DATA DETIL
Suku Sawai Terusik Tambang Nikel PT. Weda Bay Nickel

 MALUKU UTARA, KAB. HALMAHERA TENGAH

Nomor Kejadian :  000
Waktu Kejadian :  23-04-2013
Konflik :  Nikel
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Pertambangan
Sektor Lain  :  
Luas  :  76.280,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  430 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Kehutanan (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
  • Bupati Halmahera Tengah
  • Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah
  • Kepala Kepolisian Resor Halmahera Tengah
  • Komandan Kodim 1505 Halmahera Tengah
  • Direktur PT. Weda Bay Nickel.
  • Masyarakat Adat Sawai

KONTEN

PT. Weda Bay Nickel, yang berlokasi di Teluk Weda, Kabupaten Hamahera Tengah, propinsi Maluku Utara. PT Weda Bay Nikel (WBN) adalah perusahaan joint venture antara PT ANTAM (10%) dengan Eramet Group (90%) dari Prancis. Berdasarkan Kontrak Karya (KK) Generasi VII tahun 1998, PT WBN berhak atas konsesi
pertambangan seluas 76.280 ha di sekitar Teluk Weda, Kabupaten Hamahera Tengah, propinsi Maluku
Utara. Kontrak Karya PT. Weda Bay Nickel adalah Generasi VII yang ditandatangani oleh Presiden Soehato, 19 Januari 1998. Luas konsesi pertambangan berdasarkan KK seluas 76.280 yang tumpah tindih dengan
kawasan hutan seluas + 72.775 ha, terdiri dari:
- Hutan Lindung (HL) Ake Kobe seluas 35.155 ha
- Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 20.210 ha
- Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 8.886 ha
- Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas 8.524 ha

Izin konsesi PT Weda Bay Nickel ini menurut keterangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah merampas tanah 154 Kepala Keluarga Suku Sawai yang berada di dekat wilayah pertambangan. Akibatnya, etnis Sawai kini kehilangan akses pada lahan yang telah dibudidayakan secara turun temurun tersebut. Suku Sawai juga kehilangan akses terhadap lahan, hutan dan kehilangan mata pencaharian mereka. Setidaknya lima komunitas masyarakat pesisir yang terpaksa kehilangan mata pencaharian mereka akibat hilangnya tanah mereka, tiga diantaranya berada langsung di wilayah konsesi: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf. Masing-masing desa tersebut dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Mereka tinggal tidak jauh dari pantai, dan bertani di hutan di sekitar rumah mereka. Jika pertambangan berjalan, maka desa-desa inilah yang akan terkena dampak lingkungan pertamakalinya akibat limbah pertambangan. Akibat konflik perebutan lahan ini, sejumlah warga masyarakat telah melaporkan hal ini kepada pihak Komnas HAM, dan lembaga tersebut telah menindaklanjuti temuan mereka dengan laporan kepada pihak terkait di Maluku Utara, namun hal ini pun tak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sementara Badan Penyelesaian Keluhan PT Weda Bay Nickel tidak mampu menangani isu-isu penting yang terkait dengan kasus-kasus pertanahan dan perjanjian ganti rugi.(mongabay.co.id)

Rekomendasi (Inkuiri Komnas HAM)
1. Pemerintah Daerah dan Dinas Kehutanan seharusnya tidak menjadikan wilayah adat sebagai lokasi pembangunan yang memungkinkan hilangnya komunitas masyarakat adat;
2. Diserukan agar Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tidak menunggu didatangi oleh masyarakat adat, melainkan menilai prosesnya, dengan misalnya mengundang perwakilan masyarakat yang bersangkutan untuk datang ke pemerintah kabupaten dan/atau dengan melakukan blusukan ke lokasi Masyarakat Adat Sawai;
3. Pemerintah Daerah seharusnya me-review kembali soal penetapan harga tanah masyarakat yang digunakan oleh perusahaan tambang;
4. Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Provinsi Maluku Utara harus melibatkan perempuan dalam aktivitas dalam pengambilan kebijakan;
5. Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah agar dapat melakukan pemulihan terkait permasalahan yang dialami Masyarakat Adat Sawai;
6. Pihak PT. Weda Bay Nickel harus transparan. Kualitas komunikasi di lapangan harus ditingkatkan;
7. Harus ada jaminan keamanan dari pihak kepolisisan terhadap intimidasi kepada warga;
8. Kepolisian harus memiliki mekanisme khusus dalam menangani masalah-masalah adat. Dalam konteks pengamanan atau penyelesaian konflik harus diperhatikan hal-hal spesifik. Dalam pengelolaan sumber daya alam, soal alas hak yang belum selesai atau masih adanya klaim sepihak, harus diperhatikan;
9. Inisiatif dari Pemerintah Daerah dan BPKH untuk segera mengambil alternatif untuk masyarakat adat;
10. Semua pihak (pemimpin dari masyarakat, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, PT. Weda Bay Nickel dan kepolisian) wajib memfasilitasi perbedaan pandangan yang ada dan mencari titik temu;
11. Program CSR yang dijalankan oleh perusahaan harus berbasis pada kebutuhan masyarakat adat dan memastikan kebutuhan dan partisipasi perempuan adat terakomodir didalamnya. Untuk itu, desain dan kegiatan CSR harus mengedepankan pengembangan dan peningkatan kapasitas masyarakat adat secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.


Inkuiri KOMNASHAM, Mongabay.co.id

LAMPIRAN