Konflik Tanah Adat Dayak Hibun dengan PT Mitra Austral Sejahtera
KALIMANTAN BARAT, KAB. SANGGAU
Nomor Kejadian
:
13-05-2020
Waktu Kejadian
:
01-03-2019
Konflik
:
Perkebunan Kelapa Sawit
Status Konflik
:
Dalam ProsesHukum
Sektor
:
Perkebunan
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
1.462,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
560 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Sanggau
- Pemerintah Kecamatan Parindu
- Pemerintah Kecamatan Bonti
- Pemerintah Kecamatan Tayan Hulu
- Pemerintah Kecamatan Kembayan
- Polsek
- Danramil
- PT. Mitra Austral Sejahtera
- Warga Dayak Desa Kampuh
KONTEN
Konflik antara masyarakat Dayak Hibun Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tuntutan mereka kepada PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) untuk mengembalikan tanah adat seluas 1.462 hektar tidak pernah dikabulkan. Sampai pada Maret 2019 kemarin, salah satu masyarakat adat, Redatus Musa bersama dengan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menggelar konferensi pers agar pemerintah tidak memberikan izin dan mengesahkan upaya PT MAS yang menjual tanah masyarakat.
Menurut Musa, perusahaan yang dimiliki Sime Darby Plantation telah ingkar janji kepada masyarakat. Pada saat sosialiasasi tahun 1995 perusahaan hanya ‘meminjam’ tanah kepada masyarakat adat Dayak Mayau, Hibun (Ribun), dan Tingin selama 25 tahun (sampai 2022). Komunitas Dayak di Dusun Kerunang dan Entapang kemudian setuju untuk meminjamkan tanah mereka seluas 1.462 hektar. Perusahaan kemudian memberikan uang sebesar lima puluh ribu rupiah per hektar sebagai pembayaran simbolik atas pinjaman lahan tersebut. Saat itu masyarakat tidak pernah menandatangani kontrak apapun.
Pada tahun 2000, PT MAS mendapatkan hak guna usaha (HGU) seluas 8.741 hektar yang tumpang tindih dengan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat tanpa menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat adat setempat. Dalam HGU tersebut disebutkan bahwa perusahaan memiliki hak untuk menanam pada area tersebut hingga tahun 2030.
Izin lokasi dimana PT MAS saat ini berada merupakan izin lokasi yang tadinya diberikan kepada PT Pontimakmur Sejahtera No. 400.06/IL-41-95 pada 14 Juli 1995 seluas 24.000 hektar lahan yang meliputi Kecamatan Bonti, Parindu, Tayan Hulu, dan Kambayan. Barulah pada tahun 1996 PT MAS beroperasi di area ini, dengan mulai melakukan pembersihan lahan dan pembibitan. Kemudian pada tahun 2006, berbekal Izin Lokasi yang diberikan pemerintah, PT MAS melakukan perluasan 11.000 hektar.
Perluasan ini menuai protes. Salah satunya yang disuarakan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada saat pertemuan RSPO di Singapura 22 November 2006. Merespon hal tersebut, barulah PT MAS melakukan roadshow kepada desa-desa terdampak yang juga dihadiri oleh berbagai elemen pemerintahan (pertanian, kepolisian, lingkungan, dan pemerintah daerah), kepala desa, temenggung adat, dan manajemen perusahaan. Namun rupanya, setelah roadshow banyak perwakilan desa yang menyatakan dukungannya terhadap perluasan lahan PT MAS. Mereka menandatangani dokumen memorandum. Komunitas yang tetap menolak hanya tersisa 5% dari total keseluruhan wilayah terdampak, termasuk komunitas adat di Kerunang dan Entapang tersebut.
