pembatalan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Sisa Lahan PLTU.

Kamis, 31 Maret 2016, Wakil Bupati Batang didampingi pimpinan BPI menutup seluruh akses jalan masyarakat menuju lahan pertanian yang diklaim sebagai bagian dari lahan PLTU Batang menggunakan pagar seng. Padahal, 12,5 hektar tanah masyarakat belum dibebaskan. Warga pun mendirikan tenda perlawanan berjarak puluhan meter dari pemagaran. Setidaknya hingga April 2017, aksi penolakan masih terus dilancarkan oleh warga bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Greenpeace Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), JATAM, dan lain-lain.


http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/81; Greeners.co; Mongabay.co.id; CNN Indonesia; AntaraJateng.com; Safitri, Hilma,

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--