DATA DETIL
Kasus Tanah Ulayat Nagari Mungo, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

 SUMATERA BARAT, KAB. LIMA PULUH KOTA

Nomor Kejadian :  006ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1979
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  Pangan dan Sarana Militer
Luas  :  250,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Departemen Pertanian
  • Pemerintah Jerman Barat
  • Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
  • POLRI
  • BPT-HPT (Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak)
  • Sekolah Pertanian Pembangunan
  • Den Zipur
  • Sungai Kamunyang

KONTEN

Tanah ulayat Nagari Mungo berada di kaki bukit utara bagian Gunung Sago, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Setelah UU Desa tahun 1979 berlaku, tanah ulayat Nagari Mungo yang semula terdiri dari sepuluh desa, digabung menjadi dalam satu wilayah yang disebut Nagari Mungo. Nagari Mungo sendiri terletak di antara tiga kenagarian: Nagari Sungai Kamuyang, Nagari Andaleh, dan Nagari Bukit Sikumpar.

Tanah ulayat seluas 800 ha itu adalah tanah yang subur dan kondisi permukaannya tidak terlalu curam. Dahulu, di atas tanah ulayat itu, pada musim kemarau, masyarakat setempat menanam palawija, seperti cabai, ubi, jagung, padi larang, dan lain sebagainya. sedangkan pada musim penghujan, mereka menanam padi. Sebelum tahun 1965, masyarakat juga menanam tembakau sebagai tanaman komoditas.

Sejak tahun 1918, tanah ulayat disewakan oleh pemangku adat Nagari Mungo kepada perusahaan dari Belanda WT Simon untuk memelihara kuda dan sapi, selama 75 tahun, seluas 316 ha. Kemudian Pemerintahan Belanda pun mengeluarkan akta hak erfpacht kepada WT Simon. 1950, Bupati Limapuluh Kota menggunakan 36 ha tanah ulayat untuk kebun sayur. 1974, Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPT-HPT), lembaga yang berada di bawah Departemen Pertanian, mengambil 250 ha tanah ulayat untuk peternakan yang dibantu Pemerintah (atau perusahaan dari?) Jerman Barat, untuk konsumsi domestik dan ekspor ke negara-negara ASEAN.

Gejolak konflik mulai muncul ketika BPT-HPT mendapat sertifikat tanah Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1979. BPT-HPT menduduki 80% tanah ulayat Mungo dan 20% tanah ulayat empat nagari lainnya. Lalu, Pemda Limapuluh Kota mendirikan SNAKMA, sekolah pertanian pembangunan, di atas tanah ulayat seluas 7 ha, dan Den Zipur di atas tanah seluas 5 ha. Saat bangunan dua instansi itu dibangun, masyarakat tidak mendapatkan kompensasi apapun. Warga protes dan meminta sertifikat itu dikembalikan. Kemudian Pemda Limapuluh Kota membentuk panitia untuk menyelesaikan masalah itu. Panitia itu terdiri dari Ninik Mamak (pemimpin adat), perwakilan KAN, intelektual, dan pemuda. Pada 1983, panitia mengumumkan bahwa pemerintah harus membayar Rp2.500/ m2. Pemerintah tidak pernah membayar sepeser pun.

Konfrontasi antara Nagari Mungo dan masyarakat Sungai Kamunyang, nagari tetangga, juga menjadi latar konflik ini. Selain karena kemudian BPT-HPT banyak mempekerjakan masyarakat Sungai Kamunyang, juga karena Sungai Batam Pinago dimonopoli Sungai Kamunyang dan BPT-HPT. Januari 2001, masyarakat Sungai Kamunyang menghancurkan bendungan sungai yang dibuat untuk warga Nagari Mungo. Akibatnya, warga Mungo mengalami krisis ari untuk minum dan irigasi.

1 Februari 2001, sekitar 500 orang masyarakat Mungo melakukan demonstrasi di depan BPT-HPT . Demonstrasi itu direspons dengan tindakan represif aparat keamanan. Keesokan harinya, orang-orang Mungo melhat pekerja BPT-HPT dan aparat kepolisian merusak pagar pemisah peternakan BPT-HPT dengan ladang masyarakat. Lalu ratusan sapi digiring ke ladang warga yang ketika itu ditanami palawija siap panen. Warga Mungo mendatangi BPT-HPT untuk mempertanyakan kejadian tersebut. Tapi tiba-tiba semua listrik mati dan sebagian besar pondok di ladang warga dibakar dan dihancurkan.

3 Februari 2001, 32 warga setempat dikejar aparat kepolisian. Para pemuda dan laki-laki lainnya melarikan diri dan sembunyi. Delapan belas dari 32 orang yang dikejar itu ditangkap dan dipenjarakan dengan waktu yang berbeda-beda. Tapi, semuanya dianggap sebagai provokator aksi 1 Februari. Pada masa-masa itu juga, warga kehilangan ayam, sapi, dan kambing, yang mereka ternak. Dengan demikian, mereka pun kehilangan sumber daya ekonomi penting mereka.
Sejak awal Februari 2000, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau mengeluarkan surat yang mengatakan bahwa kasus Mungo harus diselesaikan secara bijak. Masyarakat Mungo juga telah berkonsultasi dengan LBH Padang. Kepala Jorong Indo Baleh Barat berani menuntut BPT-HPT untuk memberi kompensasi untuk kerugian masyarakat dan dirinya yang dipenjara selama enam bulan akibat peristiwa 11 Februari. Wali Nagari Tetap mendukung diadakan pengadilan atas apa yang terjadi terhadap kepala jorong. Masyarakat Mungo juga menuntut untuk mendapatkan kompensasi atas teror dan kekerasan pada peradilan adat.

Masyarakat mengalami kendala karena surat perjanjian dari masa kolonial telah terbakar pada saat pecah pemberontakan PRRI. Selain itu, perjuangan mereka terhambat empat nagari di sekitarnya, yang 50 ha tanah ulayatnya dijadikan peternakan BPT-HPT, dipaksa mendukung BPT-HPT dan termakan propaganda bahwa tanah yang diperjuangkan Mungo bukanlah tanah ulayat, melainkan tanah negara. Wali Nagari juga mendukung secara terbuka perjuangan Mungo dengan menekan semua perangkat adat Mungo seperti Ninik-Mamak, pemuda, Bundokandung, ulama, cerdik pandai dan sebagainya agar ikut mendukung. Segera setelah nagari dipersatukan di bawah kebijakan Otonomi Daerah, semua perangkat nagari di Mungo berada dalam posisi mendukung tuntutan hak atas tanah (Nakashima Narihisa, 2002).

Mei 2006, sekitar seratus warga Mungo melakukan unjuk rasa selama berhari-hari di depan Kantor Wali Nagari Mungo. Mereka menuntut hak atas tanah ulayat seluas 100 ha yang diklaim BPT-HPT. Itu karena pada Januari 2006, tanah yang mereka tempati dieksekusi paksa sehingga masyarakat Mungo tidak punya tempat tinggal lagi ("Warga Mungo Tetap Menuntut Hak Tanah Ulayat", 14 Mei 2006, Liputan6.com).


ARC

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--