Sepanjang Mei 2007 SPKS dan warga lain yang menolak, termasuk komunitas adat Kerunang dan Entapang melalukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Pontianak dalam rangka protes terhadap tanah adat dan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi mereka. PT MAS bersama dengan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia Kalimantan Barat kemudian melakukan pertemuan dengan pemerintah kabupaten dan kecamatan di kantor PT MAS di Sanggau. Pertemuan berikutnya pada Juli 2007 diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten, mengundang SPKS dan PT MAS dalam satu meja untuk membicarakan tuntutan SPKS dan warga lainnya. Namun begitu SPKS melihat PT MAS membawa masyarakat (kepala desa, kecamatan, dan temenggung adat) yang menerima atas keberadaan PT MAS, SPKS meninggalkan pertemuan. Pertemuan ini pun tidak memberikan hasil.
Pada tahun 2012, setelah 5 tahun tanpa penyelesaian, 9 komunitas adat melaporkan Sime Darby ke RSPO mengenai kurangnya transparansi terhadap status lahan dan perjanjian kemitraan, serta kurangnya kepatuhan terhadap hak tanah masyarakat adat. Proses pertemuan ini dilatarbelakangi oleh laporan Oxfam yang dikeluarkan pada tahun 2011 tentang Land and Power termasuk menerbitkan rilis yang secara khusus ditujukan kepada Sime Darby untuk mengkonfirmasi temuan-temuan Oxfam atas perampasan lahan yang dilakukan oleh anak perusahaannya (PT MAS) di Sanggau, Kalimantan Barat. Pada pertemuan RSPO tahun 2012, komunitas adat Kerunang dan Entapang difasilitasi oleh TuK Indonesia untuk duduk bersama dengan Sime Darby.
Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan Tim Kerja Perwakilan Petani (TKPP) yang terdiri dari perwakilan warga lokal dan pihak perusahaan (PT MAS) untuk mendiskusikan 14 tuntutan yang diajukan sejak 2007. Namun dalam perjalanannya terdapat perpecahan, antara 9 komunitas adat tersebut, 2 komunitas adat, yakni yang berada di Dusun Kerunang dan Entapang tidak dapat menerima tawaran-tawaran penyelesaian yang ditawarkan oleh TKPP. Hal ini karena pertama, apa yang dituntut oleh 7 komunitas lainnya berbeda dengan mereka; kedua keluhan-keluhan yang disampaikan utusan Kerunang dan Entapang tidak pernah ditangani oleh TKPP dan proses pengambilan keputusan TKPP tidak cermat dan kurang partisipatif.
Warga Kerunang dan Entapang kemudian memilih berhubungan langsung dengan Sime Darby. Pertemuan pun dilakukan pada Agustus 2014 yaitu antara perwakilan Sime Darby, warga Kerunang dan Entapang, TuK, Walhi, Oxfam, dan RSPO. TuK bersama warga mengajukan solusi pada Maret 2015 untuk penyelesaian masalah lahan khususnya terkait HGU. Namun Sime Darby tidak pernah menanggapi proposal tersebut. Warga Kerunang dan Entapang tidak menyerah, mereka melaporkan RSPO pada tahun 2018 kepada OECD (badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan yang menjunjung tinggi HAM, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara anggota OECD) karena RSPO telah membiarkan hutan mereka hancur dan merampas tanah rakyat dan menindas HAM, suatu kebijakan yang seharusnya menjadi pedoman anggota RSPO dalam menjalankan perusahaannya.
Dayak Hibun atau sering juga dikenal dengan Dayak RIbun adalah kelompok masyarakat sub suku Dayak di Kabupaten Sanggau yang dapat dijumpai di Kecamatan Tayan Hulu, Parindu, Bonti, dan Kembayan. Wilayah penyebaran di 4 kecamatan ini terdapat di 91 kampung.
Masyarakat adat Dayak yang mendiami daerah Kabupaten Sanggau pada umumnya mengolah tanah sebagi lahan pertanian dan perkebunan. Pola pertaniannya adalah ladang berpindah, dan kini sudah berkembang menjadi persawahan. Sementara perkebunan yang ditekuni sejak dulu adalah karet, lada, dan kakao. Tapi, saat ini cukup banyak warga yang mulai menekuni perkebunan kelapa sawit dan bahkan mengalihfungsikan lahan perkebunannya, yang sebelumnya ditanam karet, lada, kakao menjadi kelapa sawit.
Di hutan biasanya mereka mencari hasil hutan seperti kayu, buah-buahan, dan rotan. Jika ada yang berternak, biasanya yang diternakan adalah babi dan ayam. Beberapa juga beternak sapi, kambing, dan kerbau. Pencaharian lainnya yang dipandang menunjang perekonomian keluarga antara lain kerajinan tangan berupa anyaman tikar, perhiasan manik-manik, ukir-ukiran dengan bahan dasar kayu, menempa besi untuk membuat parang, tombak, dan mandau, mencari buah tengkawang, buah durian pada musim buah-buahan.
Seperti halnya budaya Dayak, Dayak Hibun juga mensakralkan hutan. Hal ini terkait dengan suatu keyakinan bahwa ruh leluhur mereka ada di sana. Misalnya pohon beringin yang dijadikan tempat penyimpanan ari-ari bayi, yang disebut dengan tomune, merupakan tempat yang sakral, sebab di sanalah ruh setiap warga kampung berada. Pohon lainnya yang disakralkan adalah pohon yang menjadi tempat lembah bersarang, mereka menyebutnya dengan sampunth. Ciri lainnya mereka memiliki pohon buah, di Sanggau, kebun yang berisi pohon buah-buahan ini disebut dengan tembawang. Keberadaan tembawang merupakan lambing eksistensi komunitas kesukuan dan menjadi ikatan persaudaraan. Dalam hutan tembawang ini kita bisa menemukan berbagai jenis pohon buah seperi durian, kawai, keroyot, asam, tampoi, gurap, toncu, posak, ramai, kodupai, kolampai, ucongkh, mentawa, langsat, duku, sikup, dan lain-lain.
Namun, tampaknya kini semua tradisi itu, baik pertanian, maupun hutan yang disakralkan hilang. Sejak pembukaan kelapa sawit pada tahun 1980 di Kalbar, secara perlahan tapi pasti mengubah pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan adat mereka. Hal ini juga ditunjukan dalam kasus PT MAS ini, bahwa dari semua masyarakat adat yang ada di empat kecamatan, hanya Dayak Hibun yang berada di Dusun Kerunang dan Entapang saja yang masih bersikeras menolak PT MAS, yaitu sekitar 5% dari total keseluruhan masyarakat terdampak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Samho dan Purwadi (2016) pola pelibatan masyarakat untuk pengembangan perkebunan sawit dengan sistem bagi hasil menjadi alasan perluasan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dan juga merupakan awal dari konflik antara pihak perkebunan dengan warga. Fenomena dimana pihak perusahaan memutuskan secara sepihak pergantian pemilik menjadi sesuatu yang marak terjadi di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kelapa sawit memang tidak mengenal lelah dan terus menerus mengiming-imingi masyarakat dengan kemudahan-kemudahan atau janji hidup nyaman sejahtera bila masyarakat terbuka menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit. Kini mereka bahkan mengatakan bahwa masyarakat Dayaklah yang sangat membutuhkan kehadiran perkebunan kelapa sawit dan mengundang pihak perusahaan perkebunan untuk membuka areal perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah masyarakat yang tadinya menolak kehadiran pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Komunitas Dayak Hibun di 7 desa PT MAS bahkan menggandeng PT MAS dalam menyelenggarakan ritual adat Ncangi pada September 2019 lalu.
