Penolakan Orang Mentawai terhadap HTI PT Biomass Andalan Energi
SUMATERA BARAT, KAB. KEPULAUAN MENTAWAI
Nomor Kejadian
:
11-05-2020
Waktu Kejadian
:
01-10-2019
Konflik
:
HTI
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Hutan Produksi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
20.030,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
10.395 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai
- Komisi IV DPR RI
- Komisi IV DPR RI
- Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Gubernur Sumatera Barat
- BKPM RI
- Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Pemerintah Desa Saibu Samukop
- BPD Saibi Samukop, Komnas HAM
- PT. Biomass Andalan Energi
- Forum Kemitraan Energi PT BAE
- Warga Desa Bojakan
- Warga Desa Sotboyak
- Warga Desa Sirilogui
- Warga Desa Saibi
- Warga Desa Cimpungan
- Warga Desa Saliguma
KONTEN
Koalisi Pembela HAM Sumatera Barat meminta kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk membatalkan izin IUPHHK-HTI PT. Biomass Andalan Energi (PT BAE) pada Oktober 2019 sebagai respon atas terbitnya kembali izin PT BAE pada Desember 2018. Semula KLHK telah membatalkan izin tersebut melalui Dirjen PHPL pada Januari 2018. Izin baru tersebut didapatkan oleh PT BAE melalui proses Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission). Pengeluaran izin ini bukan hanya berpotensi menimbulkan konflik antara warga dengan perusahaan, tetapi juga konflik sosial antar suku di Mentawai.
PT BAE mendapatkan izin prinsip IUPHHK-HTI dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia seluas 20.100 hektar pada 11 Januari 2016. Permohonan izin ini dilakukan tidak lama setelah KLHK mengeluarkan SK No. 2382/Menhut-VI/BRPUK/2015 tanggal 29 Mei 2015 tentang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan. Salah satunya pemanfaatan hutan pada hutan produksi untuk usaha restorasi ekosistem dan hutan tanaman industri (HTI).
Mengetahui hal ini Pemda Mentawai langsung menyuarakan penolakan. Pada 9 September 2015 mereka meminta KLHK untuk meninjau ulang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi untuk Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri tersebut melalui surat No. 512/658/-BUP-KM/IX-2015.
Penolakan pun datang dari banyak pihak. Pada Oktober 2017, sejumlah perwakilan mahasiswa Mentawai yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Mentawai Sumatera Barat datang ke KLHK di Jakarta dan berdialog dengan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono sambil menyerahkan 52 surat penolakan masyarakat pemilik tanah dan 12 komunitas, serta dua ratus ribu tanda tangan petisi penolakan IUPHHK-HTI PT BAE.
Anggota Komisi IV DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menyampaikan keberatannya pada Desember 2017. Menurutnya wilayah yang diberikan kepada PT BAE sebaiknya dijadikan hutan adat, untuk mempercepat program pemerintahan Jokowi terkait perhutanan sosial 12,7 juta hektar.
Penolakan dari berbagai pihak ini kemudian membuahkan hasil. Melalui surat No 5.73/PHPL/ KPHP/HPL.0/1/2018 tentang Konsesi Hak PT Biomass Andalas Energi yang disampaikan ke Komnas HAM, Dirjen PHPL KLHK menyebutkan bahwa KLHK tidak akan memproses izin karena ada penolakan dari berbagai kalangan dan mencegah terjadinya konflik sosial serta sesuai dengan kebijakan.
Namun rupanya, kondisi-kondisi tersebut tidak digubris oleh pemerintah provinsi (pemprov). Tercatat selama 2017 banyak kegiatan yang dilakukan antara PT BAE dengan pemprov. Pada September 2017 diadakan rapat pembahasan andal, RPL, dan RKL IUPHHK – HTI PT BAE di kantor Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat. Kemudian di bulan yang sama, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan IUPHHK-HTI PT BAE seluas 19.876,59 hektar; dan mengeluarkan Surat Izin Lingkungan, Rencana Kegiatan IUPHHK-HTI PT BAE seluas 19.876,59 hektar.
