DATA DETIL
Wilayah adat Barambang Katute terkikis dan semakin menyempit

 SULAWESI SELATAN, KAB. SINJAI

Nomor Kejadian :  10/08/2017
Waktu Kejadian :  10-08-2009
Konflik :  Hutan Lindung
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Hutan Lindung
Sektor Lain  :  Pertambangan
Luas  :  1.447,53 Ha
Dampak Masyarakat  :  11 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Kehutanan
  • Menteri Agraria dan Tata Ruang
  • Gubernur Sulawesi selatan
  • Kepala Pengadilan Tinggi Sulsel
  • Bupati sinjai
  • Kepala Dinas Kehutanan Kab. Sinjai
  • Ketua DPRD Kabupaten Sinjai
  • Kapolres Sinjai
  • Kepala Pengadilan Tinggi sinjai
  • PT. Galena Sumber Energi
  • Masyarakat Adat Barambang Katute

KONTEN

Pada tahun 2005 muncul program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
dan Lahan (GN-RHL) dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai. Jumlah
dana yang digelontorkan untuk program ini mencapai 167 juta rupiah
yang bersumber dari APBN 2005. Jenis tanaman yang ditanam adalah
pohon Pinus, Mahoni, Gamelina, dan Kayu manis. Lahan yang menjadi
target penanaman seluas 84 ha. Masyarakat menentang penanaman
pohon pinus dan melarang petugas menanam di lahan mereka.
Pada tahun 2009 11 orang warga ditetapkan sebagai tersangka dengan
tuduhan merambah hutan lindung, mencabut pohon pinus sebanyak 44
ribu pohon di lahan seluas 40 ha. “Perbuatan itu tidak kami lakukan, itu
tuduhan kehutanan saja untuk menangkap kami. Dipengadilan juga
tidak mampu mereka dibuktikan tapi mau diapa kami diputus bersalah
mulai dari Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung. Kami tidak tau
harus mengadu pada siapa lagi, semua jalan sepertinya buntu
Konflik lahan yang telah berlangsung lama tersebut membawa dampak
terhadap kehidupan masyarakat adat Barambang-Katute. Beberapa kali
aparat melakukan penangkapan dan intimidasi. Penegakan hukum
kehutanan justru membuat beberapa anggota masyarakat adat
Barambang Katute dipenjara. Dampak yang tidak kalah berat adalah
trauma mendalam yang menghinggapi masyarakat adat Barambang
Katute. Hal-hal tersebut menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat
adat Barambang katute kepada Pemerintah, khususnya Dinas
Kehutanan dan Kepala terbangun dan semakin hari semakin menguat
Puang Muhasse, salah seorang yang pernah menjadi narapidana karena
SULAWESI 491
konflik tersebut menuturkan, “Di kampung ini sudah banyak yang
ditangkap dan dipenjara karena dianggap merusak hutan lindung,
apalagi kalau hanya panggilan ke pos Polhut, disuruh menghadap Pak
Camat atau ke Polsek, hampir setiap bulan ada kejadian seperti itu.”
Panggilan menghadap ke pos Polisi Kehutanan (Polhut), Polsek bahkan
Polres, Penangkapan, Penahanan adalah hal yang sudah sering
masyarakat Barambang-Katute alami. Ironisnya, masyarakat adat
Barambang katute tidak begitu memahami sebab-sebab tindakan
sewenang-wenang aparat tersebut.
Jika merunut sejak penunjukan kawasan hutan maka orang pertama
yang ditahan karena menolak kawasan hutan lindung adalah Rustam
Hamka, setelah itu sudah banyak yang ditahan, salah satunya adalah
Pak Ismail yang merupakan salah satu Dewan AMAN Wilayah Sulawesi
Selatan. Penangkapan demi penangkapan terus dilakukan aparat dan
ketidaktahuan masyarakat terhadap proses-proses hukum membuat
mereka dengan mudah dipermainkan. Akibatnya jelas, penangkapanpenangkapan
tidak pernah berhenti. Penangkapan secara massif
terhadap masyarakat adat Barambang Katute bahkan pernah dilakukan
pada tahun 2009. Aksi penangkapan itu meenyebabkan sebanyak 11
orang ditetapkan sebagai tersangka. Puang Mahasse
menuturkan,“Puncak kriminalisasi itu tahun 2009, saat 11 orang
dijadikan tersangka, dituduh mencabut pohon pinus sebanyak 40.000
pohon. Tuduhan itu tidak masuk akal menurut saya, pohon itu-kan
ditanam tahun 2005, bibitnya saja lebih satu meter tingginya, tambah
pertumbuhannya sampai tahun 2009 maka dapat dibayangkan betapa
besarnya pohon pinus tersebut. Jumlahnya juga tidak masuk akal
karena 40 ribu pohon, berarti kami cabut pohon pinus yang diluar
kampung juga, dan lebih tidak masuk akal lagi karena semua tuduhan
kehutanan tersebut kami kerjakan hanya selama seminggu.
Pada tahun 2010, masyarakat adat Barambang Katute dikejutkan oleh
kedatangan segerombolan orang asing. Mereka membawa alat-alat
yang menurut masyarakat tidak kalah canggih dengan yang dipakai
orang-orang yang melakukan pemetaan hutan lindung beberapa tahun
lalu. Kedatangan rombongan itu menimbulkan desas-desus yang
berkembang di kampung. Mereka adalah peneliti. Konon akan dibuka
pertambangan emas di Kampung Katute. Masyarakat adat Barambang
Katute bertambah resah dan tidak ada satu pihak yang memberikan
jawaban pasti kepada masyarakat.
Pada tahun 2011, desas-desus tersebut mendapatkan titik terang
setelah masyarakat mengetahui bahwa ternyata izin eksplorasi
pertambangan yang dikuasakan kepada PT. Galena Sumber Energi dan
dikeluarkan pada bulan November 2008, kemudian diperpanjang pada
November 2010 dan berlaku sampai November 2013 (SK Bupati Sinjai
No: 402 Tahun 2010). Tidak ada proses sosialisasi sama sekali mengenai
kebijakan Bupati tersebut sehingga masyarakat tidak tahu bahwa
kampung tersebut telah diserahkan lagi oleh Pemerintah Daerah
(Bupati) kepada perusahaan pertambangan untuk dieksplorasi. Selain
tidak adanya proses-proses konsultasi yang mengarah pada persetujuan
(setuju atau tidak setuju) dari masyarakat, kehadiran investasi tambang
SULAWESI 497
ini juga membuat masyarakat Barambang Katute mencekam. Seperti
disampaikan oleh Puang Haseng yang menyatakan, “Orang-orang
dengan mata sipit dan kulit putih mendirikan tenda di tengah-tengah
kampung. Ada yang bilang bahwa mereka adalah orang-orang Korea,
tetapi ada juga yang bilang mereka orang China. Setiap hari mereka
dikawal tentara. Mereka bebas lalu lalang di dalam kampung, masuk ke
dalam kebun-kebun kami; menggali, mengambil tanah dan lainnya.
Mereka tidak pernah menganggap kami ada


INKUIRI NASIONAL KOMNAS HAM 2015

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--