Konflik antara PT KEM dan Penambang Pertambangan Rakyat (Tradisional)
KALIMANTAN TIMUR, KAB. KUTAI BARAT
Nomor Kejadian
:
017ARC
Waktu Kejadian
:
01-01-1975
Konflik
:
Emas
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Pertambangan
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
286,23 Ha
Dampak Masyarakat
:
2.000 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Republik Indonesia
- BRIMOB
- Aparat Militer
- Komnas HAM
- PT Rio Tinto Indonesia
- PT Raya Buana Indonesia
- PT Kelian Equatorial Mining
- Suku Kayan
- Suku Bahau
- Pelbagai Suku Dayak Lainnya
- Tengkulak Keturunan Tionghoa
- Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKTML)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
KONTEN
Daerah pertambangan emas PT Kelian Equatorial Mining (PT KEM) yang berada hulu Sungai Mahakam – yang jauh sebelum keberadaan PT KEM, merupakan daerah pertambangan rakyat (tradisional), tepatnya di sekitar anak Sungai Kelian merupakan daerah asli orang Dayak yang terdiri dari beberapa suku, yang salah satunya adala Suku Kayan. Pada sekitar tahun 1948, Suku Kayan menemukan emas di daerah hulu Sungai Kelian yang merupakan daerah yang tidak berpenghuni. Akan tetapi, secara teritorial adat, daerah tersebut merupalan daerah teritorial Suku Bahau. Suku Bahau sendiri bermukim di muara Sungai Kelian. Perkampungan atau pemukiman itu disebut Long Kelian. Terdapatnya kandungan emas di daerah tersebut telah diketahui sebelumnya, namun dianggap oleh orang-orang dari Suku Bahau sendiri tidak memiliki nilai secara ekonomis atau tidak penting. Sehingga orang Suku Bahau tidak pernah menambangnya atau memanfaatkannya.
Berbeda dengan orang-orang dari Suku Kayan yang mengetahui nilai emas secara ekonomis karena memang telah memiliki pengalaman sebagai penambang di daerah Serawak. Oleh karena itu, ketika orang Kayan mengetahui terdapat kandungan emas di hulu Sungai Kelian, orang-orang Kayan mulai mendulang emas dan membawanya ke Long Iram. Long Iram merupakan pemukiman yang relatif besar dan menjadi pusat perdagangan di pedalaman hulu Sungai Mahakam dari dulu hingga saat ini. Emas yang diambil atau ditambang oleh orang-orang Kayan tersebut kemudian dijual kepada tengkulak dari keturunan Tionghoa. Karena hasil tambang yang memuaskan, tengkulak-tengkulak tersebut kembali memberi modal kepada orang-orang Kayan untuk terus menambang emas di daerah hulu Sungai Kelian tersebut dan praktis jumlah penambang semakin bertambah banyak, termasuk di dalamnya orang-orang dari Suku Bahau yang sebelumnya tidak memahami nilai ekonomis dari emas.
Semakin banyaknya jumlah penambang dan semakin meluasnya wilayah pertambangan membuat para penambang bersepakat untuk membuat pemukiman di daerah pedalaman yang disebut Loa Tepu. Pada tahun 1949 di pemukiman ini akhirnya tinggal lah sejumlah penambang dari pelbagai Suku Dayak, seperti Uk Murung, Benuaq, Siang Murung, Uk Daung, Bakumpay, Kayan, Tunjung, Bahau, dan lain-lainnya. Seiring bertambah waktu, pemukiman ini semakin membesar, masyarakat di sana pun juga membangun sekolah swasta, mereka juga membuka ladang, menangkap ikan, dan mengambil rotan atau damar di dalam hutan.
Kemudian pada tahun 1975, orang-orang dari PT Rio Tinto Indonesia (RTI) datang melakukan survey ke lubang-lubang galian masyarakat. Tujuan kedatangan ini tidak pernah dijelaskan secara jujur oleh PT RTI kepada masyarakat sehingga masyarakat percaya begitu saja kepada orang-orang dari PT RTI, bahkan memberikan upah untuk turut membantu PT RTI. Akan tetapi, semakin lama, PT RTI mulai menekan dan membatasi aktivitas masyarakat. Hingga kemudian PT Raya Buana Indonesia (PT RBI) mendapat kuasa atas wilayah pertambangan yang menjadi pertambangan masyarakat Loa Tepu dan mengumumkan masyarakt Loa Tepu untuk pindah ke desa lebih hilir di Desa Sungai Babi – yang kemudian mengakibatkan Loa Tepu menjadi daerah terlarang bagi penambang tradisional.
