DATA DETIL
Sengketa Lahan PDP Jember dengan Masyarakat Ketajek

 JAWA TIMUR, KAB. JEMBER

Nomor Kejadian :  013ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1952
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  478,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  803 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Desa Suci
  • Pemerintah Desa Pakis
  • Menteri Pertanian dan Agraria
  • Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur
  • Yayasan Dana Landreform
  • Bank Bumi Daya (BBD)
  • Kabupaten Jember
  • DPRD Kaabupaten Jember
  • Perkebunan Ketajek
  • Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember
  • Persatuan Petani Indonesia (PETANI)
  • Partai Nasional Indonesia (PNI)
  • Tan Tiong Bek (Ahli Waris Perkebunan Ketajek Eks Hak Erfpacht)

KONTEN

Sengketa lahan di Perkebunan Ketajek berada di dua desa, yaitu Desa Pakis dan Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember. Secara geografis kedua desa ini berada di wilayah yang memiliki tanah subur karena berdampingan langsung dengan gunung vulkanik, Argopuro. Dengan kondisi tersebut, wilayah yang berada di dataran tinggi ini sangat mendukung baik untuk pertanian, maupun perkebunan. Pada masa kolonial Belanda, lahan Ketajek merupakan lahan yang berdiri di ata alas hak erfpacht Verponding No. 2712 seluas 125,73 Ha dan verponding No. 2713 dengan luas 352,14 Ha, yang bila dijumlahkan seluas 477,87 Ha atas kepemilikan Landbouw Maatschppij Oud Djember (LMOD) yang dimiliki seorang asing bernama George Bernie untuk ditanami tanaman kopi dan kakao.

Hak Erfpacht tersebut seharusnya berakhir pada tahun 1967, akan tetapi pihak pemegang hak, yaitu LMOD, menelantrakan perkebunan tersebut hingga tak terurus pada tahun 1930 akibat dari tidak stabilnya pasar dan krisis ekonomi global sehingga tidak mampu lagi berproduksi. Lahan yang telah dibuka dan dibabat oleh masyarakat untuk kepentingan perusahaan pada awal mula LMOD berdiri lambat laun kembali menjadi hutan. Kemudian pada tahun 1942, sebagian masyarakat eks buruh Perkebunan Ketajek kembali menggarap lahan yang ditelantarkan tersebut yang juga diikuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Pakis dan Desa Suci dengan tanaman palawija untuk memenehi kebutuhan pangan mereka sehari-hari (subsisten). Selain palawija, banyak juga di antaranya yang menanam tanaman keras seperti kopi, kelapa dan pelbagai macam jenis buah-buahan lainnya. Di atas sebagian lahan perkebenun Ketajek itu pula di bangun sarana umum, seperti perkampungan untuk masyarakat.

Paska kemerdekaan, pada tahun 1949, hak erfpacht yang dimiliki oleh Ketajek akhirnya dipindahtangankan kepada konglomerat keturunan Tionghoa bernama Tan Tiong Bek. Tan Tiong Bek berencana untuk menghidupkan kembali lahan yang telah ditelantarkan (yang telah menjadi hutan) menjadi perushaan perkebenun Ketajek dan mengadakan berbagai perjanjian dengan masyarakat Desa Pakis dan Desa Suci yang di antaranya, pembabatan lahan hutan akan diupah Rp400,-/ 0,5 Ha lahan, upah Rp10,- untuk sebatang pohon kopi, bantuan pembuatan rumah besar Rp80,- dan Rp60,- untuk ukuran rumah sedang.

Akibat bangkrutnya Perkebunan Ketajek yang dikelola oleh Tan Tiong Bek sehingga tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut dan masyarakat ditelantarkan tanpa pernah dibayar. Namun, karena secara de facto masyarakat masih menguasai lahan perkebunan maka masyarakat tetap melakukan aktivitas penggarapan lahan secara intensif. Hingga tahun 1952, Tan Tiong Bek yang merasa masih memiliki hak atas lahan perkebunan tersebut memerintahkan masyarakat untuk menanam randu. Masyarakat yang merasa telah ditipu karena belum pernah menerima upah dari perjanjian sebelumnya menolak perintah Tan Tiong Bek. Alih-alih memenuhi janji kepada masyarakat, Tan Tong Bek justru mendatangkan tenaga kerja dari luar untuk menanam randu sesuai dengan yang diinginkannya.

Hal tersebut memunculkan amarah masyarakat sehingga membawa kasus sengketa tersebut kepada Kepala Desa Suci dengan hasil bahwa Tan Tiong Bek bersedia menyerahkan lahan tersebut kepada masyarkat. Meskipun demikian, masyarakat Ketajek merasa masih perlu mendapat kepastian hak penguasaan dan hak kepemilikan lahan yang digarapnya. Maka pada tahun 1957 meminta bantuan Persatuan Petani Indonesia (PETANI) yang merupakan afiliasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk mengupayakan status hukum atas lahan seluas 478 Ha. Upaya yang dilakukan tersebut menghasilkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian dan Agraria No. 50/ka/64 dan SK Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur No. 1/Agr/6/XI/122/III yang inti dari kedua SK tersebut menyatakan bahwa lahan perkebunan Ketajek adalah lahan terlantar dan merupakan lahan objek landreform yang akan diredistirbusikan kepada 803 Kepala Keluarga (KK) dengan ketentuan membayar kepada pemerintah dan Yayasan Dana Landreform melalui Bank Bumi Daya (BBD) Jember sebesar Rp2,-/m2 lahan garapan. Proses pembayaran tersebut berlangsung hingga tahun 1969. Selain itu, masyarakat pun menerima Petok D kepada 310 KK yang bermukim di Desa Pakis dan Desa Suci.

Sebelum penyerahan Petok D selesai, pada tahun 1972, Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember mengajukan HGU kepada Departemen Dalam Negeri untuk lahan seluas 477,78 Ha di garapan masyarakat Ketajek Desa Pakis dan Desa Suci. Pelbagai intimidasi dilakukan untuk memaksa masyarakat menyerahkan lahan garapan dan diharuskan menerima ganti rugi, serta memaksa warga untuk bekerja sebagai buruh PDP Jember, serta menyerahkan Petok D yang merupakan bentuk legitimasi kepemilikan lahan masyarakt kepada PDP Jember. Tentu, masyarakat menolak. Namun, Bupati justru memfasilitasi secara legal hukum bahwa lahan telah dialihkan kepada PDP Jember. Dengan bantuan aparat kepolisian, PDP Jember secara represif merampas lahan garapan masyarakat. Sekitar 225 orang masyarkat Ketajek pun melakukan aksi penolakan dengan menandatangani surat pernyataan keberatan atas pengambilalihan lahan oleh PDP Jember. PDP Jember yang semakin represif melakukan tuduhan komunis, penyiksaan, penculikan, teror, dan pembakaran rumah masyarkat Ketajek. Kondisi tersebut membuat masyarakat takut dan mengakibatkan kondisi sosial ekonomi terpuruk. Intimidasi dan tindakan represif terus berlanjut hingga tahun 1975.

Pada tahun 1998 menjadi babak baru bagi perjuangan masyarakat Ketajek untuk mereklaim lahan garapan mereka yang dirampas oleh PDP Jember. Puncaknya terjadi pada Rabu, 21 April 1999 terjadi penyerangan terhadap warga Ketajek oleh pihak PDP Jember yang dibantu oleh Polres Jember. Dalam penyerangan tersebut jatuh korban 1 orang tewas ditembak peluru panas, 11 orang luka parah dan 98 orang ditangkap dan ditahan di Polres Jember. Hingga saat ini konflik lahan antara PDP Ketajek dengan 803 KK yang secara legal formal telah memilik hak kuasa atas lahan lebih dulu masih belum terselelsaikan.

Menurut koran berita Tempo yang terbit pada tahun 2013, masyarakat Ketajek yang terdiri dari masyarakat Desa Pakis dan Desa Suci, melalui proses yang sangat panjang, pada akhirnya di sidang paripurna DPRD Jember menyatakan untuk menyetujui kebijakan Bupati Jember untuk menyerahkan lahan seluas 477,8 Ha kepada masyarakat pada 31 Desember 2013. Meskipun demikian, dari 803 KK yang menjadi korban dirampasnya lahan oleh PDP Jember, berdasarkan sidang paripurna tersebut hanya 668 KK yang berhak menerima redistribusi eks lahan PDP Jember. Angka tersebut berdasarkan dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember.


Tri Chandra Aprianto. 2009. Manakala Konflik Berkepanjangan Harus Diselesaikan: Kasus Konflik Perkebunan Ketajek, Jember. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 13, No. 1: Jember; Tempo.co. 2013. https://nasional.tempo.co/read/541331/sengketa-13-tahun-warga-ketajek-dapatkan-tanahnya. Diakses pada 14 Meo 2018.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--