DATA DETIL
Konflik antara warga Kabupaten Konawe Kepulauan dengan PT Gema Kreasi Persada, pertambangan

 SULAWESI TENGGARA, KAB. KONAWE KEPULAUAN

Nomor Kejadian :  03-05-2020
Waktu Kejadian :  01-08-2019
Konflik :  Nikel
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Pertambangan
Sektor Lain  :  
Luas  :  850,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  2.800 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Polda Sulawesi Tenggara
  • Polres Kendari
  • Direktorat Polair
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
  • TNI
  • Komnas HAM
  • Komnas Perempuan
  • Gubernur Sulawesi Tenggara
  • Pemerintah Daerah Konawe Kepulauan
  • Ombudsman RI
  • PT Gema Kreasi Persada (PT GKP)
  • Masyarakat Pulau Wawonii

KONTEN

Sepanjang tahun 2019, PT GKP melakukan penerobosan lahan kebun warga di Pulau Wawonii. Pohon jambu mete, kelapa, pala, kakao dan pisang yang selama ini diusahakan warga hilang sia-sia. Lahan tersebut adalah lahan yang telah mereka kelola selama 30 tahun, dan mereka pun tidak pernah absen membayar pajak.

Penerobosan lahan dilakukan PT GKP dalam rangka membangun jalan menuju lokasi tambang perusahaan. Penerobosan lahan dilakukan sebanyak 3 kali pada 2019, yaitu dua kali pada bulan Juli dan satu kali di bulan Agustus yang dilakukan pada malam hari ketika warga sudah pulang dari kebun.

Sejak 2017, PT GKP merupakan bagian dari Harita Group. Ia mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dari Kementerian ESDM pada tahun 2010 yang berakhir pada tahun 2028. Pada IUP tersebut tertulis luas areanya mencapai 950 hektar. Namun kemudian luasan ini berubah menjadi 850 hektar pada Maret 2016. Luasan ini dikurangi karena ada hutan lindung di dalamnya. Dari 850 hektar tersebut, 707 hektarnya terdapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari KLHK.

Meski begitu koalisi masyarakat sipil, begitu juga dengan Ombudsman RI menyatakan bahwa keberadaan PT GKP di Pulau Wawonii adalah illegal. Hal ini karena kegiatan pertambangan di pulau tersebut bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa kegiatan tambang hanya boleh dilakukan pada pulau yang memiliki luas di atas 2000 km2. Sedangkan luas Pulau Wawonii tidak mencapai 2000 km2, yaitu hanya 867,58 km2. Selain itu PT GKP juga melanggar UU tentang Minerba karena di dalam RTRW Konawe Kepulauan dan Provinsi Sulawesi Tenggara, Pulau Wawonii bukanlah wilayah pertambangan. Selain itu, pembangunan terminal khusus yang dibangun PT GKP di Wawonii tidak mendapatkan izin dari dinas kelautan kabupaten setempat. Mereka (PT GKP) hanya berpegangan pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi Terminal Khusus Pertambangan OP PT GKP bertanggal 23 Agustus 2018.

Perusahaan masuk ke Wawonii pada 2008 ketika Pulau Wawonii masih bergabung dengan Kabupaten Konawe. Izin tambang pertama kali keluar dari Bupati Konawe, Lukman Abu Nawas periode 2008-2013. Perusahaan kemudian pertama kali beroperasi pada 2011. Sejak awal masyarakat menolak. Warga berulang kali memprotes aktivitas pertambangan hingga berujung pemenjaraan beberapa aktivis dan warga setelah pembakaran basecamp dan alat perusahaan. Sampai 2017 warga tak pernah lagi mendengar ada tambang masuk ke Wawonii. Barulah awal 2018 sampai 2019 perusahaan GKP memberi peringatan akan eksploitasi di Wawonii. Perlawanan warga kembali mulai. Dari demo hingga mengeluarkan petisi tolak tambang agar keluar dari Wawonii, terutama di Kecamatan Wawonii Tenggara.

Kata Wawonii berasal dari dua kata: wawo yang artinya daratan, dan nii yang berarti kelapa. Secara harfiah kata wawonii artinya daratan/pulau yang ditumbuhi pohon kelapa, sesuai dengan kenyataannya bahwa Pulau Wawonii ini di sepanjang tepi pantainya didominasi oleh tanaman kelapa. Tidak ada yang tahu sejak kapan pulau ini dihuni. Namun, menurut catatan sejarah, ketika ada pertengkaran antar 3 suku, Tolaki, Bungku, dan Buton pada akhir 1300 M memperebutkan mana yang lebih berhak atas pulau itu, tiba-tiba datanglah rombongan suku Wawonii (dahulu disebut Tangkombumo) hendak turun ke laut mencari ikan kemudian bertemu dan mempertanyakan apa yang mereka perselisihkan. Ketiga suku tersebut kemudian diberi tantangan untuk menanam pohon, siapa yang tumbuh lebih dulu, itulah yang berhak menguasai pulau tersebut. Waktu berjalan, ternyata tanaman yang tumbuh lebih dulu adalah tanaman yang ditanam oleh Suku Wawonii.
Suku Wawonii hidup dari bertani. Pada mulanya mereka melakukan praktik ladang berpindah. Namun, saat ini perpindahan tersebut sudah sulit dilakukan, karena mayoritas lahan sudah ditanami tanaman tahunan seperti jambu mete, kelapa, dan kakao. Mereka juga menanam pala, cengkeh dan juga lada. Jambu mete menjadi tanaman andalan mereka. Setidaknya mereka bisa memanen 4 sampai 5 ton jambu mete setiap musim panen. Pada tahun 2018, ada sekitar 600 ton jambu mete kualitas terbaik yang dihasilkan wilayah itu. Dengan kondisi pertanian yang begitu subur, mereka menegaskan bahwa mereka tidak membutuhkan tambang. Mereka sudah berkecukupan dengan bertani dan menjadi nelayan. Dalam wawancaranya, salah seorang perempuan petani menyatakan “Kami ini petani, kami bisa kasih sekolah anak-anak kami dengan berkebun. Tak butuh tambang. Kami punya motor dan mobil bukan karena tambang, tapi karena berkebun.”
Alam mereka pun kaya akan tanaman obat. Sebuah penelitian dari LIPI menyebutkan setidaknya terdapat 73 jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai penyembuh. Dari 73 jenis tersebut 68 jenis digunakan untuk pengobatan penyakit dan 16 jenis digunakan untuk perawatan persalinan.

Kegiatan tambang dan juga penerobosan yang dilakukan PT GKP telah merugikan warga. Bukan saja merusak tanaman petani, tapi juga mengancam hasil tangkapan nelayan. Sejak ada pertambangan, nelayan diduga rugi hingga 5 kali lipat. Nelayan gurita dalam satu hari bisa dapat 50 kilogram. Sejak ada tambang bisa hanya 10 kilogram dengan jarak tangkap lebih jauh.

Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menolak tambang. Warga melaporkan tindak penerobosan lahan ke KLHK di Jakarta. Warga juga melaporkan ke KKP lalu ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan bersama. Namun laporan hasil kunjungan lapangan tak juga keluar rekomendasinya. Laporan yang sama juga telah dilakukan warga ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Kedua institusi pun sudah mengeluarkan rekomendasi untuk perusahaan dan Gubernur Sultra, Ali Mazi, guna menghentikan sementara aktivitas perusahaan dan stop memasukan tambang di pulau kecil.

Saat ini warga berusaha dengan menjaga lahannya masing-masing dari upaya penerobosan PT GKP yang selalu dikawal aparat keamanan. Pilihan menjaga lahan masing-masing ini telah dilakukan sejak 4 bulan terakhir, guna mengantisipasi terjadinya penerobosan paksa pihak perusahaan tambang.


Berbagai sumber (media online, dokumen pemerintah, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain)

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--