DATA DETIL
Konflik Masyarakat Adat Bius Hutaginjang dengan KLHK

 SUMATERA UTARA, KAB. TAPANULI UTARA

Nomor Kejadian :  IM_30
Waktu Kejadian :  15-12-1972
Konflik :  Hutan Lindung
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Hutan Lindung
Sektor Lain  :  
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Dinas Kehutanan Tapanuli Utara
  • Masyarakat Adat Bius Hutaginjang

KONTEN

Wilayah Adat Bius Hutaginjang. Dalam perjalananya wilayah adat Bius Huta Ginjang bergabung dengan wilayah adat Bius Tapian Nauli menjadi Desa Hutaginjang dimana Wilayah Bius Huta Ginjang masuk dalam Dusun II dan Dusun III di Desa Hutaginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Namun, saat ini wilayah adatnya diklaim secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK mengklaim secara sepihak menjadi Kawasan Hutan Lindung.

Untuk menelusuri kronologis kasus ini dapat diawali saat pemerintahahan kolonialisme Belanda. Pada Tahun 1880 Belanda membentuk pemerintahan Aritonang Julu yang meliputi Bius Aritonang, Bius Sitanggor, Bius Buntu Raja, Bius Tapian Nauli dan Bius Dolok Martumbur yang berpusat di HUtaginjang yang saat itu bernama De Jaihoetan 1880-1883 yang dipimpin oleh Raja Mangatas Oppu Inggung Rajagukguk dan pada Tahun 1933 hinnga Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1950 pemerintahan dipangku oleh Kepala Nagari yang meliputi Desa Aritonang, Sitanggor Bunturaja, Dolok Martumbur, Tapian Nauli, Silando yang berpusat di Hutaginjang. Saat itu dipimpin oleh Sutan Herman Ompusunggu setelah itu pada tahun 1950-1953 dipimpin oleh Pemangku Dewan dipimpin oleh Jauhum Rajagukguk dan kepemimpinan berikutnya pada tahun 1953-1963 dipimpin oleh Dewan Negeri dipimpin oleh Mateus Simaremare. Walaupun dalam masa penjajahan, fungsi ke empat marga yakni Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare dan Siregar tetap berfungsi untuk menjalankan kehidupan sosial di Huta Ginjang. Keempat marga ini berperan menjadi kepala kampung.

Konflik mulai timbul pada tahun 1962 Dinas Kehutanan menemui Masyarakat dan natuatua huta sitolubus yakni Huta ginjang, Bius Silando dan Bius Tapian Nauli. Dinas Kehutanan melakukan pinjam pakai tanah untuk menanam pinus dengan jangka waktu satu kali panen (25 tahun) yang meliputi, Aek Siduadua (Hutaginjang dan Tapian Nauli) dan Siarsamarsam di Silando. Namun hingga kini tanah itu tidak pernah dikembalikan oleh Kehutanan.

Terjadinya konfrontasi secara terbuka saat Dolok Silom (sekitar 50 Ha) pada tahun 1972 diserahkan oleh Kepala Hampung Arnatus Opu Sunggu kepada Dinas Kehutanan untuk penghijauan, yang akhirnya memicu konflik dari Siregar-Simaremare karena Dolok Silom merupakan wilayah adat dua marga tersebut. Delapan tahun kemudian tepatnya pada tahun 1980-an, terjadi penebangan hutan alam besar-besaran oleh pengusaha kayu tanpa seizin masyarakat adat dan dua tahun berikutnya pada 1982 hingga 1985, terjadi penanaman kayu pinus di Dolok Silom oleh Dinas Kehutanan Tapanuli Utara.

Selain itu pada tahun 2006, kehutanan memprogramkan Gerhan dan Muspida di Tarutung meminta masyarakat menanam pohon untuk jangka waktu 15 tahun. Masyarakat menanam pinus dengan upah borongan untuk penanaman dan perawatan. Saat itu masyarakat mempertanyakan status hutan itu milik siapa, pemerintah mengatakan itu tetap menjadi milik negara. Disisi lain, pada tahun 2006 adanya Program Go Green Kodim 01/Tapanuli Utara dimana dengan adanya program tesebut tentara melakukan penanaman pinus di areal pemukiman, ladang dan bekas persawahan. Masyarakat yang keberatan melarang penanaman tersebut, namun tidak berani mencabut tanaman itu. Dan ditahun yang sama juga ada program di Balai DAS Asahan Barumun TNI dengan melakukan penanaman pohon buah di Hutaginjang dan Sitanggor seluar 86 Ha. Bahkan mereka menanam hingga ke belakang rumah masyarakat.

Perjuangan masyarakat untuk memastikan hak atas wilayah adatnya setelah mengetahui bahwa sebagian besar Hutaginjang masuk dalam Kawasan Hutan. Pada tahun 2016 masyarakat mengundang Dinas Kehutaan untuk mengklarifikasi isu tersebut, yang kemudian dipertegas oleh Dinas Kehutanan bahwa Hutaginjang masuk dalam Kawasan Hutan Lindung. Dan di tahun 2017 masyarakat menghentikan pembuatan patok batas yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Tapanuli utara. Hal ini dikarenakan belum ada kejelasan mengenai status hak adat milik Bius Hutaginjang. Masyarakat dan Kepala Desa menolak untuk menandatangani Berita Acara Pembuatan Patok Batas dengan dasar penolakn tersebut. Dan ditahun yang sama pada 8 Juni 2017, Masyarakat adat Bius Hutaginjang bersama masyarakat adat di Tanah Batak melakukan aksi demonstrasi untuk Eksistensi Masyarakat Adat di Tanah Batak.

Dan terakhir pada oktober 2017, perwakilan Bius Huta Ginjang bersama 10 kasus masyarakat adat lainya mendatangi KLHK untuk mempercepat upaya penyelesaian konflik mereka dengan kehutanan dua bulan kemuadia pada desember 2017, PSKL mengunjungi Desa Huta Ginjang untuk melakukan verifikasi dan validasi data terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Pada 19 Maret 2018 perwakilan Bius Huta Ginjang mengikuti pertemuan dengan direktur penanganan konflik tenurial dan Hutan adat di KSPPM Parapat. Setelah pertemuan tersebut, kondisi di lapangan berjalan seperti biasanya. Masyarakat tetap berladang. Namun TNI AD tidak lagi melakukan penanaman pohon di wilayah adat masyarakat seperti beberapa bulan sebelumnya. Masyarakat berharap agar KLHK secepatnya menyelesaikan konflik mereka. Sementara itu perkembangan Perda PPMHA sendiri di Taput sudah masuk dalam program Legislasi Daerah Tapanuli Utara 2018.

Sejarah Kepemikan Tanah masyarakat Adat Bius Hutaginjang
Bius Hutaginjang yang terdiri dari marga Aritonang dan Siregar yaitu marga Oppu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare dan Siregar. Sedangkan marga boru yang sering disebut boru marga terdiri dari Sihombing, Simanjuntak, Sianturi Tampubolon. Asal Marga Rajagukguk mendiami hutaginjang yakni dari Huta Aritonang ke Sitanggor lalu ke Huta Ginjang. Sedangkan marga Op Sunggu, Siregar dan Rajagukguk Simaremare naik dari Sitanggor ke hutaginjang.

Adapun marga –marga yang tinggal di Hutaginjang yakni :
ï‚·Marga Oppu Sunggu dari Oppu Buntu marga Oppu Sunggu telah memiliki 10 generasi
ï‚·Marga Rajagukguk dari Oppu Tuan Dihuta marga Rajagukguk telah memiliki 8 generasi
ï‚·Marga Simaremare dari Oppu Niatas marga Simaremare telah memiliki 8 generasi
ï‚·Marga Siregar dari Oppu Paranggu marga Siregar telah memiliki 9 generasi

Untuk menguasai wilayah ini tak luput dari perang. Marga Aritonang Julu berperang dengan marga Sumba masalah perbatasan di Tepi danau Meat dan Hutaginjang di lokasi yang bernama Hisap. “Pir Batu loting Pir Marisap isap, Mate anak ni Lotung Humokkop tano Hisap” satu peringatan bagi masyarakat karena pada saat itu jatuh korban dari Marga Simaremare dan Siregar untuk memperebutkan tanah itu. Akhirnya dibuat satu sumpah yang dinamakan Limut Nasora Domu (dang boi domu Arittonang julu dohot marga Sumba) menjadi Batas Sumba Dan Aritonang Julu di pinggir Tao Toba.

Tiap marga di Bius Huta Ginjang memiliki huta bagasan (kampung awal), homban (sumber air) dan talian (tanah adat).

ï‚·Marga Op Sunggu memiliki, Huta Bagasan Ompu Sunggu, Homban bernama pancur Simual, Talian yang bernama Siantar Toruan, Sigiragira dolok dan Sigiragira Toruan. Sedangkan areal perladangan bernama Pokki, Sitattuan, Talpang
ï‚·Marga Rajagukguk memiliki Huta Bagasan Rajagukguk di Lumban Dolok , Homban bernama Antagenang, Mual Lumban Pea dan Mual Sosor. Sedangkan Talian berada di Langoan, Rihit, Sitatuan, Sigiragira, Pokki, Siantar, Tugan, Paralogoan (Asam Bolak)
ï‚·Marga Simaremare memiliki Huta Bagasan Simaremare, Homban bernama mual Hasahatan, Mual Pargaranggarangan, Mual Tobing, Aek Napultak. Sedangkan talian terdapat di Bungus, Siantar, Siantar Buntu Raja, Adian Ginjang, Siantar Tongatonga, Silakubuk, Siganjangganjang

ï‚·Marga Siregar memiliki Huta Bagasan Siregar, Homban yang bernama Mual Pagonda. . Sedangkan talian terdapat di Bungus, Siantar Butu Raja, Upajolo, Bona Dolok, Siantar, Siabongkaan, Sitatuan, Siabalabal

Jika ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi , fungsi wilayah adat bagi masyarakat Adat Bius Hutaginjang adalah
Aspek Sosial

Masyarakat di Hutaginjang bersepakat untuk membuat pertanda marga-marga dengan menanam pohon beringin (jabijabi) yang hingga saat ini masih data ditemui di Hutaginjang.

Setiap marga di hutaginjang hidup berdampingan dan saling menghormati antar marga. Mereka mendirikan partungkoan untuk membicarakan hukum adat dan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat. Disanalah Raja Bius Marga mengadakan rapat yakni Raja Bius Ompu Sunggu, Raja Bius Rajagukguk, Raja Bius Simaremare dan Raja Bius Siregar. Hingga saat ini Raja Parbaringin masih aktif.

Bius Hutaginjang juga hidup berdampingan dengan tetangganya yakni Bius Silando dan Bius Tapian Nauli memiliki pasar bersama yang disebut onan Sitolubus yang bernama Onan Runggu. Di onan inilah masyarakat dari ketiga bius ini melakukan transaksi jual beli untuk kebutuhan sehari-hari.

Aspek Ekonomi :
Mata pencarian di Hutaginjang adalah sebagai petani tanaman hutan yaitu kemenyan dan kopi arabica, sedangkan pertanian padi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Setiap marga memiliki tombaknya masing-masing. Marga Rajagukguk memiliki harangan yang dilarang untuk diusahai kayunya selain untuk membangun rumah. Mereka menuangkan dalam Harangan Pinatik… (terlampir). Marga Simaremare memiliki tombak bernama Harangan bernama Sibaganding Marga Siregar memiliki tombak bernama Harangan Rabitoruan yang berbatasan dengan Nagumontam.
Kini masyarakat hidup dari pertanian kopi dan tanaman muda (sayuran dan cabai), selain itu, sebagian masyarakat menjadi pedagang makanan dan minuman ringan di daerah wisata di Huta Ginjang.


BRWA

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--