www.indeksberita.com, www.infosawit.com, www.kompasiana.com, www.tuk.or.id, pepnews.com, www.grewsnews.com, www.mongabay.co.id, www.hutanhujan.org, humanrightasean.info, www.suarajournalist-kpk.id, pontianak.tribunnews.com,
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
KALIMANTAN BARAT, KAB. SANGGAU
Nomor Kejadian | : | 13-05-2020 |
Waktu Kejadian | : | 01-03-2019 |
Konflik | : | Perkebunan Kelapa Sawit |
Status Konflik | : | Dalam ProsesHukum |
Sektor | : | Perkebunan |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 1.462,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 560 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Sanggau
- Pemerintah Kecamatan Parindu
- Pemerintah Kecamatan Bonti
- Pemerintah Kecamatan Tayan Hulu
- Pemerintah Kecamatan Kembayan
- Polsek
- Danramil
- PT. Mitra Austral Sejahtera
- Warga Dayak Desa Kampuh
KONTEN
Konflik antara masyarakat Dayak Hibun Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tuntutan mereka kepada PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) untuk mengembalikan tanah adat seluas 1.462 hektar tidak pernah dikabulkan. Sampai pada Maret 2019 kemarin, salah satu masyarakat adat, Redatus Musa bersama dengan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menggelar konferensi pers agar pemerintah tidak memberikan izin dan mengesahkan upaya PT MAS yang menjual tanah masyarakat.
Menurut Musa, perusahaan yang dimiliki Sime Darby Plantation telah ingkar janji kepada masyarakat. Pada saat sosialiasasi tahun 1995 perusahaan hanya ‘meminjam’ tanah kepada masyarakat adat Dayak Mayau, Hibun (Ribun), dan Tingin selama 25 tahun (sampai 2022). Komunitas Dayak di Dusun Kerunang dan Entapang kemudian setuju untuk meminjamkan tanah mereka seluas 1.462 hektar. Perusahaan kemudian memberikan uang sebesar lima puluh ribu rupiah per hektar sebagai pembayaran simbolik atas pinjaman lahan tersebut. Saat itu masyarakat tidak pernah menandatangani kontrak apapun.
Pada tahun 2000, PT MAS mendapatkan hak guna usaha (HGU) seluas 8.741 hektar yang tumpang tindih dengan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat tanpa menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat adat setempat. Dalam HGU tersebut disebutkan bahwa perusahaan memiliki hak untuk menanam pada area tersebut hingga tahun 2030.
Izin lokasi dimana PT MAS saat ini berada merupakan izin lokasi yang tadinya diberikan kepada PT Pontimakmur Sejahtera No. 400.06/IL-41-95 pada 14 Juli 1995 seluas 24.000 hektar lahan yang meliputi Kecamatan Bonti, Parindu, Tayan Hulu, dan Kambayan. Barulah pada tahun 1996 PT MAS beroperasi di area ini, dengan mulai melakukan pembersihan lahan dan pembibitan. Kemudian pada tahun 2006, berbekal Izin Lokasi yang diberikan pemerintah, PT MAS melakukan perluasan 11.000 hektar.
Perluasan ini menuai protes. Salah satunya yang disuarakan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada saat pertemuan RSPO di Singapura 22 November 2006. Merespon hal tersebut, barulah PT MAS melakukan roadshow kepada desa-desa terdampak yang juga dihadiri oleh berbagai elemen pemerintahan (pertanian, kepolisian, lingkungan, dan pemerintah daerah), kepala desa, temenggung adat, dan manajemen perusahaan. Namun rupanya, setelah roadshow banyak perwakilan desa yang menyatakan dukungannya terhadap perluasan lahan PT MAS. Mereka menandatangani dokumen memorandum. Komunitas yang tetap menolak hanya tersisa 5% dari total keseluruhan wilayah terdampak, termasuk komunitas adat di Kerunang dan Entapang tersebut.
Sepanjang Mei 2007 SPKS dan warga lain yang menolak, termasuk komunitas adat Kerunang dan Entapang melalukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Pontianak dalam rangka protes terhadap tanah adat dan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi mereka. PT MAS bersama dengan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia Kalimantan Barat kemudian melakukan pertemuan dengan pemerintah kabupaten dan kecamatan di kantor PT MAS di Sanggau. Pertemuan berikutnya pada Juli 2007 diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten, mengundang SPKS dan PT MAS dalam satu meja untuk membicarakan tuntutan SPKS dan warga lainnya. Namun begitu SPKS melihat PT MAS membawa masyarakat (kepala desa, kecamatan, dan temenggung adat) yang menerima atas keberadaan PT MAS, SPKS meninggalkan pertemuan. Pertemuan ini pun tidak memberikan hasil.
Pada tahun 2012, setelah 5 tahun tanpa penyelesaian, 9 komunitas adat melaporkan Sime Darby ke RSPO mengenai kurangnya transparansi terhadap status lahan dan perjanjian kemitraan, serta kurangnya kepatuhan terhadap hak tanah masyarakat adat. Proses pertemuan ini dilatarbelakangi oleh laporan Oxfam yang dikeluarkan pada tahun 2011 tentang Land and Power termasuk menerbitkan rilis yang secara khusus ditujukan kepada Sime Darby untuk mengkonfirmasi temuan-temuan Oxfam atas perampasan lahan yang dilakukan oleh anak perusahaannya (PT MAS) di Sanggau, Kalimantan Barat. Pada pertemuan RSPO tahun 2012, komunitas adat Kerunang dan Entapang difasilitasi oleh TuK Indonesia untuk duduk bersama dengan Sime Darby.
Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan Tim Kerja Perwakilan Petani (TKPP) yang terdiri dari perwakilan warga lokal dan pihak perusahaan (PT MAS) untuk mendiskusikan 14 tuntutan yang diajukan sejak 2007. Namun dalam perjalanannya terdapat perpecahan, antara 9 komunitas adat tersebut, 2 komunitas adat, yakni yang berada di Dusun Kerunang dan Entapang tidak dapat menerima tawaran-tawaran penyelesaian yang ditawarkan oleh TKPP. Hal ini karena pertama, apa yang dituntut oleh 7 komunitas lainnya berbeda dengan mereka; kedua keluhan-keluhan yang disampaikan utusan Kerunang dan Entapang tidak pernah ditangani oleh TKPP dan proses pengambilan keputusan TKPP tidak cermat dan kurang partisipatif.
Warga Kerunang dan Entapang kemudian memilih berhubungan langsung dengan Sime Darby. Pertemuan pun dilakukan pada Agustus 2014 yaitu antara perwakilan Sime Darby, warga Kerunang dan Entapang, TuK, Walhi, Oxfam, dan RSPO. TuK bersama warga mengajukan solusi pada Maret 2015 untuk penyelesaian masalah lahan khususnya terkait HGU. Namun Sime Darby tidak pernah menanggapi proposal tersebut. Warga Kerunang dan Entapang tidak menyerah, mereka melaporkan RSPO pada tahun 2018 kepada OECD (badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan yang menjunjung tinggi HAM, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara anggota OECD) karena RSPO telah membiarkan hutan mereka hancur dan merampas tanah rakyat dan menindas HAM, suatu kebijakan yang seharusnya menjadi pedoman anggota RSPO dalam menjalankan perusahaannya.
Dayak Hibun atau sering juga dikenal dengan Dayak RIbun adalah kelompok masyarakat sub suku Dayak di Kabupaten Sanggau yang dapat dijumpai di Kecamatan Tayan Hulu, Parindu, Bonti, dan Kembayan. Wilayah penyebaran di 4 kecamatan ini terdapat di 91 kampung.
Masyarakat adat Dayak yang mendiami daerah Kabupaten Sanggau pada umumnya mengolah tanah sebagi lahan pertanian dan perkebunan. Pola pertaniannya adalah ladang berpindah, dan kini sudah berkembang menjadi persawahan. Sementara perkebunan yang ditekuni sejak dulu adalah karet, lada, dan kakao. Tapi, saat ini cukup banyak warga yang mulai menekuni perkebunan kelapa sawit dan bahkan mengalihfungsikan lahan perkebunannya, yang sebelumnya ditanam karet, lada, kakao menjadi kelapa sawit.