Pada tahun 1985, PT KEM mendapat Kontrak Karya berdasarkan persetujuan Presiden RI No. B-06/Pres/1/1985 dengan luas kontrak sekitar 286.23 Ha. Sejak saat itu, PT KEM melarang sepenuhnya aktivitas masyarakat (penambang tradisional) di Loa Tepu untuk melanjutkan aktivitas pertambangannya dan aktivitas lainnya seperti berladang, khususnya di sepanjang Sungai Kelian dan anak sungainya, mulai dari hilir Sungai Kenyah hingga hulu Sungai Jiu. PT KEM bersama dengan Brimob dan tentara melakukan penggusuran paksa dan tindak kekerasan kepada masyarakat. Penggusuran ini mengakibatkan sekitar 2000 penambang tradisional kehilangan sumber penghidupannya yang bisa menghasilkan Rp100.000,- per minggu per orang. Atau setara dengan 200-300 gram emas. Selain itu, mereka juga harus kehilangan lahan-lahan yang mana telah mereka dijadikan lahan pertanian.
Diakui bahwa memang PT KEM membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak penggusuran paksa tersebut. Akan tetapi, tidak sebanding dengan tuntutan masyarakat. Mayarakat menuntut Rp5.000-10.000,- untuk lahan seluas 10 m2, namun yang diberikan hanya Rp200,-/m2. Janji PT KEM untuk dibuat pemukiman pun dianggap tidak sepadan oleh masyarakat terdampak. Maka dari itu, beberapa di antaranya tetap bertahan di Loa Tepu untuk melanjutkan aktivitas pertanian. Tetapi pihak PT KEM dan aparat militer tidak segan untuk mengusir dan membakar pertanian dan rumah-rumah mereka.
Untuk tetap bertahan hidup, banyak masyarakat yang secara diam-diam masuk ke wilayah PT KEM yang terlarang untuk mendulang butiran emas dari pasir sisa (limbah) bekas olahan pabrik milik PT KEM. PT KEM menganggap aktivitas ini adalah pencurian. Jika ada yang ketahuan melakukan aktivitas tersebut, PT KEM dan aparat militer menyiksa, menculik, melakukan penembakan, dan pembunuhan. Selain itu, juga terjadi kasus pelecehan seksual dan perkosaan terhadap masyarakat yang melibatkan jajaran perusahaan dan petinggi, hingga pihak keamanan. Pada tahun 1991, masyarakat melakukan aksi unjuk rasa sebanyak dua kali untuk menuntut hak mereka atas lahannya kembali, namun tidak ada tanggapan dari pemerintah daerah maupun PT KEM. Bahkan 11 orang peserta aksi ditahan, satu orang di antaranya tewas dalam tahanan.
Pelbagai upaya untuk menuntut hak masyarakat yang dirampas tak berhenti sampai di situ. Masyarakat dengan bantuan beberapa lembaga menulis surat tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah daerah, Gubernur Kalimantan Timur, Komnas HAM, Kementerian terkait dan Presiden RI. Surat tuntutan ini mendapat respon dari Komnas HAM yang kemudian menulis surat atas keprihatinannya yang terjadi antara PT KEM dan masyarakat. Surat tersebut dikirimkan kepada lembaga bantuan hukum di ibu kota provinsi dan pemerintah kabupaten, juga provinsi. Upaya-upaya ini akhirnya menghasilkan negosisasi antara Lembaga kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKTML), WALHI, dan JATAM dengan PT KEM untuk menyelesaikan segala tuntutan masyarakat pada Mei 1998. Namun, kesepakatan yang dicapai diingkari oleh PT KEM. Pada tahun 2000, negosiasi tidak pernah berujung pada keadilan, masyarakat pun kembali mengadakan aksi unjuk rasa skala besar, bahkan kasus ini memengaruhi hingga level internasional, seperti unjuk rasa yang dilakukan di Kota Perth, Australia, kepada PT RTI sebagai induk PT KEM yang pada saat itu Robert Wilson sebagai pimpinan PT RTI. Pada tahun 2004 PT KEM menutup aktivitas pertambangannya. Akan tetapi, masyarakat belum mendapat ganti rugi dari PT KEM, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT KEM tidak pernah selesai. Selain itu, PT KEM juga mewariskan kondisi ekologis yang buruk akibat dari aktivitas pertambangan selama kurang lebih 19 tahun.
Dianto Bachriadi. 1998. Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-Pelanggaran HAM Pada Industri Pertambangan di Indonesia. ELSAM: Jakarta.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
KALIMANTAN TIMUR, KAB. KUTAI BARAT
Nomor Kejadian | : | 017ARC |
Waktu Kejadian | : | 01-01-1975 |
Konflik | : | Emas |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Pertambangan |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 286,23 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 2.000 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Republik Indonesia
- BRIMOB
- Aparat Militer
- Komnas HAM
- PT Rio Tinto Indonesia
- PT Raya Buana Indonesia
- PT Kelian Equatorial Mining
- Suku Kayan
- Suku Bahau
- Pelbagai Suku Dayak Lainnya
- Tengkulak Keturunan Tionghoa
- Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKTML)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
KONTEN
Daerah pertambangan emas PT Kelian Equatorial Mining (PT KEM) yang berada hulu Sungai Mahakam – yang jauh sebelum keberadaan PT KEM, merupakan daerah pertambangan rakyat (tradisional), tepatnya di sekitar anak Sungai Kelian merupakan daerah asli orang Dayak yang terdiri dari beberapa suku, yang salah satunya adala Suku Kayan. Pada sekitar tahun 1948, Suku Kayan menemukan emas di daerah hulu Sungai Kelian yang merupakan daerah yang tidak berpenghuni. Akan tetapi, secara teritorial adat, daerah tersebut merupalan daerah teritorial Suku Bahau. Suku Bahau sendiri bermukim di muara Sungai Kelian. Perkampungan atau pemukiman itu disebut Long Kelian. Terdapatnya kandungan emas di daerah tersebut telah diketahui sebelumnya, namun dianggap oleh orang-orang dari Suku Bahau sendiri tidak memiliki nilai secara ekonomis atau tidak penting. Sehingga orang Suku Bahau tidak pernah menambangnya atau memanfaatkannya.
Berbeda dengan orang-orang dari Suku Kayan yang mengetahui nilai emas secara ekonomis karena memang telah memiliki pengalaman sebagai penambang di daerah Serawak. Oleh karena itu, ketika orang Kayan mengetahui terdapat kandungan emas di hulu Sungai Kelian, orang-orang Kayan mulai mendulang emas dan membawanya ke Long Iram. Long Iram merupakan pemukiman yang relatif besar dan menjadi pusat perdagangan di pedalaman hulu Sungai Mahakam dari dulu hingga saat ini. Emas yang diambil atau ditambang oleh orang-orang Kayan tersebut kemudian dijual kepada tengkulak dari keturunan Tionghoa. Karena hasil tambang yang memuaskan, tengkulak-tengkulak tersebut kembali memberi modal kepada orang-orang Kayan untuk terus menambang emas di daerah hulu Sungai Kelian tersebut dan praktis jumlah penambang semakin bertambah banyak, termasuk di dalamnya orang-orang dari Suku Bahau yang sebelumnya tidak memahami nilai ekonomis dari emas.
Semakin banyaknya jumlah penambang dan semakin meluasnya wilayah pertambangan membuat para penambang bersepakat untuk membuat pemukiman di daerah pedalaman yang disebut Loa Tepu. Pada tahun 1949 di pemukiman ini akhirnya tinggal lah sejumlah penambang dari pelbagai Suku Dayak, seperti Uk Murung, Benuaq, Siang Murung, Uk Daung, Bakumpay, Kayan, Tunjung, Bahau, dan lain-lainnya. Seiring bertambah waktu, pemukiman ini semakin membesar, masyarakat di sana pun juga membangun sekolah swasta, mereka juga membuka ladang, menangkap ikan, dan mengambil rotan atau damar di dalam hutan.
Kemudian pada tahun 1975, orang-orang dari PT Rio Tinto Indonesia (RTI) datang melakukan survey ke lubang-lubang galian masyarakat. Tujuan kedatangan ini tidak pernah dijelaskan secara jujur oleh PT RTI kepada masyarakat sehingga masyarakat percaya begitu saja kepada orang-orang dari PT RTI, bahkan memberikan upah untuk turut membantu PT RTI. Akan tetapi, semakin lama, PT RTI mulai menekan dan membatasi aktivitas masyarakat. Hingga kemudian PT Raya Buana Indonesia (PT RBI) mendapat kuasa atas wilayah pertambangan yang menjadi pertambangan masyarakat Loa Tepu dan mengumumkan masyarakt Loa Tepu untuk pindah ke desa lebih hilir di Desa Sungai Babi – yang kemudian mengakibatkan Loa Tepu menjadi daerah terlarang bagi penambang tradisional.
Pada tahun 1985, PT KEM mendapat Kontrak Karya berdasarkan persetujuan Presiden RI No. B-06/Pres/1/1985 dengan luas kontrak sekitar 286.23 Ha. Sejak saat itu, PT KEM melarang sepenuhnya aktivitas masyarakat (penambang tradisional) di Loa Tepu untuk melanjutkan aktivitas pertambangannya dan aktivitas lainnya seperti berladang, khususnya di sepanjang Sungai Kelian dan anak sungainya, mulai dari hilir Sungai Kenyah hingga hulu Sungai Jiu. PT KEM bersama dengan Brimob dan tentara melakukan penggusuran paksa dan tindak kekerasan kepada masyarakat. Penggusuran ini mengakibatkan sekitar 2000 penambang tradisional kehilangan sumber penghidupannya yang bisa menghasilkan Rp100.000,- per minggu per orang. Atau setara dengan 200-300 gram emas. Selain itu, mereka juga harus kehilangan lahan-lahan yang mana telah mereka dijadikan lahan pertanian.
Diakui bahwa memang PT KEM membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak penggusuran paksa tersebut. Akan tetapi, tidak sebanding dengan tuntutan masyarakat. Mayarakat menuntut Rp5.000-10.000,- untuk lahan seluas 10 m2, namun yang diberikan hanya Rp200,-/m2. Janji PT KEM untuk dibuat pemukiman pun dianggap tidak sepadan oleh masyarakat terdampak. Maka dari itu, beberapa di antaranya tetap bertahan di Loa Tepu untuk melanjutkan aktivitas pertanian. Tetapi pihak PT KEM dan aparat militer tidak segan untuk mengusir dan membakar pertanian dan rumah-rumah mereka.
Untuk tetap bertahan hidup, banyak masyarakat yang secara diam-diam masuk ke wilayah PT KEM yang terlarang untuk mendulang butiran emas dari pasir sisa (limbah) bekas olahan pabrik milik PT KEM. PT KEM menganggap aktivitas ini adalah pencurian. Jika ada yang ketahuan melakukan aktivitas tersebut, PT KEM dan aparat militer menyiksa, menculik, melakukan penembakan, dan pembunuhan. Selain itu, juga terjadi kasus pelecehan seksual dan perkosaan terhadap masyarakat yang melibatkan jajaran perusahaan dan petinggi, hingga pihak keamanan. Pada tahun 1991, masyarakat melakukan aksi unjuk rasa sebanyak dua kali untuk menuntut hak mereka atas lahannya kembali, namun tidak ada tanggapan dari pemerintah daerah maupun PT KEM. Bahkan 11 orang peserta aksi ditahan, satu orang di antaranya tewas dalam tahanan.
Pelbagai upaya untuk menuntut hak masyarakat yang dirampas tak berhenti sampai di situ. Masyarakat dengan bantuan beberapa lembaga menulis surat tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah daerah, Gubernur Kalimantan Timur, Komnas HAM, Kementerian terkait dan Presiden RI. Surat tuntutan ini mendapat respon dari Komnas HAM yang kemudian menulis surat atas keprihatinannya yang terjadi antara PT KEM dan masyarakat. Surat tersebut dikirimkan kepada lembaga bantuan hukum di ibu kota provinsi dan pemerintah kabupaten, juga provinsi. Upaya-upaya ini akhirnya menghasilkan negosisasi antara Lembaga kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKTML), WALHI, dan JATAM dengan PT KEM untuk menyelesaikan segala tuntutan masyarakat pada Mei 1998. Namun, kesepakatan yang dicapai diingkari oleh PT KEM. Pada tahun 2000, negosiasi tidak pernah berujung pada keadilan, masyarakat pun kembali mengadakan aksi unjuk rasa skala besar, bahkan kasus ini memengaruhi hingga level internasional, seperti unjuk rasa yang dilakukan di Kota Perth, Australia, kepada PT RTI sebagai induk PT KEM yang pada saat itu Robert Wilson sebagai pimpinan PT RTI. Pada tahun 2004 PT KEM menutup aktivitas pertambangannya. Akan tetapi, masyarakat belum mendapat ganti rugi dari PT KEM, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT KEM tidak pernah selesai. Selain itu, PT KEM juga mewariskan kondisi ekologis yang buruk akibat dari aktivitas pertambangan selama kurang lebih 19 tahun.
Dianto Bachriadi. 1998. Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-Pelanggaran HAM Pada Industri Pertambangan di Indonesia. ELSAM: Jakarta.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |