DATA DETIL
Masyarakat Semende Dikriminalisasi di Kawasan Taman Nasional

 BENGKULU, KAB. KAUR

Nomor Kejadian :  24-10-2025
Waktu Kejadian :  01-07-2012
Konflik :  Taman Nasional
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Hutan Konservasi
Sektor Lain  :  
Luas  :  3.437,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  1.320 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kementerian Kehutanan
  • Polisi Hutan
  • Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
  • Masyarakat Dusun Semende Banding Agung

KONTEN

Konflik antara Masyarakat Semende dengan TNBBS telah terjadi dalam keseharian dengan adanya pencegatan Masyarakat Semende yang turun membawa muatan kopi hasil panen mereka selama ini. Sepanjang 1999 hingga 2012 sebelum konflik pembakaran pemukiman, Masyarakat Semende sering dicegat oleh TNBBS dan menyita muatan panen kopi mereka yang hendak dijual ke Kaur. Meski begitu, strategi yang mereka mainkan saat itu adalah dengan memanfaatkan tengkulak yang membawa hasil panen mereka ke bawah. Meski begitu, ada indikasi terjadinya kongkalikong antara tengkulak dengan petugas TNBBS. Hal ini terindikasi dengan harus membayar ‘uang pelicin’ untuk petugas TNBBS agar bisa lewat.

Konflik penguasaan tanah Dusun Lame antara Masyarakat Semende dan BB-TNBBS meledak pada Juli 2012 hingga Desember 2013 di mana terjadi pembakaran terhadap 120 rumah dan harta benda Masyarakat Semende, beragam intimidasi, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap 4 Warga Semende. Modus yang dilakukan oleh BB-TNBBS terhadap Masyarakat Semende adalah cap stigma ‘perambah’ dalam kawasan TN. Pasca-Pembakaran rumah, Masyarakat Semende mengalami berbagai diskriminasi dan penafian hak sebagai warga negara seperti tidak diakui sebagai warga negara utuh dengan tidak boleh mengikuti Pilkada 2012 akibat KTP dan identitas resmi mereka dilalap api akibat pembakaran rumah yang dilakukan oleh BB-TNBBS, tidak dilayaninya pembuatan KTP warga Semende akibat stigma perambah dan intimidasi dari aparat keamanan dan TNBBS. Pembakaran pemukiman tersebut merupakan operasi menurunkan para perambah dari kawasan TNBBS yang dilakukan oleh Polhut TNBBS.

Puncaknya, terjadi kembali operasi menurunkan Masyarakat Semende yang dipandang sebagai perambah (Operasi Turunkan Perambah) pada Desember 2013 dengan pembakaran 13 rumah Masyarakat Semende, lalu menangkap 4 orang Warga Semende atas tuduhan merambah kawasan hutan TNBBS. Tak hanya itu, proses penangkapan mereka begitu janggal, yaitu ditangkap tanpa adanya surat penangkapan (surat penangkapan keluar seminggu setelah penangkapan), surat penangkapan yang tidak sesuai dengan kejadian di lapang (4 warga ditangkap di rumah masing-masing, kenyataannya mereka tidak rumah kebun mereka tapi digiring Polhut dari rumah Heri (salah seorang warga) ke kantor Polhut), penangkapan atas dasar jebakan musyawarah, penggerebekan mencari alat bukti tanpa adanya surat penugasan dan mengobrak-abrik rumah 4 warga yang ditangkap. 4 warga tersebut telah mengalami vonis penahanan selama tiga tahun akibat tuduhan pelanggaran pidana dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Secara sosial, dampak yang mereka rasakan adalah semakin terasanya penyingkiran masyarakat Semende sebagai warga negara. Pasca-pembakaran, mereka telah dianggap sebagai stateless karena tidak lagi memiliki identitas resmi warga negara berupa KTP dan KK. Akibatnya, hak-hak politik mereka dicabut, seperti hak memilih dalam Pilkada dan Pemilu. Dalam waktu yang panjang, Masyarakat Semende merasa mengalami diskriminasi dengan tidak adanya pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi hak dasar sebagai warga negara, seperti fasilitas dan infrastruktur transportasi dan angkutan, fasilitas kesehatan, program bantuan dasar seperti bantuan pangan murah, jaminan kesehatan, pembangunan sarana dan tenaga pendidikan dan berbagai lembaga peningkatan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat dari Negara.

Tak hanya itu, secara mendasar, Masyarakat Semende dicerabut dari sumber-sumber agraria atas nama konservasi dan penguasaan tanah atas nama Negara. Hal ini mencerabut identitas sejati dari Masyarakat Semende yang terikat dengan tanah, khususnya Perempuan Adat Semende yang dianggap sebagai ‘penjaga, pengurus dan pewaris tanah adat’. Perempuan, khususnya perempuan paling tua dalam satu keluarga, dianggap sebagai pewaris utama tanah adat Semende sehingga mereka memiliki tanggung jawab untuk merawat tanah agar tetap menjadi sumber penghidupan bagi Masyarakat Semende. Kerja-kerja perawatan terhadap tanaman pertanian dan akses pangan ke hutan merupakan tanggung jawab dari para Perempuan Semende. Sehingga, tanah merupakan hidup matinya para Perempuan Adat Semende.
Secara ekonomi, penyitaan hasil-hasil panen kopi mematikan penghidupan Masyarakat Semende yang bergantung dari pertanian kopi dengan selingan tanaman cabai rawit. Tak hanya itu, ketidakpastian dan kerentanan yang dialami oleh Masyarakat Semende akibat pendekatan represif pihak TNBBS melalui operasi turunkan perambah telah menyebabkan kerugian berlipat akibat hilangnya harta benda yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, hilangnya hasil kerja subsisten Masyarakat akibat hilangnya panen padi mereka akibat dibakar dan pembatasan praktek bertani ladang dan bersawah akibat pembatasan akses terhadap tanah sawah dan ladang gilir balik mereka, musnahnya sandang-papan, khususnya kebutuhan bagi para bayi dan para ibu pengasuh anak, dan kerugian materiil akibat penangkapan 4 warga, seperti hilangnya penghasilan akibat kepala keluarga sebagai pencari nafkah utama harus mendekam di dalam penjara selama tiga tahun, biaya untuk kebutuhan di pengadilan dan hilangnya harta benda akibat digadai dan dijual untuk kebutuhan biaya pengadilan dan proses hukum. Akibat tanah, harta dan tanaman pertanian musnah, sebagian anggota keluarga yang masih kuat secara tenaga harus turun ke bawah ke kota kecamatan atau desa terdekat untuk menjadi buruh tani dan buruh bangunan untuk mencari penghasilan untuk bertahan hidup. Dari hidup cukupan berubah menjadi bertahan hidup. Beberapa orang, khususnya para ibu dan janda harus bertahan di tempat kediaman mereka di atas puing rumah terbakar di bawah terpal plastic dengan udara dingin menusuk.



Sajogyo Institute

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--