DATA DETIL
Konflik Agraria Masyarakat Horjokuncuran VS TNI

 JAWA TIMUR, KAB. MALANG

Nomor Kejadian :  30_IM
Waktu Kejadian :  28-12-1976
Konflik :  Perkebunan Karet
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pmerintah Kabupaten Malang
  • Kodam V Brawijaya
  • Perkebunan Telogorejo
  • Masyrakat Harjokuncaran

KONTEN

Tanah Desa Harjokuncaran berdasarkan SK DJA Nomor 190/Dja/1981 tanggal 1 Desember tahun 1981, menetapkan tanah verponding No 926, 752, 708, 7311,1290 dan 1311 sudah ditetapkan tanah yang Obyek Landerform. Berdasarkan SK tersebut tanah seharusnya didistribusikan kepada 2.525 KK kepada petani yang berada di Desa Harjokuncaran. Namun,pada 16 Januari 1970, ada Musyawarah Batu yang dihadiri oleh Muspika Kabupaten Malang, Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Timur selaku ketua pertimbangan perkebunan, sekertaris Landreform tingkat I Jawa Timur, Muspika Kabupaten Malang, pengawasan pendaftaran tanah kabupaten Malang, pembantu Bupati KDH tingkat II kabupaten Malang dari Turen, Tri Tunggal kecamatan Sumbermanjing Wetan, Direksi Dwikora kesatuan VII dari Surabaya serta Administrator perkebunan Telogorojo tanpa kehadiran warga desa Harjokuncaran maupun kepala desa. Inti dari musyawarah tersebut bahwa tanah perkebunan yang menjadi ladang pertanian dan tempat tinggal penduduk harus kembali dalam kekuasaan perkebunan.

Penduduk Horjokucuran awalnya merupakan tenaga buruh kasar yang dipekerjakan di perkebunan Telogorejo yang luasanya mencapai 3.630,083 Ha dan semula diusahakan oleh NV Toeren Estate Ltd. NV Goenoengsari, Pangloeroean Estate Ltd dan NV Cultur Maatschappij Soemberrnas Kalipadang (Klakah Baru). Lahan tersebut merupakan tanah hasil babatan rakyat yang meliputi wilayah Harjokuncaran seluas 1.640.126 Ha, Gunungsari seluas 1.408.612 Ha dan Sumbenrnas seluas 581.300 Ha. Setelah kemerdekaan tahun 1945 lahan tersebut dibabat kembali oleh warga Harjokucuran dengan mengubah tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan. Upaya ageresi militer Belanda ke II tahun 1947 bersamaan dengan itu ada upaya Belanda untuk menguasai perkebunan kembali dan Pimpinan perang Jawa Timur ( Moh Jasin dan Nailun) memerintahkan agar semua bangunan dihancurkan serta tanaman komodiatas perkebunan perusahaan (karet) di tebang habis. Sebagai langkah untuk menghambat kedatangan tentara Belanda.


Dan ditahun yang sama tahun 1947 terbentuklah desa Horjokuncuran yang diambil dari nama tokoh pejuang yang anti terhadap kolonilisme belanda yaitu Bapak Harjo Kuncoro, dan kepala desa pertamanya adalah bapak Notodiharjo. Dan wilayah desa terdiri dari 4 pedukuhan seperti Dukuh Wonosari, Dukuh Margomulyo, Dukuh Banaran dan Dukuh Tegalrejo/Sumberpelung. Sehingga sejak saat saat ini warga Harjokuncuran menggarap tanah bekas perkebunan CO Telogo tersebut seluas 1.188,526 Ha dengan ditanami tanaman pangan secara keseluruhan yang kemudian hasil panen disumbangkan pada gerilyawan, dan sisinya yang tidak digarap seluas 451.600 Ha yang kemudian digarap oleh perusahaan perkebunan yang berasal dari Inggris.


Pada 18 Maret 1959, bertempat di dukuh Wonosari (dan masih kuat dipegang teguh oleh warga Harjokuncuran) ada kesepakatan batas wilayah kelola antar pihak perkebunan dengan pemilik tanah garapan berdasarkan peraturan CMK pada 25 Oktober 1949 No. X dengan perlindungan Undang - Undang Darurat No. 8 tahun 1945 yang mengarahkan pihak perkebunan yang telah mengelola lahan seluas 451.600 Ha dilarang menjarah tanah rakyat yang telah digarap seluas 1188,526 Ha, sedangkan rakyat juga dilarang menjarah lahan yang telah dikelola pihak perkebunan dan masing - masing terhenti sampai batas patok yang sudah ditentukan.


Kemudian perkebunan tersebut dikuasai oleh PP Dwikora VII sedangkan pada tahun 1967, petani penggarap lahan di Desa Harjokuncuran dikenakan kewajiban membayar Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). dan tiga tahun kemudian tepatnya pada 16 Januari 1970 munculah “Keputusan Musyawarah Batu” yaitu penyerahan kembali lahan yang digarap warga pada perkebunan dan ini yang menjadi dasar konflik dikemudian hari.


Penguasaan lahan perkebunan pada 1973 sampai 1975 dikuasai Kodam VII Brawijaya (Sekarang Kodam V Brawijaya). pada 30 Mei 1975 ada penyearahan tanah di daerah Wonosari 100 Kavling kepada pensiunan Pati/Pamen Dam V/Brawijaya berdasarkan SK Pangdam No. Skep/ 110-3/V/75. selain itu pengelolahan perkebunan Telogorejo berdasarkan SK Pangdam V/Brawijaya No Skep/236/XII/75 pada 21 desember 1975 diserahkan pengelolahnya pada PT. Telogorejo Baru dan luas areal dikurangi 260 Ha untuk dibagikan kepada Pensiunan Pati/Pamen Dam V Brawijaya.


Saat tahun 1976 terjadi penggusuran paksa atas rumah dan tanah masyarakat oleh pihak perkebunan Kodam V Brawijaya tanpa ada ongkos ganti rugi, dari sinilah diketahui bahwa Keputusan Musyawarah Batu pada 16 Januari 1970, bahwa inti dari hasil musyawarah yang tidak melibatkan masyrakat, bahwa tanah perkebunan yang menjadi ladang pertanian dan tempat tinggal masyrakat dikembalikan dalam kekuasaan perkebunan, dan penduduk hanya disediakan lahan seluas 790 Ha hanya untuk memepertahankan eksetensi Desa.

Tanah Yang diambil oleh pihak perkebunan Kodam V Brawijaya / Yayasan Bhirwa Anoraga seluas 850,126 Ha, meliputi; tanah bekas PP Dwikora VII seluas 451.600 HA dan mencaplok tanah rakyat 398.526 Ha


Atas perjuangan keras petani, tepatnya pada tanggal 16 Juni 1983 Bupati memberi lahan tambahan garapan kepada masyarakat seluas 26,5 Ha yang diambilkan dari tanah yang dikuasi Perkebunan, dan pada tahun 1987 tanah penduduk yang terletak di bekas hak Erft No 708,752, 926,1290 dan 1311 mendapatkan hak milik dalam bentuk sertifikat namun dalam perkembngannya tanah tersebut turut diajukan permohonan HGU oleh Yayasan Bhirawa Anorga Dam V/Brawijaya.


Pada tanggal 17 Maret 1999, pengarahan Danrem 083/Balahika Jaya bertempat di lokasi perkebunan, berdasarkan pengarahan tersebut bberpa point penting yang disampikn antara lain: (1) Yayasan Bhirawa Anoraga Dam V/Brawijaya mengakui bahwa sejak tahun 1942 tanah perkebunan ini telah digarab oleh rakyat (2) Tahun 1964 – 1972 PP Telogorejo digarap oleh PP Dwikora VII dengan luas 451,5 Ha, (3) Tahun 1966 penduduk desa Harjokuncaran telah dikenakan IPEDA ( Iuran Pembangunan Daerah). (4) Tanha perkebunan yang diajukan permohonan HGU termaksud tanah untuk Pati/Pamen dan perkampungan penduduk yang sudah berstrifikat hak milik dan terdapat terdapat hak Erphacta Verponding No 1289 tidak dibayar 26 tahun.


Pada agustus 2012, Komnasham RI melakukan penyelidikan atas konflik yang terjadi, dan pada 8 agusutus 2016, Pemerintah Kabupaten Malang, menjadikan konflik di Harjokuncran salah satu konflik untuk dijadikan skala prioritas penyelesaiannya diantara 21 konflik yang ada di Kabupaten malang dan Sejak awal, kasus tersebut sudah mengorbankan enam orang hilang yang hingga kini tak jelas keberadaannya.


Karnaji , 2003, Konflik Tanah Perkebunan di Malang Selatan, Unair Surabaya (Jurnal Masyrakat Kebudayaan dan Politik) dan https://www.malangtimes.com/baca/14119/20160830/073414/21-kasus-sengketa-lahan-di-kabupaten-malang-jadi-prioritas-penanganan-isi/ dan https://internasional.kompas.com/read/2012/08/03/17075446/komnas.ham.selidiki.konflik.agraria.di.harjokuncaran.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--