Di hutan biasanya mereka mencari hasil hutan seperti kayu, buah-buahan, dan rotan. Jika ada yang berternak, biasanya yang diternakan adalah babi dan ayam. Beberapa juga beternak sapi, kambing, dan kerbau. Pencaharian lainnya yang dipandang menunjang perekonomian keluarga antara lain kerajinan tangan berupa anyaman tikar, perhiasan manik-manik, ukir-ukiran dengan bahan dasar kayu, menempa besi untuk membuat parang, tombak, dan mandau, mencari buah tengkawang, buah durian pada musim buah-buahan.
Seperti halnya budaya Dayak, Dayak Hibun juga mensakralkan hutan. Hal ini terkait dengan suatu keyakinan bahwa ruh leluhur mereka ada di sana. Misalnya pohon beringin yang dijadikan tempat penyimpanan ari-ari bayi, yang disebut dengan tomune, merupakan tempat yang sakral, sebab di sanalah ruh setiap warga kampung berada. Pohon lainnya yang disakralkan adalah pohon yang menjadi tempat lembah bersarang, mereka menyebutnya dengan sampunth. Ciri lainnya mereka memiliki pohon buah, di Sanggau, kebun yang berisi pohon buah-buahan ini disebut dengan tembawang. Keberadaan tembawang merupakan lambing eksistensi komunitas kesukuan dan menjadi ikatan persaudaraan. Dalam hutan tembawang ini kita bisa menemukan berbagai jenis pohon buah seperi durian, kawai, keroyot, asam, tampoi, gurap, toncu, posak, ramai, kodupai, kolampai, ucongkh, mentawa, langsat, duku, sikup, dan lain-lain.
Namun, tampaknya kini semua tradisi itu, baik pertanian, maupun hutan yang disakralkan hilang. Sejak pembukaan kelapa sawit pada tahun 1980 di Kalbar, secara perlahan tapi pasti mengubah pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan adat mereka. Hal ini juga ditunjukan dalam kasus PT MAS ini, bahwa dari semua masyarakat adat yang ada di empat kecamatan, hanya Dayak Hibun yang berada di Dusun Kerunang dan Entapang saja yang masih bersikeras menolak PT MAS, yaitu sekitar 5% dari total keseluruhan masyarakat terdampak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Samho dan Purwadi (2016) pola pelibatan masyarakat untuk pengembangan perkebunan sawit dengan sistem bagi hasil menjadi alasan perluasan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dan juga merupakan awal dari konflik antara pihak perkebunan dengan warga. Fenomena dimana pihak perusahaan memutuskan secara sepihak pergantian pemilik menjadi sesuatu yang marak terjadi di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pihak-pihak yang berkepentingan dengan kelapa sawit memang tidak mengenal lelah dan terus menerus mengiming-imingi masyarakat dengan kemudahan-kemudahan atau janji hidup nyaman sejahtera bila masyarakat terbuka menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit. Kini mereka bahkan mengatakan bahwa masyarakat Dayaklah yang sangat membutuhkan kehadiran perkebunan kelapa sawit dan mengundang pihak perusahaan perkebunan untuk membuka areal perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah masyarakat yang tadinya menolak kehadiran pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Komunitas Dayak Hibun di 7 desa PT MAS bahkan menggandeng PT MAS dalam menyelenggarakan ritual adat Ncangi pada September 2019 lalu.
www.indeksberita.com, www.infosawit.com, www.kompasiana.com, www.tuk.or.id, pepnews.com, www.grewsnews.com, www.mongabay.co.id, www.hutanhujan.org, humanrightasean.info, www.suarajournalist-kpk.id, pontianak.tribunnews.com,
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |