DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

1 2017 Konflik tanah PT Rerolara di Hokeng, milik Keuskupan Larantuka Tanah seluas 288 hektar yang dikelola PT Reinha Rosari Larantuka (Rerolara) berada dalam masalah, lahan seluas 76 hektar sudah diduduki masyarakat. Umat Pululera mengklaim, tanah yang dikuasai keuskupan ini adalah bagian dari tanah ulayat. Pada saat bersamaan, hadirnya warga Boru dan Nawokote menjadikan sebuah perlawanan horizontal antar dua kelompok masyarakat.
Perkebunan
Perkebunan
2 1967 Ancaman Penggusuran di Tiga Desa (Desa Komodo, Desa Papagarang, Desa Rinca) dalam Taman Nasional Komodo untuk Kepentingan Pariwisata dan Konservasi Rencana Pariwisata dan Wilayah Konsrvasi di Desa Komodo, Pulau Komodo, NTT
Taman Nasional
Hutan Konservasi
3 2012 Ancaman Penyingkiran Akibat Industri Pariwisata Melalui Kebijakan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Flores Pada umumnya, masyarakat di Desa Gorontalo merupakan masyarakat asli yang mengenal sistem pembagian lahan berdasarkan hukum adat. Lahan yang sekarang diduduki oleh 215 jiwa adalah lahan yang pada 1999 dibagikan oleh kepala adat (Tua Golo) kepada sejumlah masyarakat. Namun, masyarakat tidak mengetahui bahwa tanah yang mereka duduki dan garap pada saat itu merupaan kawasan hutan yang berstatus Hutan Produksi (HP). Masyarakat tahu bahwa untuk tinggal di atas kawasan hutan merupakan tindakan ilegal di mata hukum formal yang berlaku. Tapi, mereka tidak memiliki pilihan.
-
Pariwisata
4 2018 Konflik Lahan di Perbatasan Taman Nasional Kelimutu, Ende, Pulau Flores Penetapan kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) tidak sepenuhnya berdasarkan hasil sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
5 1999 Masyarakat Adat Rendu Tolak Pembangunan Waduk masyarakat menolak rencana pembangunan waduk yang diusulkan pemerintah seluas 491 hektar. Masyarakat menganggap pembangunan merugikan, karena akan menenggelamkan pemukiman penduduk, sarana dan prasarana umum, kampung adat dan perkuburan leluhur. Pembangunan Waduk Lambo merupakan lanjutan dari rencana pembangunan Waduk Mbay yang pernah direncanakan oleh pemerintah melalui Pemerintah Daerah Ngada sejak tahun 1999. Waduk ini berlokasi di 3 Desa dari 3 kecamatan : Desa Labolewa di Kecamatan Aesesa, Desa Rendubutowe di Kecamatan Aesesa Selatan dan Desa Ulupulu di Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat, luas waduk tersebut lebih kurang 1.048 ha. masyarakat sudah melapor ke KSP, dan beberapa kementerian lain. namun pemerintah tetap memaksakan pembangunan. masyarakat sudah melapor ke beberapa kementerian dan lembaga negara seperti KSP dan Kemen PUPR namun belum ada perkembangan, pemerintah masih memaksakan waduk tersebut dibangun.
PLTA
Bendungan
6 2014 Masyarakat Adat Ai Melawan Ancaman Penggusuran Konflik yang terjadi di kawasan itu bermula saat Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sikka menyerahkan 500 hektar tanah adat (hutan) kepada sebuah Gereja Katolik melalui pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan yang bernama PT Diosis Agung (DIAG). Perusahaan itu dimiliki oleh Gereja Katolik (missi).
Eks-Perkebunan
Perkebunan
7 2009 Penolakan Tambang Emas di Batugosok Ratusan warga Manggarai Barat berunjuk rasa di Kantor Bupati dan DPRD Manggarai Barat di Labuan Bajo (29/05/2009), menentang aktivitas eksplorasi emas yang sedang berlangsung di kawasan Batu Gosok serta sejumlah rencana penambangan lain di wilayah itu. Penentuan lokasi tambang tidak pernah dikomunikasikan dengan masyarakat sekitar. Padahal area tambang seluas 2.000 hektar lokasinya berdekatan dengan perkampungan dan masih diklaim sebagai tanah ulayat. Atas desakan berbagai pihak dan bergantinya rezim pemerintahan baru di Manggarai Barat, tahun 2010 izin tambang PT Grand Nusantara dicabut. Akan tetapi, PT Grand Nusantara kembali mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi pada tahun 2016 berdasarkan SK 34/1/IUP/PMA/2016.
Emas
Pertambangan
8 2017 Dinas Peternakan Propinsi Usir Masyarakat Adat Pubabu dari Wilayah Adatnya. Masyarakat Adat Pubabu yang menempati Hutan Adat tersebut melakukan perlawanan terhadap Pemerintah sejak tahun 2009, Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebayak 52 KK. Karena selalu merasa tidak nyaman maka banyak yg pindah dan sekarang timggal 25 KK yang masi menenpati Hutan Adat tersebut, kini 25 KK yang masih tingga di gusur/pindahkan. Menjawab Penolakan Masyarakat Adat Pubabu Pemerintah Daerah melakukan Rapat Dengar Pendapat pada 31 Oktober 2017, Hasilnya Pemerintah mengakui kepemilikan Hak memiliki sertivikat (yang dikeluarkan pada tahun 1983 setelah ada pelepasan Hak oleh Masyarakat adat Pubabu Tahun 1979) atas tanah dengan luas 6.000 Ha yang di dalamnya terdapat 2.671,40 Ha adalah Hutan Adat Pubabu, namun sertifikat Hak Guna Pakai dinyatakan hilang oleh Pemerintah sehingga pemerintah membuat duplikat sertifikat tersebut pada tahun 2013. Penduplikasian sertifikat Hak Guna Pakai tahun 2013 dilakukan secara sepihak oleh Dinas Peternakan Propinsi.
hutan
Hutan Produksi
9 2014 Masyarakat Adat Golo Lebo dan PT. Manggarai Manganise Areal konsesi tambang ini berada di atas wilayah adat suku Golo Lebo, beberapa lokasi adalah tempat keramat dan sumber mata air. Di hulu sungai untuk kepentingan irigasi dan air minum masyarakat adat Golo Lijun dan masyarakat adat Desa Buntal menjadi terganggu. