DATA DETIL
Sengketa Lahan PT Nyunyur Baru (PT Kismo Handayani), Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Blitar

 JAWA TIMUR, KAB. BLITAR

Nomor Kejadian :  016ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1974
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  100,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  185 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Desa Soso
  • Menteri Pertanian dan Agraria
  • Pemerintah Kabupaten Blitar
  • Aparat Militer
  • Komnas HAM
  • KPK
  • Ombudsman
  • Pusat Perkebunan Negara (PPN)
  • PT Nyunyur Baru
  • PT Kismo Handayani
  • Masyarakat Desa Soso
  • Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  • Lembaga Pemuda dan Mahasiswa

KONTEN

Desa soso merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Secara geografis Desa Soso berada di lereng gunung yang sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan dan pertanian. Pada awal mulanya, Desa Soso merupakan bagian dari hak erfpacht Verponding No. 39, 32, 120, 308, dan 309 dengan luas lahan sekitar 472,78 Ha atas nama NV. Handels Vereniging Amsterdam. Akibat dari gejolak ekonomi global yang merusak pasar dan produksi, perusahaan NV. Handels Vereniging Amsterdam mengalami kebangkrutan/pailit. Besarnya utang kepada bank tidak dapat dilunasi sehingga lahan perkebunan yang diusahakannya menjadi terlantar.

Lahan-lahan yang terlantar ini pun akhirnya tetap dikelola oleh masyarakat yang merupakan bekas buruh dari perusahaan perkebenunan Belanda tersebut hingga jaman pendudukan Jepang pada tahun 1942. Selanjutnya, pada paska kemerdekaan tahun 1945, wilayah perkebunan tersebut dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN). Akan tetapi pada tahun 1949, pengelolaan tersebut dibatalkan oleh pihak PPN sendiri. Meskipun demikian, buruh-buruh yang menggarap lahan PPN tersebut tetap mengelola lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan subsistennya.

Pada Februari 1963, dua tahun setelah terbitnya UUPA 1960, Pemerintah Kabupaten Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria agar lahan yang dikelola masyarakat tersebut dijadikan sebagai objek landereform seluas 100 Ha dari luas keseluruhan 472,78 Ha kepada 185 Kepala Keluarga (KK). Kementerian Pertanian dan Agraria pada saat itu pun mengabulkan permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar untuk meredistribusikan lahan garapan tersebut kepada masyarakat yang telah lama menduduki di wilayah tersebut melalu Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria No. 49/KA/64 tanggal 26 Mei 1964. Sisa lahan perkebunan yang kurang lebih seluas 372 Ha tersebut dimaksudkan untuk diusahakan sebuah badan hukum (PT) dengan mengajukan permohonan HGU. Akan tetapi, pada tahun 1974, ketika Orde Baru berkuasa, lahan redistribusi seluas 100 Ha tersebut dimasukkan ke dalam wilayah HGU atas nama PT Nyunyur Baru.

Masyarakat penerima redistribusi sebanyak 185 KK dari 100 Ha tersebut dijanjikan oleh PT Nyunyur Baru akan dipindahkan ke lahan baru dan ganti rugi seluas 0,03 Ha per KK. Masyarakat diberi waktu satu setengah bulan untuk untuk pindah dari lokasi HGU, tetapi masyarakat memilih untuk tetap bertahan sehingga PT Nyunyur Baru bersama dengan aparat militer mengusir paksa masyarakat tersebut.

Lokasi pemindahan yang telah dijanjikan oleh PT Nyunyur seluas 100 Ha tidak dikabulkan seluruhnya, hanya 50 KK dari 185 KK yang menerima ganti rugi tersebut. Maka dari itu, masyarakat menuntut Kabupaten Blitar untuk mengembalikan lahan garapan awal mereka yang berada di dalam HGU PT Nyunyur Baru. Meski dikabulkan melalui SK Menteri Dalam Negeri No. 92 /DJA/1981 pada 11 Agustus 1981, lahan yang diserahkan adalah lahan yang terjal dan berbatu sehingga tidak layak untuk digarap. Justru lahan subur seluas 100 Ha yang merupakan hasil redistribusi objek landreform pertama kali melalui SK Menteri Agraria No. 49/KA/64 tanggal 26 Mei 1964 pada masa pemerintahan Soekarno telah dimasukkan ke dalam HGU PT Kismo Handayani yang merupakan nama baru dari PT Nyunyur Baru yang mengajukan kembali HGU atas sisa tanah perkebunan Nyunyur seluas 368 Ha untuk jangka waktu 25 tahun, terhitung semenjak tahun 1985 dan berakhir pada tahun 2010.

Pada tahun 2015, lima tahun setelah HGU PT Kismo Handayani berakhir – dan belum ditemukan bukti perpanjangan masa HGU, masyarakat petani pun masih belum mendapatkan hak atas lahannya tersebut. Pelbagai macam aksi demonstrasi, protes, bahkan melalui jalur litigasi pun dilakukan oleh masyarakat yang dibantu oleh lembaga non-pemerintah, seperti ELSAM dan lembaga pemuda dan mahasiswa lainnya, untuk mengadukan ke Ombudsman, Komnas HAM dan KPK. Petani Desa Soso pun mengorganisir diri guna memperkuat gerakan perjuangan atas hak mengatasnamakan Gapura Merah Putih (Zuhroyda 2015). Namun, PT Kismo Handayani tidak menghiraukan tuntutan masyarkat tersebut, pihak perusahaan justru terus melakukan intimidasi, salah satunya berupa pembakaran rumah-rumah di pemukiman masyarakat (www.terasjatim.com 2015).


Andi Muttaqien, Nurhanudin Ahmad, Wahyu Wagiman. 2012. Undang-Undang Perkebunan, Wajah Baru Agrarian Wet: Dasar dan Alasan Pembatalan Pasal-Pasal Kriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi. ELSAM-SAWIT WATCH-PILNET: Jakarta; Binti Itaul Khasanah dan Nurhadi Sasmita. 2014. Reclaiming Tanah Perkebunan Nyunyur oleh Masyarakat Desa Soso Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar 1964-2014. Publika Budaya Vo. 3 (2) Nove,ber 2014 (Halaman 1-8): Jember; Sholih Mu’adi. 2008. Penyelesasian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi Transisional). Disertasi Pascasarjana Universitas Dipenegoro: Semarang; Dewi Zuhroyda. 2015. “Kampung Merah Putih” (Studi Gerakan Sosial Petani di Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar Terhadap Reclaiming Tanah Garapan Rakyat Dengan HGU Perkebunan Swasta PT Kismo Handayani). Skripsi Universita Airlangga: Surabaya; http://www.terasjatim.com/kasus-perkebunan-soso-dan-nyunyur-petani-ancam-lapor-polda-jatim/. Diakses: 13 Mei 2018.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--