DATA DETIL
Tumpang Tindih Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan Wilayah Adat Kasepuhan

 BANTEN, KAB. LEBAK

Nomor Kejadian :  24-10-2025
Waktu Kejadian :  01-03-2003
Konflik :  Taman Nasional
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Hutan Konservasi
Sektor Lain  :  
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kementerian Kehutanan
  • UPT Balai Taman Nasional
  • PT Aneka Tambang (PT Antam)
  • MHA Kasepuhan Karang
  • MHA Kasepuhan Cirompang
  • MHA Kasepuhan Citorek

KONTEN

Perebutan sumber daya alam di Kawasan Halimun oleh berbagai pihak bisa ditarik sejarahnya sejak pemerintah Belanda menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung pada tahun 1924. Penetapan batas hutan kolonial tersebut memicu konflik atat batas, misalnya dengan masyarakat hukum adat yang masih mempraktikkan sistem huma atau perladangan degan Jawatan Kehutanan yang menganggap pembukaan hutan untuk huma adalah tidak sah. Oleh para Jawatan Kehutanan dan Residen Banten, praktik perladangan dianggap bisa merusak pengaturan air di Daerah Aliran Sungai Ciujung.

Terdapat 3 rezim penting yang menjadi tonggak-tonggak terselenggaranya konflik tenurial mulai dari perebutan sumber daya tambang, masuknya Perum Perhutani hingga rezim konservasi. Pertambangan emas yang telah dilakukan oleh masyarakat kemudian dikuasai oleh PT Aneka Tambang (PT Antam). Hasil dari penambangan emas yang sebagian besar dinikmati oleh perusahaan besar dan swasta tersebut memicu pergolakan terutama di wilayah tempatan tambang.

Konflik tenurial di Jawa Barat juga diperumit setelah pada tahun 1961 pemerintah mengesahkan Perusahaan Hutan Negara melalui Peraturan Pemerintah No. 17-30 Tahun 1961. Wilayah kerja Perhutani tersebar di berbagai daerah, termasuk 16,8% dari luas lahan hutan di Pulau Jawa. Keberadaan Perum Perhutani sejak tahun 1978 ditandai dengan pemasangan patok pembatas, seperti yang ada di Kasepuhan Ciledug, membawa dampak tersendiri bagi kasepuhan. Misalnya, pelarangan berladang dan pemaksaan menanam pinus dan damar; intimidasi dan penangkapan atas penggarap lahan huma; dan perampasan alat pertanian dan penetapan pajak kolong dari hasil panen.

Pelanggengan konflik sumber daya alam dan tenurial di Kawasan Ekosistem Halimun berimplikasi pada masalah-masalah selanjutnya, yaitu:
1. Terhambatnya akses ke hutan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan kesehatan warga Kasepuhan. Penetapan batas yang banyak termasuk larangan masuk ke hutan, menjadi siksaan berat bagi kasepuhan di sekitar Gunung Halimun-Salak. Kasepuhan Karang dan Kasepuhan Cirompang yang tidak bisa lagi ngahuma atau berladang dengan sistem gilir balik.
2. Pudarnya nilai-nilai kasepuhan yang sebelumnya dianut dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
3. Meningkatnya migrasi keluar dari wilayah kasepuhan. Banyak anak muda dan perempuan yang bekerja sebagai buruh tani, buruh ladang dan buruk di perkebunan milik orang lain sebagai akibat dari larangan masuk lahan.
4. Meningkatnya kasus kemiskinan multidimensi. Hasil panen komoditas padi sebagai mata pencaharian andalan masyarakat Kasepuhan terus mengalami penurunan. Keterbatasan akses lahan di kasepuhan ini berkontribusi pada munculnya beragam kemiskinan. Hilangnya huma kemudian masuknya program beras miskin menyebabkan warga Cirompang semakin tidak berdaya dan jauh dari cita-cita kedaulatan pangan. Lalu hilangnya reuma juga memperparah hilangnya akses dan jaminan kesehatan.


Sajogyo Institute

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--