DATA DETIL
Pencaplokan Lahan oleh PT Pan Lonsum Plantation di Bulukumba

 SULAWESI SELATAN, KAB. BULUKUMBA

Nomor Kejadian :  003ARC
Waktu Kejadian :  01-07-2003
Konflik :  Perkebunan Karet
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  200,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  1.900 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Polri (Brimob Bone, Brimob Makassar, Polres Bulukumba, Polres Sinjai, dan Polres Bantaeng)
  • Pemkab Bulukumba
  • Kementrian Agraria-Badan Pertanahan Nasional 1997
  • TNI
  • PT Pan London Sumatera Plantation

KONTEN

Sengketa lahan di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung di wilayah yang meliputi tiga kecamatan. Di antaranya, Kecamatan Kajang, Kecamatan Bulukumaba, Kecamatan Ujung Loe.
--
Di wilayah adat Kajang, lingkungan masyarakat adat Kajang, terdapat hutan seluas 331,17 ha yang dikelilingi delapan hutan penyangga. Di sana terdapat sejumlah tanaman hutan. Misalnya, kayu bitti, rotan, beringin, tokka, kaju katinting, pala hutan, ketapi, zaitun, langsat, bilalang, taru, pakis, asa, bambu, dan anggrek. Selain tanaman hutan yang beraneka ragam, di sana juga terdapat beberapa jenis fauna. Misalnya, rusa, monyet hitam, anakonda, babi hutan, ayam hutan, burung jikki, kelelawar, gagak, kulu-kulu, bangau, alo, tekukur, lebah hutan, dan berbagai jenis spesies ular. Di sungainya hidup berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting. Di sekitar hutan itu, masyarakat setempat bercocok tanam. Mereka menanam jagung, pisang, dan aneka jenis sayuran.

Ladang dan lingkungan masyarakat adat Kajang terusik sejak kehadiran perusahaan perkebunan karet yang kini bernama PT Pan London Sumatra. Perusahaan perkebunan itu telah hadir di sana sejak akhir dekade kedua abad ke-20. Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 43 dan 44, 10 Juli 1919 dan 18 Mei 1921, mengizinkan NV Celebes Landbouw Maatschappij (PT Perkebunan Sulawesi) memiliki hak erfpacht di atas lahan seluas 200 ha. NV Celebes, nama lain dari perusahaan London Sumatera (Lonsum) yang didirikan pada 1906 itu, sahamnya dimiliki oleh grup Harisson dan Crossfield dari Inggris. Di atas lahan itu mereka memproduksi kopi, serei Belanda, dan kapas.

Memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya 17 April 1961, perusahaan penanaman modal asing bidang perkebunan itu mengajukan permohonan untuk mendapat Hak Guna Usaha (HGU). Tak lama setelah itu, NV Celebes Landbouw Maatschappij mengindonesiakan namanya menjadi PT Perkebunan Sulawesi (Pepsu).

Dari tahun 1963-1968, PT Pepsu berganti menjadi PN Dwikora III, di bawah direksi Kolonel Sucipto. Pergantian nama itu disebabkan kondisi sosial dan politik Indonesia yang bergolak menjelang pertengahan tahun 1960-an. Di samping harus menangani pemberontakan DI/TII di Sulawesi, Pemerintah Indonesia juga tengah gencar mengampanyekan konfrontasi dengan Malaysia. Singkatnya, negara berada dalam keadaan bahaya dan tentara mengambil alih keadaan. Termasuk mengambil alih pengelolaan aset asing yang telah dinasionalisasi. PT Pepsu adalah satu dari sekian banyak perusahaan yang dinasionalisasi yang kemudian manajerialnya diduduki tentara. Di dalam situasi “bahaya” demikianlah perusahaan tersebut membuka lahan secara serampangan (Mongabay.co.id).

Atas nama PT Pepsu, PN Dwikora mendapatkan perpanjangan HGU yang berlaku surut mulai 13 Mei 1968 hingga 31 Desember 1998. Hal itu didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 39/HGU/DA/76 tanggal 17 September 1976. Pada November 1994, PN Dwikora III dibeli lagi dengan US$273 juta oleh PT Pan London Sumatra Plantation (PLSP). Tidak lama setelah itu, 25% salah PLSP dialihkan kepada Happy Cheer Limited (HCL). Sisanya, 75 % saham, masih dimiliki PLSP.

Berdasarkan keputusan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional tahun 1997, PLSP mendapat perpanjangan HGU selama 25 tahun. Perpanjangan itu terhitung sejak hak atas tanah mereka di Perkebunan Pangisang dan Balobessi yang luasnya 5,784.46 ha, berakhir. Desa Bonto Biraeng, Bonto Mangiring, Tammato, Bontoa, Tibona, Balong, dan Tugodeng, yang jadi kawasan masyarakat adat Kajang, tidak masuk dalam HGU tersebut. Maka bisa dibilang, sudah sewajarnya ribuan warga menuntut hak mereka yang dicaplok PLSP.

Namun konflik yang kemudian meletus dari kondisi di atas, bermula setidaknya sejak tahun 1963, ketika perusahaan, yang ketika itu dikendalikan militer, membuka lahan semaunya. Lahan pertanian warga tidak luput sebagai objek pencaplokan. Warga di Desa Maleleng, Bontoa, Tammato, Batu Lapisi, Mangiring, dan Buki’a, diintimidasi dan diteror oleh orang suruhan perusahaan dan militer. Tidak sedikit rumah-rumah rakyat yang dibakar tentara. Bukti kepemilikan lahan dalam bentuk rente, terbakar bersama rumah mereka. Sehingga banyak dari warga tersebut tidak lagi memiliki bukti kepemilikan.

Sampai akhir 1980-an, tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di Rabbang Luara, kebanyakan dari mereka kembali ke Rabbang Seppangan dan yang lainnya meninggalkan desa. Orang-orang yang kembali ke Rabbang Seppangan akhirnya membentuk komunitas yang kemudian dikenal sebagai Tambangan dan menjadi salah satu dusun dari Desa Tana, Kecamatan Kajang. Pada tahun 1978, militer kembali mengekspansi tanah warga di Desa Balong (373 ha) dan menggusur 300 rumah di perkampungan. Di Bonto Biraeng mereka juga merampas tanah Kajang dan menggusur 500 rumah dan 200 di antaranya terdapat di dalam perkebunan tradisional warga (SeputarSulawesi.com).

Sepanjang 1994-1995, PT Lonsum memperluas lahan perkebunan karet dengan sistem pemaksaan “kerja sama” antara PT Lonsum dengan petani di wilayah kampung Tokasi, Bulugahada, Buki-Buki dan Balihuko (Syamsurijal Ad’han, 2010).

Tidak mengherankan jika warga setempat menuntut keadilan, penjaminan hak, dan menolak kehadiran perusahaan tersebut. Selain karena tindakan sewenang-wenang perusahaan beserta aparat terhadap warga setempat, juga karena tidak ada akta pelepasan pemilik ketika perusahaan mengkonversi hak erfpacht menjadi HGU. Seorang warga bernama Sangkala (73) mengatakan, “Adakah pelepasan itu dilakukan lembaga adat? Saya kira tidak pernah terjadi” (Mongabay.co.id).

Berbagai upaya perjuangan pun dilakukan warga terdampak. Juli 2003, Rajuddin (62) bersama ribuan warga berunjuk rasa, memblokade jalan masuk menuju pabrik Palangisang. Pohon-pohon karet di Perkebunan Palangisang mereka tumbangkan. Dalam aksi itu mereka ditembaki peluru tajam aparat kepolisian yang akhirnya menewaskan dua orang warga. Padahal aksi itu merupakan tindak lanjut dari kemenangan warga di Pengadilan Negeri Bulukumba yang memutuskan bahwa warga mendapatkan 200 ha lahan yang dirampas PT Lonsum. Pada 2004, PT Lonsum mengambil paksa lahan perkara seluas 275 hektar.

Tahun 2011, warga mengorganisasikan diri mereka, membentuk kelompok-kelompok kecil dan mengadakan diskusi-diskusi. Terbentuklah 10 ranting di setiap desa di empat kecamatan wilayah PT Lonsum (Kecamatan Ujung Loe, Kajang, Herlang, dan Bulukumba). Anggota mencapai 1.900 orang. Mereka mengajukan gugatan atas tanah mereka, dimulai dengan mengumpulkan bukti sertifikat, SPPT, hingga bukti alam seperti pematang sawah, kuburan, atau tanaman produktif yang menguatkan bukti sebagai tanah garapan warga secara turun temurun. Luasnya mencapai 2000 hektar.

Setahun kemudian, Pemerintah Bulukumba membentuk tim verifikasi yang didampingi tim ahli dan masyarakat. Tahun 2013, melalui kajian dan hasil tim verifikasi yang telah dibentuk, Pemerintah Bulukumba menyimpulkan kebenaran atas klaim masyarakat. Pemerintah Bulukumba mengirim surat kepada PT Lonsum, memohon untuk menghentikan kegiatan. Warga tidak puas dengan “permohonan” yang tidak digubris PT Lonsum. Kemudian warga melakukan pendudukan lahan selama enam hari.

Pertemuan demi pertemuan masih kerap dilakukan. Akhir September 2016, pertemuan digelar di Kantor Bupati Bulukumba. Puluhan perwakilan masyarakat menggelar diskusi meminta kejelasan perkara sengketa tanah. Mereka disambut Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto. Tapi hingga sekarang belum ada kesepakatan (Mongabay.co.id).


Syamsurijal Ad’han, “Tanah Toa di Bawah Bayang-bayang Bencana” dalam Heru Prasetia & Bosman Batubara, 2010, Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil, Depok: Indonesia Sustainable Energy and Environment, Lafadi Initiatives & Desantara Foundation.; Andi Ilham Badawi, 15-09-2017,

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--