Berbekal semua izin yang sudah didapatkan dari pemprov tersebut rupanya menjadi bahan bagi PT BAE untuk mendaftarkan izinnya kembali ke KLHK melalui sistem online (OSS), yang akhirnya izin tersebut terbit untuk PT BAE pada 26 Desember 2018 dengan SK No. 619/MENLHK/SETJEN/HPL.0/12/2018. Izin konsesi ini hingga tahun 2051.
Dari seluruh area konsesi, hanya seluas 9.356 hektar yang akan ditanami hutan tanaman industri. Selebihnya untuk areal buffer zone dengan kawasan Taman Nasional Siberut, DAS, dan hutan lindung seluas 4.282 hektar, pengelolaan sistem tebang pilih tanam jalur seluas 2.133 hektar, dan sisanya untuk keperluan lain, untuk jalan produksi dan basecamp.
Wilayah izin yang diberikan kepada PT BAE berada di tanah milik suku Sanenek, yaitu di wilayah Sungai Simanipah Desa Saibi Samukop, yang merupakan wilayah berawa dengan gugusan hutan bakau yang menjulang tinggi dan rimbun. Konsesi ini terentang luas mulai dari Bojakan dan Sotboyak di Siberut Utara, hingga Cimpungan, Saibi Samukop, dan Saliguma di Siberut Tengah. Di wilayah yang dulu menjadi bagian konsesi HPH Koperasi Andalas Madani itu, PT BAE berencana akan menanam kaliandra dan lamtoro sebagai wood pallet atau bahan baku sumber listrik biomassa.
Wilayah tersebut merupakan tempat berladang warga. Mereka menanam pinang, kelapa, kakao, dan tanaman tahunan lainnya. Beberapa lainnya ada yang menanam sagu untuk dikonsumsi sendiri. Dari tanaman itu mereka mampu menghasilkan uang jutaan rupiah setiap panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah anak-anaknya.
Sebagian besar tanah yang dikelola merupakan tanah adat. Meskipun tidak ada sertifikat dan dinyatakan hutan negara, mereka memiliki sejarah asal-usul kepemilikan tanah yang dituturkan secara turun temurun. Tanah-tanah tersebut menjadi tinungglu (kebun campur) masyarakat. Tinungglu dalam konsep Mentawai merupakan perladangan campuran yang umumnya berisi tanaman tua seperti durian, rambutan, langsat, dan pindang. Sebagian lagi ada juga yang ditanami coklat dan umbi-umbian.
Di tanah tersebut pemilik tanah berbeda dengan pengelola ladang. Salah satu warga Siruamonga, yang ladangnya masuk kedalam konsesi HTI percaya bahwa beroperasinya perusahaan HTI dikhawatirkan bisa menyulut konflik antara pemilik tanah dengan pemilik tanaman yang menumpang berladang di kawasan itu. “Kami yang punya ladang pasti akan konflik dengan yang punya tanah, karena mereka yang menyerahkan tanahnya†ujar Rudi warga Siruamonga.
Kabar keberadaan HTI memang menjadi pro kontra diantara suku yang berada di kawasan tersebut. Bahkan pro kontra pun terjadi di dalam suku itu sendiri. Di Sirilogui mayoritas warganya menerima rencana masuknya perusahaan HTI. Ada 24 suku di Sirilogui semua menerima. Hanya satu suku yang terjadi pro kontra, yakni pada Suku Siriparang. Tanah Suku Siriparang sudah jadi tempat perkebunan cengkeh dan perladangan suku-suku lainnya yang ada di Sirilogui, seperti Suku Sakoipia, Siritoiten, Sirirui, Samako, dan suku lainnya.
