DATA DETIL
Penolakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir atas Aktivitas Pertambangan Timah di Perairan Bangka

 KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, KAB. BANGKA

Nomor Kejadian :  18-05-2020
Waktu Kejadian :  01-12-2019
Konflik :  Timah
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Pertambangan
Sektor Lain  :  
Luas  :  19.756,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  13.494 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Provinsi Kep. Bangka Belitung
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan
  • Pemerintah Pusat
  • Kementerian Pariwisata
  • Dinas Perikanan Kab. Bangka
  • DPRD Kep. Bangka Belitung
  • Pemerintah kab. Bangka
  • PT. Timah Tbk
  • Masyarakat Pesisir dan Nelayan Desa Deriang
  • Masyarakat Pesisir dan Nelayan Desa Rebo
  • Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kelurahan Matras
  • Masyarakat Pesisir dan Nelayan Desa Mapur
  • Masyarakat Pesisir dan Nelayan Desa Pejem Belinyu

KONTEN

Aksi penolakan terhadap tambang timah di pesisir Laut Bangka kembali pecah pada Desember untuk kesekian kalinya di tahun 2019. Kali ini dilakukan oleh masyarakat Pesisir Matras, Kelurahan Matras, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka. Sebanyak puluhan nelayan mengusir Kapal Isap Produksi (KIP) milik mitra PT Timah Tbk di Perairan Matras. Dua KIP yang hendak menuju Pesisir Matras pun pergi berbalik arah.

Kegiatan pertambangan di Pulau Bangka sudah dilakukan sejak awal abad ke-18, ketika Bangka berada di bawah kekuasaan Sultan Palembang. PT Timah Tbk merupakan perusahaan penambang timah yang sudah ada sejak era kolonial. Perusahaan ini kemudian dinasionalisasi pada 1945-1965 pada orde lama, dan berganti nama menjadi PT. Timah Bangka Tbk pada era orde baru (1966-1998). Sampai pada 31 Desember 2018 PT Timah Tbk memiliki 129 Izin Usaha Penambangan seluas 473.401 hektar yang tersebar baik itu di darat maupun laut. Di Kabupaten Bangka sendiri, ada 20 IUP seluas 81.824 hektar, 19.756 diantaranya merupakan tambang laut (offshore). IUP ini merupakan izin pertambangan terbaru, yang berlaku dari tahun 2020 sampai 2027.

Untuk penambangan lepas pantai, PT Timah Tbk mengoperasikan kapal keruk dengan jenis bucket line dredges yang dapat beroperasi mulai dari 15 sampai 50 meter di bawah permukaan laut. Tidak hanya itu, untuk mengambil apa yang tidak bisa diambil oleh kapal keruk, PT Timah menggunakan Kapal Isap Produksi (KIP). Kemampuan KIP ini membuat apa yang ada di dalam laut menjadi tidak tersisa, semuanya bisa diambil oleh KIP tersebut. KIP mampu menggali hingga 25 meter di bawah permukaan laut sehingga dapat mengambil sisa-sisa pasir timah yang tidak bisa diambil oleh kapal keruk.

Di lapangan, banyak dari KIP ini bukan merupakan milik PT Timah Tbk, tetapi CV yang bekerja, kadang dengan AMDAL yang belum jelas, dan menjual pasir timah tersebut kepada PT Timah Tbk. Seperti yang disebutkan Erman (2010), wilayah-wilayah yang tidak efisien menurut pertimbangan perusahaan diserahkan penambangannya kepada pihak swasta, disebut supplier swasta pada masa kolonial atau tambang kontrak karya (TKK) pada masa orde baru (1980an).

Pada tahun 1995, KIP mulai masuk. Sempat pergi, namun kemudian pada tahun 2006 kembali lagi. Lebih parah tahun 2009-2010, ada 11 KIP bertengger dan terlihat dari pesisir pantai. Nelayan bentrok berkali-kali tanpa ada solusi. Lokasi KIP ini tidak jauh dari bibir pantai. Jaraknya kurang dari 1 mil. Keberadaan tambang ini telah merusak ekosistem terumbu karang akibat sedimentasi dan limbah yang berasal dari aktivitas penyedotan pasir di tengah laut. Lumpur yang dihasilkan aktivitas tambang ini dapat terbawa arus hingga 30-40 kilometer jauhnya.
Kondisi ini tentu merugikan masyarakat, baik itu yang berprofesi sebagai nelayan maupun mereka yang mengais rezeki dari sektor pariwisata. Sejak penambangan di laut beraktivitas kembali, hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan. Dulu sebelum ada aktivitas tambang laut, satu malam melaut nelayan bisa menghasilkan 20-50 kilo dengan mesin perahu 2,5 PK-10 PK. Salah satu nelayan di sana bercerita, dulu ikan masih mudah didapat tak jauh dari bibir pantai. Dalam jarak 1 mil dia bisa membawa pulang hingga 10 kilogram ikan, bahkan cumi-cumi yang harganya cukup tinggi. “Sekarang tidak ada lagi ikan dalam jarak 1 mil. Paling dapat dua kilogram. Sekarang kami minimal harus melaut hingga sejauh 30 mil untuk mendapat ikan. Ransum dan bahan bakar pasti membengkak” ujar Sudirman, nelayan di Kelurahan Matras.

Dari tiga pendapatan asli daerah di Kabupaten Bangka, potensi perikanan tangkap merupakan yang tertinggi. Catatan tahun 2015 nilai ekonomi yang berasal dari perikanan tangkap mencapai 2,4 milyar rupiah. Angka ini kemungkinan akan merosot tajam setelah terbatasnya ruang gerak nelayan.

Kondisi memprihatinkan juga berdampak pada wisata di Bangka. Pantai Matras dan Pantai Rebo merupakan bagian dari destinasi wisata dari Provinsi Bangka Belitung. Namun, sejak Juli 2019 efek dari adanya aktivitas KIP di tengah laut, mulai dirasakan wisatawan. Wisatawan lokal yang berlibur bersama keluarga mengeluh karena kondisi air di sejumlah objek wisata pantai tidak jernih. Air laut berwarna cokelat, keruh, dan kotor. Wisatawan yang nekat mandi di pantai mengalami gatal-gatal.

Kehadiran KIP juga menimbulkan pro kontra di masyarakat. Pada bulan Juli 2019 kantor kepala Desa Rebo disegel warga. Mereka menuntut melengserkan kepala dusun yang diduga ikut mendukung aktivitas penambangan timah oleh perusahaan tambang di Perairan Pantai Rebo. Menurut warga, kepada dusun telah menandatangani kesepakatan sebagai bukti dukungan KIP mengatasnamakan warga.

Aksi demo pada tahun 2019 pertama dilakukan oleh warga Desa Rebo. Sebanyak ratusan nelayan dan masyarakat Desa Rebo melakuakn aksi penolakan penambangan yang dilakukan oleh KIP milik mitra PT Timah Tbk. Demo ini dilakukan setelah mereka berkali-kali menyuarakan aspirasinya namun selalu berakhir tanpa titik terang. Di bulan yang sama mereka mengunjungi DPRD Bangka Belitung untuk menyampaikan usulan penolakan aktivitas pertambangan di kawasan Pantai Desa Rebo. Ketua DPRD kemudian mengajak masyarakat mendatangi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk menyampaikan usulan pencabutan IUP.

Belum selesai masalah KIP di Pantai Rebo, pada bulan September warga Kelurahan Matras mendengar kabar bahwa KIP akan beroperasi di Pantai Matras. Menurut warga Matras, sebelum KIP beroperasi di wilayah mereka, dampaknya pun sudah terasa karena lokasi Pantai Rebo sangat dekat dengan Pantai Matras. “Pantai kami yang tadinya hijau, kini berubah menjadi coklat dan keruh, bahkan sudah satu tahun ini hasil ikan para nelayan sangat menurun karena penambangan” jelas Ngi Kiw salah satu nelayan Kelurahan Matras.

Konflik pun meruncing ketika KIP sudah mulai masuk ke pantai mereka dan mulai menambang. Alasannya, mereka sudah mengantongi izin berupa tanda tangan dari Sebagian nelayan dan masyarakat Kelurahan Matras. Padahal menurut Ngi Kiw, ia bersama nelayan yang lain tidak pernah merasa memberi izin. Dia percaya bahwa ada oknum dibalik kesepakatan tersebut.

Untuk menyelesaikan konflik ini Ngi Kiw sampai datang ke Jakarta untuk bisa mengadukan permasalahan desanya ke pemerintah pusat. Surat permohonan bertemu Presiden Jokowi sudah ia kirimkan ke istana sejak tanggal 20 Desember 2019. Sampai saat ini Ngi Kiw dan para nelayan lain masih menunggu kepastian tanggal untuk bisa menghadap RI satu.


nasional.tempo.co; bangka.tribunnews.com; wowbabel.com; indopos.co.id; timah.com; walhi.or.id; news.okezone.com; m.sinarpaginews.com; nusantara.medcom.id; Laporan Tahunan PT Timah 2018; liputan6.com; mongabay.co.id; eramuslim.com; Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan Bangka (Erman 2010); Kabupaten Bangka dalam Angka 2020 (BPS 2020); Kecamatan Sungai Liat dalam Angka 2018 (BPS 2018); Laporan Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--