DATA DETIL
Ancaman Kriminalisasi Sengketa Lahan antara Kelompok Tani Masyarakat Adat Dayak Tamuan dengan Perkebunan Sawit PT Sapta Karya Damai

 KALIMANTAN TENGAH, KAB. KOTAWARINGIN TIMUR

Nomor Kejadian :  30-04-2020
Waktu Kejadian :  01-03-2019
Konflik :  Perkebunan Kelapa Sawit
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  150,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Gubernur Kalimantan Tengah
  • Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah
  • Polres Kotawaringin Timur
  • BPN Kotawaringin Timur
  • Dinas Pertanian
  • Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
  • Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur
  • DPRD Kotawaringin Timur
  • Dewan Adat Dayak Kotawaringin Timur
  • PT. Sapta Karya Damai
  • Warga Desa Penyang
  • Masyarakat Adat Dayak Tamuan

KONTEN

Sengketa lahan antara PT Sapta Karya Damai (PT. SKD) dengan Kelompok Tani Masyarakat Adat Tamuan Desa Penyang Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah diawali pada tahun 2011 ketika PT. SKD melakukan penanaman di area lahan perkebunan masyarakat adat yang tergabung dalam Kelompok Tani Kambas Bersatu. Area lahan ini merupakan lahan yang dibuka oleh masyarakat pada tahun 1990an. Ketika itu sekelompok masyarakat membuka lahan perladangan di Simpang Kimang-Sungai Pudu Atas yang terletak diantara Desa Tanah Putih Barat (yang selanjutnya dimekarkan Desa Tanah Putih dan Desa Penyang pada 2008) dan Desa Pondok Damar. Mereka berladang, lalu menanam pohon karet serta palawija pada masa bero, fase mengistirahatkan lahan pada sistem perladangan berpindah.

Pada Juni 2011, sebanyak 63 orang masyarakat adat membentuk Kelompok Tani Kambas Bersatu. Pembentukan kelompok tani ini utamanya bertujuan untuk dapat mengakses bantuan bibit dari pemerintah. Pembentukan kelompok tani diresmikan Kepala Desa Penyang dengan nomor surat 525/05/pyg/VI/2011. Pada bulan yang sama, mereka kemudian mengajukan bantuan ke Dinas Perkebunan Kotawaringin Timur (Kotim) berupa bibit sawit. Sejak saat itu mereka bersama-sama mengerjakan wilayah kelola mereka di bawah nama Kelompok Tani Kambas Bersatu.

Pada masa inilah kemudian mereka menemukan bahwa PT. SKD melakukan penggarapan di lahan kelola kelompok tani. Mereka mengirimkan somasi dan melakukan pemagaran di sekitar lahan tersebut pada 31 Oktober 2011. PT. SKD pun bereaksi. Humas PT. SKD mendatangi Pak Elis sebagai ketua kelompok tani. Dari pertemuan tersebut diperoleh kesepakatan untuk melakukan ganti rugi lahan sebesar Rp 1.500.000 – Rp. 3.000.000 oleh PT. SKD kepada kelompok tani seluas 300 hektar. Pembayaran ganti rugi dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama untuk lahan seluas 150 hektar, dan 150 hektar sisanya akan dibayarkan pada tahap kedua. Pembayaran ganti rugi tahap pertama diselesaikan pada April 2012. Permasalahan mulai timbul ketika kelompok tani menagih penyelesaian pembayaran kedua pada 24 Mei 2017. Humas PT. SKD menolak melakukan pembayaran dengan alasan bahwa ganti rugi telah dilakukan pada tahun 2012.

Sejak penolakan pembayaran tahap kedua tersebut kelompok tani telah melakukan berbagai usaha, diantaranya dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah, baik itu DPRD maupun pemerintah kabupaten. Pada Juli 2018 mereka melakukan penulusuran ke Kantor Kejaksaan Negeri Sampit dan menemukan adanya indikasi pelanggaran hukum UU Kehutanan oleh PT. SKD. Atas dasar temuan tersebut Pak Elis dan kawan-kawan mengajukan permohonan untuk melakukan pengecekan area PT. SKD yang diduga berada di luar izin HGU perusahaan. Berdasarkan pengecekan tersebut diketahui bahwa lahan kelompok tani yang digarap oleh PT. SKD berada di luar izin lokasi PT. SKD namun berada di dalam izin pelepasan kawasan hutan dan HGU perusahaan. Sejak saat itu, kelompok tani merubah tujuan perjuangan, bukan lagi untuk menagih ganti rugi lahan, tetapi untuk mengambil alih lahan yang sudah digarap PT. SKD untuk menjadi milik mereka kembali.

Namun rupanya usaha mereka tidak juga menemukan jalan mulus. PT. SKD melaporkan mereka telah melakukan pelanggaran adat melalui Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim. Menanggapi hal tersebut, Kelompok Tani Kambas Bersatu berbondong-bondong mendatangi DAD, serta membantah tudingan PT SKD. Beberapa bulan selanjutnya DAD pun mencoba memfasilitasi keduanya. Selama tiga kali usaha fasilitasi, PT. SKD tidak pernah hadir.

Kelompok tani menyampaikan temuan mereka kepada Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah. Terdapat juga pertemuan yang difasilitasi oleh Polres Kotim. Dari banyak pertemuan tersebut, belum pernah ada yang memberi kejelasan. Pada pertemuan di Polres Kotim misalnya, kesepakatan dicapai, namun tidak dilaksanakan oleh PT. SKD. Pertemuan yang dilaksanakan 23 April 2019 pada acara Fasilitasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan oleh Pemprov Kalteng dan Pemda Kotim malah tidak mencapai kesepakatan.

Selama usaha untuk mengambil tanah kembali dilakukan, kelompok tani malah mendapat ancaman kriminalisasi dari PT. SKD. Pada 9 Maret 2019 Pak Elis menerima sebuah surat yang disampaikan oleh adik iparnya. Surat tersebut merupakan surat panggilan dari Polres Kotim. Mereka dipanggil sebagai saksi atas suatu kejadian. Merasa tidak pernah mengalami kejadian tersebut, Pak Elis pun menolak hadir dan memberikan surat balasan. Sebanyak 3 kali surat panggilan berisi sama diterima Pak Elis.
Sampai saat ini, sengketa lahan antara kelompok tani masyarakat adat dengan PT. SKD belum ada penyelesaian. Rapat fasilitasi pemerintah yang dihadiri oleh berbagai kedinasan baik kabupaten maupun provinsi, termasuk BPN Kotim, merencanakan pengecekan lapangan seluruh perijinan PT. SKD oleh tim Pemprov Kalteng dan Pemda Kotim untuk mendapat kepastian sengketa lahan Kelompok Tani Kambas Bersatu.


WALHI Kalimantan Tengah

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--