DATA DETIL
Peternakan Tapos, Bogor

 JAWA BARAT, KAB. BOGOR

Nomor Kejadian :  002ARC
Waktu Kejadian :  25-11-1971
Konflik :  PTPN,Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  Peternakan
Luas  :  751,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Keuangan
  • Ir. Sutami (Menteri Pekerjaan Umum dan Angkatan Laut RI)
  • Solichin G. P. (Gubernur Jawa Barat)
  • Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor
  • Pemerintah Kabupaten Bogor
  • Perusahaan Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru)
  • Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) XI
  • PT Rejo Sari Bumi (PT RSB)

KONTEN

Lahan garapan yang berada di Tapos, pada mulanya merupakan kawasan hutan yang telah lama digarap oleh warga Desa Cibedug dan desa sekitarnya. Hingga kemudian pada 1930, hak erfpacht verponding No. 57 dan 58 diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada NV Cultuur Maatschappij Pondok Gedeh dengan masa berlaku hingga 2005, untuk ditanami kina dan teh seluas ± 700 Ha. Meskipun telah mengantongi hak erfpacht, warga tetap diperbolehkan menggarap lahannya dengan menanam berbagai macam jenis sayuran, buah-buahan, dan palawija. Warga mengakui bahwa dari hasil garapan tersebut, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari (subsisten).

Selama masa pendudukan Jepang sampai Perang Kemerdekaan (1942-1949), ketika kolonial Belanda diusir dan perusahaan tidak lagi mengelola perkebunan di Tapos, warga masih menggarap lahan tersebut dan bahkan memperluas areal garapan hingga seluas 751 ha dengan cara membongkar lahan perkebunan yang dianggap sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan. Kemudian pada 1958, saat diberlakukannya kebijakan nasionalisasi perusahaan asing, dan ditetapkan UUPA 1960, status lahan yang dikuasai NV Cultuur Maatschappij Pondok Gedeh menjadi tanah negara (dikonversi menjadi HGU) yang dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru). Akan tetapi, setelah diterbitkan PP No. 224 tahun 1961 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian, yang menyatakan salah satu objek land reform adalah tanah negara, penguasaan dan/atau kepemilikan lahan garapan di Tapos diprioritaskan kepada penggarap.

Semenjak Orde Baru berkuasa, kehidupan penggarap di Tapos mulai berubah. Pada 1973, berdasarkan surat persetujuan Menteri Keuangan dan Perusahaan Negara Perkebunan XI (PNP XI), HGU kawasan perkebunan Tapos seluas 751 ha diserahkan kepada PT Rejo Sari Bumi (PT RSB) untuk dibangun peternakan modern, yakni Peternakan Tri-S Tapos. Pembangunan peternakan tersebut berawal dari keinginan Soeharto untuk memiliki lokasi istirahat dan rekreasi serta kepentingan bisnis. Dalam proses pembangunannya, Soeharto melibatkan pejabat negara, seperti Solichin GP, Gubernur Jawa Barat pada saat itu, untuk mencarikan lokasi. Begitu juga dengan Ir Sutami, Menteri PUTL dan Angkatan Laut RI (ALRI), diminta untuk membangun prasaran jalan dan irigasi, serta mengangkut sapi-sapi yang dibeli oleh Soeharto dari Australia. Sedangkan Lurah Cileungsi terlibat dalam proses pembebasan lahan.

Meski HGU terbit pada tahun 1973, penggarapan dan/atau penggusuran petani oleh PT RSB sudah dilakukan semenjak tahun 1971 hingga 1974. Lahan pertanian digusur secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Menurut pengakuan petani, tentara tiba-tiba saja menggembalakan sapi-sapi di areal pertanian sehingga merusak tanaman yang ada. Setelah itu tanah diratakan dengan buldoser yang dikemudikan oleh tentara. Selain itu, PT RSB juga menguasai semua jalan desa dan sumber air yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Intimidasi dilakukan oleh sejumlah aparat kepada warga yang meminta ganti rugi. Akibat penggusuran tersebut, para petani mengalami kerugian yang sangat besar, termasuk kehilangan lahan garapan mereka seluas 0,5-5 ha/petani. Selain itu, banyak di antara mereka yang terpaksa menjadi buruh tani di desa atau kuli galian di ibu kota.

Pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto mundur sebagai presiden, lima warga Cibedug, di antaranya Sobari, Hasan, Atin, Badrudin, dan Anang, mematok sekitar 5.000 m2 lahan di Peternakan Tri-S Tapos dengan menanami tanaman jagung dan pisang. Tetapi petugas PT RSB memerintahkan untuk berhenti dan mengancam akan memenjara warga yang mematok lahan. Kemudian, warga mencari bantuan kepada LBH Jakarta, lalu mengonsolidasi diri dengan sejumlah aktivis mahasiswa. Berbagai pertemuan antar petani yang difasilitasi mahasiswa Bogor, Solidaritas Indonesia (SI), Solidaritas Tani Indonesia (STI), dan Front Indonesia berlangsung cukup intensif.

Para petani mendapat dukungan untuk melakukan aksi klaim kembali lahan garapan yang telah dirampas oleh PT RSB. Pada 15 Juli 1998, para petani berbondong-bondong memasuki Peternakan Tapos untuk mengapling dan menanam sayuran serta palawija. Meski sempat terjadi bentrok dengan sejumlah milisia yang dipimpin oleh Made Soewacha, para petani tidak menyerah untuk aksi klaim kembali lahan mereka. Rata-rata petani mendapat lahan antara 3.000-6.000 m2/petani. Hingga tahun 2000, petani Desa Cibedug telah berhasil menguasai 40 ha lahan yang dikelola secara kolektif. Pada 27 September 2000, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor menyatakan PT RSB tidak beroperasi lagi dan sekitar 450 ha lahan Peternakan Tri-S Tapos akan dikembalikan kepada penggarap, sisanya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor.


Bachiadi, D. & Lucas, A. 2001. Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: KPG.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--