Kasus penggusuran di Kentingan, Surakarta
JAWA TENGAH, KOTA SURAKARTA
Nomor Kejadian
:
1
Waktu Kejadian
:
01-02-2020
Konflik
:
Pendidikan
Status Konflik
:
Dalam ProsesMediasi
Sektor
:
Sarana Umum
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
1,5 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Kepolisian Resor Surakarta
- Pemerintah Kota Surakarta
- Warga Kentingan Baru
KONTEN
Warga Kentingan baru, Kelurahan Jebres, Surakarta telah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1999 dan menguasai objek tanah seluas 15.000 m2 . Sejak saat itu, tanah ini dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh mereka dan berlangsung secara turun temurun hingga sekarang. Tanah Kentingan Baru tempat orang-orang itu tinggal dianggap sebagai tanah sengketa. Tanah itu diakui oleh pihak swasta. Sejak tahun 2000-an, pihak swasta sudah berusaha untuk mengusir warga di Kentingan Baru. Warga kentingan baru setidaknya sudah 4 kali digusur dari rumahnya sejak tahun 2018 hingga 2020. atas kejadian ini, pada tahun 2020 warga pun mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada PTUN Semarang. Gugatan ini dilandasi atas tindakan Walikota Surakarta dan Kepala Kepolisian Resor Surakarta yang secara bersama-sama melakukan tindakan pengusiran dan/atau penggusuran rumah secara paksa dan merugikan warga kentingan baru. Namun hingga saat ini, tanah tersebut belum mendapatkan sertifikat tanah, padahal tanah tersebut telah ditinggali lama oleh nenek moyang mereka. Di daerah pedesaan apabila tanah sudah ditempati lama dan turun menurun, maka akan dibuatkan sertifikat tanah. Di desa biasanya disebut mutih atau pemutihan. Entah mengapa di Kentingan Baru ini tidak ada kegiatan mutih atau pemutihan yang dilakukan pemerintah. Meskipun pada realitanya, beberapa warga Kentingan Baru Sudah ada yang memiliki sertifikat tanah. Berarti dapat dipastikan ada sebagian tanah yang sudah legal dan sah dimiliki oleh warga Kentingan Baru.
dikategorikan sebagai “pelanggaran HAMâ€, bahkan dapat dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan†(crimes against humanity) yang merupakan bentuk “pelanggaran HAM berat†(gross human rights violation) jika memenuhi unsur unsur “serangan yang meluas†atau “sistematik†terhadap penduduk sipil (lihat UU No. 26/2000 pasal 9). Mengenai hal ini juga telah dinyatakan dalam Deklarasi Wina 1993 bahwa “praktik penggusuran paksa melibatkan pemindahan paksa orang-orang dari rumah atau tanah mereka, secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh Negara†dan di dalam Resolusi Komisi HAM PBB No. 77 Tahun 1993, paragraf 11, ditegaskan penggusuran dan atau pemindahan paksa adalah pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights). Instrumen HAM yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekosob terdapat dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional Hak ekonomi, sosial dan budaya. Undang-undang ini merupakan ratifikasi dari International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) yang mempertegas tanggung jawab Negara sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat menyediakan prasarana minimal. Prasarana yang dimaksud seperti pangan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang memungkinkan bagi setiap individu dalam satu wilayah. Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian maupun hukum kebiasaan. Dalam arti tanggung jawab negara sebagai “kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan†Pada rezim seperti saat ini, tidaklah relevan lagi dan tidak diperlukan lagi cara atau tindakan penggusuran dengan paksaan. Pemerintah dapat melakukan hal yang lebih solutif dengan menekankan pada partisipatif warga. Ketika penggusuran paksa tetap dijalankan maka telah terjadi kemiskinan struktural, yaitu struktur atau Negaralah yang sebenarnya membuat warga menjadi miskin. Dalam setiap pembuatan kebijakan, warga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Semakin banyak program Pemerintah yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan namun semakin banyak pula jumlah orang yang dimiskinkan akibat kemiskinan struktural ini
https://ibtimes.id/penggusuran-kentingan-baru-bukti-akademisi-lupa-tanggung-jawab-sosial/ , CATAHU 2021 LBH Yogyakarta
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
JAWA TENGAH, KOTA SURAKARTA
Nomor Kejadian | : | 1 |
Waktu Kejadian | : | 01-02-2020 |
Konflik | : | Pendidikan |
Status Konflik | : | Dalam ProsesMediasi |
Sektor | : | Sarana Umum |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 1,5 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Kepolisian Resor Surakarta
- Pemerintah Kota Surakarta
- Warga Kentingan Baru
KONTEN
Warga Kentingan baru, Kelurahan Jebres, Surakarta telah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1999 dan menguasai objek tanah seluas 15.000 m2 . Sejak saat itu, tanah ini dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh mereka dan berlangsung secara turun temurun hingga sekarang. Tanah Kentingan Baru tempat orang-orang itu tinggal dianggap sebagai tanah sengketa. Tanah itu diakui oleh pihak swasta. Sejak tahun 2000-an, pihak swasta sudah berusaha untuk mengusir warga di Kentingan Baru. Warga kentingan baru setidaknya sudah 4 kali digusur dari rumahnya sejak tahun 2018 hingga 2020. atas kejadian ini, pada tahun 2020 warga pun mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada PTUN Semarang. Gugatan ini dilandasi atas tindakan Walikota Surakarta dan Kepala Kepolisian Resor Surakarta yang secara bersama-sama melakukan tindakan pengusiran dan/atau penggusuran rumah secara paksa dan merugikan warga kentingan baru. Namun hingga saat ini, tanah tersebut belum mendapatkan sertifikat tanah, padahal tanah tersebut telah ditinggali lama oleh nenek moyang mereka. Di daerah pedesaan apabila tanah sudah ditempati lama dan turun menurun, maka akan dibuatkan sertifikat tanah. Di desa biasanya disebut mutih atau pemutihan. Entah mengapa di Kentingan Baru ini tidak ada kegiatan mutih atau pemutihan yang dilakukan pemerintah. Meskipun pada realitanya, beberapa warga Kentingan Baru Sudah ada yang memiliki sertifikat tanah. Berarti dapat dipastikan ada sebagian tanah yang sudah legal dan sah dimiliki oleh warga Kentingan Baru.
dikategorikan sebagai “pelanggaran HAMâ€, bahkan dapat dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan†(crimes against humanity) yang merupakan bentuk “pelanggaran HAM berat†(gross human rights violation) jika memenuhi unsur unsur “serangan yang meluas†atau “sistematik†terhadap penduduk sipil (lihat UU No. 26/2000 pasal 9). Mengenai hal ini juga telah dinyatakan dalam Deklarasi Wina 1993 bahwa “praktik penggusuran paksa melibatkan pemindahan paksa orang-orang dari rumah atau tanah mereka, secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh Negara†dan di dalam Resolusi Komisi HAM PBB No. 77 Tahun 1993, paragraf 11, ditegaskan penggusuran dan atau pemindahan paksa adalah pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights). Instrumen HAM yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekosob terdapat dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional Hak ekonomi, sosial dan budaya. Undang-undang ini merupakan ratifikasi dari International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) yang mempertegas tanggung jawab Negara sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat menyediakan prasarana minimal. Prasarana yang dimaksud seperti pangan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang memungkinkan bagi setiap individu dalam satu wilayah. Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian maupun hukum kebiasaan. Dalam arti tanggung jawab negara sebagai “kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan†Pada rezim seperti saat ini, tidaklah relevan lagi dan tidak diperlukan lagi cara atau tindakan penggusuran dengan paksaan. Pemerintah dapat melakukan hal yang lebih solutif dengan menekankan pada partisipatif warga. Ketika penggusuran paksa tetap dijalankan maka telah terjadi kemiskinan struktural, yaitu struktur atau Negaralah yang sebenarnya membuat warga menjadi miskin. Dalam setiap pembuatan kebijakan, warga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Semakin banyak program Pemerintah yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan namun semakin banyak pula jumlah orang yang dimiskinkan akibat kemiskinan struktural ini
https://ibtimes.id/penggusuran-kentingan-baru-bukti-akademisi-lupa-tanggung-jawab-sosial/ , CATAHU 2021 LBH Yogyakarta
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |