DATA DETIL
Usaha Masyarakat Adat Sabuai dalam Mempertahankan Hutan dari Perusahaan CV Sumber Berkat Makmur

 MALUKU, KAB. SERAM BAGIAN TIMUR

Nomor Kejadian :  01-06-2020
Waktu Kejadian :  01-01-2019
Konflik :  Hutan Produksi
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Hutan Produksi
Sektor Lain  :  
Luas  :  1.183,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  28 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • DPRD
  • Dinas Kehutanan
  • CV Sumber Berkat Makmur
  • Masyarakat Adat Sabuai

KONTEN

Puluhan warga Negeri Sabuai memprotes atas penyerobotan hutan adat dan dugaan pembalakan kayu di hutan Gunung Ahwale oleh perusahaan CV Sumber Berkat Makmur (SBM). Hal ini terjadi karena pihak perusahaan bersikeras dan tetap menerobos hutan adat. Oleh karena itu, aksi masyarakat semata-mata untuk membela hak-hak atas hutan dan gunung yang dirampas perusahaan. Hutan itu sangat sakral karena terdapat kuburan leluhur, bahkan lokasi itu adalah kampung lama warga Sabuai. Padahal warga Negeri Sabuai tak memberi izin perusahaan eksploitasi di hutan tersebut. Mereka hanya memberi tiga lahan, yakni, di Hutan Wasaba, Mayaram dan Ihatollus.
Masyarakat tegas menyuruh para pekerja SBM angkat kaki dari hutan adat mereka. Usai aksi, warga kembali. Pimpinan perusahaan yang tak terima dengan aksi ini melaporkan 26 warga ke Polsek Werinama dan 2 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tudingan aksi pemalangan dan perusakan peralatan milik perusahaan.
Aliansi Mahasiswa Sabuai (AMS) sudah menempuh jalur hukum dengan melaporkan perusahaan ke Polres Seram Bagian Timur.
Aktivitas perusahaan ini terjadi pada beberapa negeri adat di Kecamatan Siwalalat, seperti Negeri Sabuai, Abuleta, Naiwelahinulin dan Atiahu. Terdapat data yang dapat menjadi petunjuk bahwa Sumber Berkat Makmur benar-benar illegal logging. Bahkan masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan amdal.
Perusahaan masuk dengan modus perkebunan pala. Pada September 2018, SBM mendatangkan 5.000 bibit pala ke Negeri Sabuai.
Selain itu, perusahaan dinilai tak sosialisasi transparan. Mereka melakukan kesepakatan sepihak tanpa perundingan dan ganti rugi. Perusahaan juga tak mengelola dampak sosial dan lingkungan karena pembalakan hutan ini, seperti, diduga jadi penyebab banjir dan longsor di Sabuai pada setiap musim hujan.
Ketua SBM Imanuel Darusman alias Yongki, membantah menebang di luar izin. Ia berdalih perusahaan punya izin lengkap soal pengelolaan hutan dan penebangan kayu maupun penjualan hasil tebangan itu. Sejak beroperasi 2018, baru muncul masalah sekarang. Dia menduga ada pihak tertentu yang menciptakan penolakan ini. Selama perusahaan beroperasi, kebutuhan masyarakat terpenuhi sesuai kesepakatan bersama. Bahkan, ada 70 warga Negeri Sabuai, Siwalalat, yang bekerja di perusahaan.
DPRD Maluku mendesak untuk menghentikan penebangan oleh perusahaan di hutan itu hingga legislatif bersama Dinas Kehutanan (Dishut) dan organisasi masyarakat sipil melakukan peninjauan.

Keputusan penghentian aktivitas penebangan ini awalnya berasal dari usul anggota Komisi II DPRD dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD, Dishut Maluku, Direktur SBM, Yongky Quidarusman, serta koordinator LSM Gerakan Save Sabuai, Usman Bugis. Upaya ini guna mengamankan berbagai bukti di lapangan, yang jadi obyek pelaporan dari LSM.

Sejumlah anggota DPRD dalam rapat dengar pendapat menilai, SBM masuk dengan izin perkebunan dan izin pemanfaatan kayu, hanyalah modus belaka. Hal ini berdasarkan beberapa perusahaan yang beroperasi di Pulau Buru dan Seram, setelah usai tebang pohon dengan IPK, lahan dibiarkan tanpa ada perkebunan. DPRD meminta Dishut evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan perkebunan yang mengantongi IPK, termasuk SBM.

Menurut Sadli Li, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Maluku, berdasarkan keputusan Bupati SBT Nomor IUP 151/2018, CV Sumber Berkat Makmur telah diberikan izin usaha perkebunan seluas 1.183 hektar dan lokasi ini seluruhnya berada pada areal pengguna lain untuk pembangunan di luar bidang kehutanan, bukan kawasan hutan. Sehingga Dishut tidak lakukan kajian amdal, tetapi hanya pengamanan hak negara dengan pemberian izin pengelolaan kayu kepada perusahaan itu.

APL memiliki tumbuh kayu secara alami, sehingga ada hak-hak negara yang harus dilindungi pada kayu itu berupa pembayaran revisi sumberdaya hutan serta dana reboisasi.

Untuk menagih hak negara ini, perlu ada pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK). Sesuai aturan, harus ada pertimbangan teknis dari Balai Pemanfaatan Hutan Produktif. Melalui dasar itu, baru Dishut menerbitkan IPK. IPK juga diterbitkan atas dasar ada izin perkebunan.

Oleh karena itu, areal seluas 1.183 hektar itu tidak seluruh ada potensi kayu. Melalui pertimbangan teknis Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP), Dishut hanya memberikan areal pemanfaatan seluas 1.079 hektar.


Mongabay

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--