DATA DETIL
Sengketa Lahan di Perkebunan Badega

 JAWA BARAT, KAB. GARUT

Nomor Kejadian :  005ARC
Waktu Kejadian :  03-07-1986
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  498.416,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  1.200 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Camat Cikajang Tahun 1985
  • Kementrian Dalam Negeri Tahun 1986
  • Polri
  • PT Surya Andaka Mustika (SAM)
  • Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kecamatan Cikajang

KONTEN

Tanah Badega merupakan sebuah lahan perkebunan seluas 498,416 ha yang berada di dua kecamatan berbeda: Desa Cipangramatan dan Desa Tanjungjaya, Kecamatan Cikajang, serta Desa Bojong dan Desa Jayabakti, Kecamatan Banjarwangi (Rianto dalam Suryana 2017: 10). Pada masa pemerintahan kolonial, NV Cultuur Mij Tjikarene memiliki hak erfpacht tanah Badega. Namun, setelah tanah tersebut dikuasai oleh Jepang pada tahun 1943, NV Culttur Mij Tjikarene meninggalkan tanah tersebut, sehingga perkebunannya tidak terurus dan buruh-buruhnya memanfaatkan lahan tersebut untuk dijadikan pemukiman, perkebunan palawija, sayur-mayur, buah-buahan, dan persawahan (Bachriadi, 2002: 34).

Dalam beberapa tulisan (seperi dalam Bachriadi, 2002: 34), Perkebunan Badega menjadi salah satu objek yang dinasionalisasi pemerintah. Namun dalam penelusuran peraturan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, tidak ditemukan nama NV Cultuur Mij Tjikarene karena dianggap telah melakukan pelanggaran hukum (pelanggaran lintas devisa). Kemudian, 14 Februari 1972, tanah Badega dialihkan penguasaannya kepada PT Sintrin. Perusahaan itu mendapat sertifikat HGU No. 6, 7, 8, dan 9, melalui lelang yang dilakukan oleh negara di Bandung (Suryana, 2017: 10).

Selama dikuasai oleh PT Sintrin, perkebunan Badega tidak dikelola dengan optimal. Sehingga tanah Badega masih dapat digolongkan sebagai tanah terlantar, dan masih digarap oleh petani penggarap sebelumnya. Kemudian, pada 1980 masa kelola (HGU) PT Sintrin telah habis dan kembali dikuasai oleh negara. Muncul surat pernyataan yang ditandatangani oleh 312 petani, serta Camat Cijakang dan Kepala Desa yang menyatakan bahwa para petani bersedia menyerahkan tanah Perkebunan Badega sampai akhir Juni 1985. Surat ini adalah surat palsu yang dibuat oleh kelompok suruhan Camat Cikajang yang hendak memberikan tanah tersebut kepada calon investor baru, yaitu PT SAM (Bachriadi, 2002: 34). Pada titik ini, para petani penggarap menyadari ancaman bahwa mereka akan kehilangan hak garap atas tanah yang sudah dikerjakan selama 40 tahun (Bachriadi, 2002: 34). Inilah awal mula konflik terjadi.

Pada 3 Juli 1986, tanpa pemberitahuan, Mendagri menerbitkan Surat Keputusan (SK) No. 33/HGU/DA/1986 kepada PT SAM yang berakhir pada 1 September 2011 (Suryana, 2017: 12). Sejak saat itu, PT SAM bersama dengan aparat dan organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tingkat kecamatan melakukan berbagai ancaman dan teror untuk mengusir petani keluar dari tanah garapan, termasuk dari pemukiman yang berada di areal HGU PT SAM (Bachriadi, 2002: 35). Kondisi mendesak ini menimbulkan perlawanan yang dilakukan oleh petani penggarap yang juga turut bekerja sama dengan sejumlah aktivis mahasiswa, NGO, terutama LBH Bandung sebagai kuasa hukum para petani penggarap.

Sejumlah petani melawan dengan cara menduduki lahan atau tetap menggarap lahan di Perkebunan Badega. Pendudukan ini menyebabkan tujuh petani ditahan oleh kepolisian (dan bertambah menjadi 13 orang petani), dengan dakwaan melakukan tindakan kriminal, merusak patok perkebunan dan melakukan penghasutan untuk berbuat keonaran (Bachriadi, 2002: 36). Pemberitaan kasus yang meluas pun mengakibatkan pembelaan juga datang dari dunia internasional kepada kelompok petani penggarap Badega. Sampai akhirnya, para penggarap berhasil merebut kembali tanah yang sudah digarap selama 40 tahun meskipun PT SAM masih memegang HGU. PT SAM pun tidak pernah lagi mengusik para petani semenjak itu (Bachriadi, 2002: 36).


Bachriadi, D. 2002. Warisan Kolonial Yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat. In Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Lounela, A. & Zakaria, R. Y. (Eds.). Yogyakarta: Insist Press; Suryana, E. 2017. Sertifikasi Lahan Pendudukan: Praktik Reforma Agraria Jokowi di Garut Selatan, Jawa Barat. Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Volume 1, Nomor 15. Bandung: ARC.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--