Pada April 2019 sejumlah suku di Desa Saibi Samukop sudah menyepakati ganti rugi tanaman yang akan dijadikan kebun oleh PT BAE pada pertemuan sosialisasi penjaringan aspirasi yang diselenggarakan Forum Kemitraan Enegeri bentukan PT BAE. Salah satu warga Suku Sanenek mengatakan perusahaan HTI PT BAE tidak bisa ditolak lagi karena izin sudah mereka kantongi. Meski begitu, banyak diantara mereka yang masih menolak.
Kepada Desa Saibi mengatakan jika HTI memang benar-benar masuk maka bentrok yang akan terjadi adalah antar anggota suku karena pembagian (fee kayu) tidak sama rata. Selain itu konflik antar suku bisa terjadi, terutama soal tapal batas akan menjadi masalah besar, karena tanah diperoleh pada saat itu tidak hanya melalui pencarian tapi juga denda adat.
Selain ladang dan tanah adat, kekayaan flora dan fauna di wilayah konsesi pun terancam. Kepulauan Mentawai diperkirakan merupakan pulau-pulau asli sejak 500 ribu tahun yang lalu membuat flora-faunanya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis seperti yang terjadi pada Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Keterpisahan ini menyebabkan Kepulauan Mentawai memiliki keunikan flora faunda. Diperkirakan 65 persen dari binatang menyusui di Mentawai dan 14 macam burung adalah endemik. Binatang yang paling istimewa adalah empat primata endemic, yaitu bokkoi, joja atau lutung Mentawai bilou, dan simakobu. Karena keunikan alam dan budayanya, Pulau Siberut ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO pada 1981.
Jika PT BAE mulai beroperasi hutan lebat yang memagari Desa Saibi Samukop akan berganti menjadi hutan tanaman industri. Tempat tinggal empat primata endemik Siberut itu hilang. Hilang juga berbagai keragaman tanaman obat dan tumbuhan lainnya.
Berbagai sumber (media online, dokumen pemerintah, siaran pers, dan lain-lain)
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
SUMATERA BARAT, KAB. KEPULAUAN MENTAWAI
Nomor Kejadian | : | 11-05-2020 |
Waktu Kejadian | : | 01-10-2019 |
Konflik | : | HTI |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Hutan Produksi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 20.030,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 10.395 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai
- Komisi IV DPR RI
- Komisi IV DPR RI
- Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Gubernur Sumatera Barat
- BKPM RI
- Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Pemerintah Desa Saibu Samukop
- BPD Saibi Samukop, Komnas HAM
- PT. Biomass Andalan Energi
- Forum Kemitraan Energi PT BAE
- Warga Desa Bojakan
- Warga Desa Sotboyak
- Warga Desa Sirilogui
- Warga Desa Saibi
- Warga Desa Cimpungan
- Warga Desa Saliguma
KONTEN
Koalisi Pembela HAM Sumatera Barat meminta kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk membatalkan izin IUPHHK-HTI PT. Biomass Andalan Energi (PT BAE) pada Oktober 2019 sebagai respon atas terbitnya kembali izin PT BAE pada Desember 2018. Semula KLHK telah membatalkan izin tersebut melalui Dirjen PHPL pada Januari 2018. Izin baru tersebut didapatkan oleh PT BAE melalui proses Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission). Pengeluaran izin ini bukan hanya berpotensi menimbulkan konflik antara warga dengan perusahaan, tetapi juga konflik sosial antar suku di Mentawai.
PT BAE mendapatkan izin prinsip IUPHHK-HTI dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia seluas 20.100 hektar pada 11 Januari 2016. Permohonan izin ini dilakukan tidak lama setelah KLHK mengeluarkan SK No. 2382/Menhut-VI/BRPUK/2015 tanggal 29 Mei 2015 tentang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan. Salah satunya pemanfaatan hutan pada hutan produksi untuk usaha restorasi ekosistem dan hutan tanaman industri (HTI).
Mengetahui hal ini Pemda Mentawai langsung menyuarakan penolakan. Pada 9 September 2015 mereka meminta KLHK untuk meninjau ulang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi untuk Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri tersebut melalui surat No. 512/658/-BUP-KM/IX-2015.
Penolakan pun datang dari banyak pihak. Pada Oktober 2017, sejumlah perwakilan mahasiswa Mentawai yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Mentawai Sumatera Barat datang ke KLHK di Jakarta dan berdialog dengan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono sambil menyerahkan 52 surat penolakan masyarakat pemilik tanah dan 12 komunitas, serta dua ratus ribu tanda tangan petisi penolakan IUPHHK-HTI PT BAE.
Anggota Komisi IV DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menyampaikan keberatannya pada Desember 2017. Menurutnya wilayah yang diberikan kepada PT BAE sebaiknya dijadikan hutan adat, untuk mempercepat program pemerintahan Jokowi terkait perhutanan sosial 12,7 juta hektar.
Penolakan dari berbagai pihak ini kemudian membuahkan hasil. Melalui surat No 5.73/PHPL/ KPHP/HPL.0/1/2018 tentang Konsesi Hak PT Biomass Andalas Energi yang disampaikan ke Komnas HAM, Dirjen PHPL KLHK menyebutkan bahwa KLHK tidak akan memproses izin karena ada penolakan dari berbagai kalangan dan mencegah terjadinya konflik sosial serta sesuai dengan kebijakan.
Namun rupanya, kondisi-kondisi tersebut tidak digubris oleh pemerintah provinsi (pemprov). Tercatat selama 2017 banyak kegiatan yang dilakukan antara PT BAE dengan pemprov. Pada September 2017 diadakan rapat pembahasan andal, RPL, dan RKL IUPHHK – HTI PT BAE di kantor Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat. Kemudian di bulan yang sama, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan IUPHHK-HTI PT BAE seluas 19.876,59 hektar; dan mengeluarkan Surat Izin Lingkungan, Rencana Kegiatan IUPHHK-HTI PT BAE seluas 19.876,59 hektar.
Berbekal semua izin yang sudah didapatkan dari pemprov tersebut rupanya menjadi bahan bagi PT BAE untuk mendaftarkan izinnya kembali ke KLHK melalui sistem online (OSS), yang akhirnya izin tersebut terbit untuk PT BAE pada 26 Desember 2018 dengan SK No. 619/MENLHK/SETJEN/HPL.0/12/2018. Izin konsesi ini hingga tahun 2051.
Dari seluruh area konsesi, hanya seluas 9.356 hektar yang akan ditanami hutan tanaman industri. Selebihnya untuk areal buffer zone dengan kawasan Taman Nasional Siberut, DAS, dan hutan lindung seluas 4.282 hektar, pengelolaan sistem tebang pilih tanam jalur seluas 2.133 hektar, dan sisanya untuk keperluan lain, untuk jalan produksi dan basecamp.
Wilayah izin yang diberikan kepada PT BAE berada di tanah milik suku Sanenek, yaitu di wilayah Sungai Simanipah Desa Saibi Samukop, yang merupakan wilayah berawa dengan gugusan hutan bakau yang menjulang tinggi dan rimbun. Konsesi ini terentang luas mulai dari Bojakan dan Sotboyak di Siberut Utara, hingga Cimpungan, Saibi Samukop, dan Saliguma di Siberut Tengah. Di wilayah yang dulu menjadi bagian konsesi HPH Koperasi Andalas Madani itu, PT BAE berencana akan menanam kaliandra dan lamtoro sebagai wood pallet atau bahan baku sumber listrik biomassa.
Wilayah tersebut merupakan tempat berladang warga. Mereka menanam pinang, kelapa, kakao, dan tanaman tahunan lainnya. Beberapa lainnya ada yang menanam sagu untuk dikonsumsi sendiri. Dari tanaman itu mereka mampu menghasilkan uang jutaan rupiah setiap panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah anak-anaknya.
Sebagian besar tanah yang dikelola merupakan tanah adat. Meskipun tidak ada sertifikat dan dinyatakan hutan negara, mereka memiliki sejarah asal-usul kepemilikan tanah yang dituturkan secara turun temurun. Tanah-tanah tersebut menjadi tinungglu (kebun campur) masyarakat. Tinungglu dalam konsep Mentawai merupakan perladangan campuran yang umumnya berisi tanaman tua seperti durian, rambutan, langsat, dan pindang. Sebagian lagi ada juga yang ditanami coklat dan umbi-umbian.
Di tanah tersebut pemilik tanah berbeda dengan pengelola ladang. Salah satu warga Siruamonga, yang ladangnya masuk kedalam konsesi HTI percaya bahwa beroperasinya perusahaan HTI dikhawatirkan bisa menyulut konflik antara pemilik tanah dengan pemilik tanaman yang menumpang berladang di kawasan itu. “Kami yang punya ladang pasti akan konflik dengan yang punya tanah, karena mereka yang menyerahkan tanahnya†ujar Rudi warga Siruamonga.
Kabar keberadaan HTI memang menjadi pro kontra diantara suku yang berada di kawasan tersebut. Bahkan pro kontra pun terjadi di dalam suku itu sendiri. Di Sirilogui mayoritas warganya menerima rencana masuknya perusahaan HTI. Ada 24 suku di Sirilogui semua menerima. Hanya satu suku yang terjadi pro kontra, yakni pada Suku Siriparang. Tanah Suku Siriparang sudah jadi tempat perkebunan cengkeh dan perladangan suku-suku lainnya yang ada di Sirilogui, seperti Suku Sakoipia, Siritoiten, Sirirui, Samako, dan suku lainnya.
Pada April 2019 sejumlah suku di Desa Saibi Samukop sudah menyepakati ganti rugi tanaman yang akan dijadikan kebun oleh PT BAE pada pertemuan sosialisasi penjaringan aspirasi yang diselenggarakan Forum Kemitraan Enegeri bentukan PT BAE. Salah satu warga Suku Sanenek mengatakan perusahaan HTI PT BAE tidak bisa ditolak lagi karena izin sudah mereka kantongi. Meski begitu, banyak diantara mereka yang masih menolak.
Kepada Desa Saibi mengatakan jika HTI memang benar-benar masuk maka bentrok yang akan terjadi adalah antar anggota suku karena pembagian (fee kayu) tidak sama rata. Selain itu konflik antar suku bisa terjadi, terutama soal tapal batas akan menjadi masalah besar, karena tanah diperoleh pada saat itu tidak hanya melalui pencarian tapi juga denda adat.
Selain ladang dan tanah adat, kekayaan flora dan fauna di wilayah konsesi pun terancam. Kepulauan Mentawai diperkirakan merupakan pulau-pulau asli sejak 500 ribu tahun yang lalu membuat flora-faunanya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis seperti yang terjadi pada Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Keterpisahan ini menyebabkan Kepulauan Mentawai memiliki keunikan flora faunda. Diperkirakan 65 persen dari binatang menyusui di Mentawai dan 14 macam burung adalah endemik. Binatang yang paling istimewa adalah empat primata endemic, yaitu bokkoi, joja atau lutung Mentawai bilou, dan simakobu. Karena keunikan alam dan budayanya, Pulau Siberut ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO pada 1981.
Jika PT BAE mulai beroperasi hutan lebat yang memagari Desa Saibi Samukop akan berganti menjadi hutan tanaman industri. Tempat tinggal empat primata endemik Siberut itu hilang. Hilang juga berbagai keragaman tanaman obat dan tumbuhan lainnya.
Berbagai sumber (media online, dokumen pemerintah, siaran pers, dan lain-lain)
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |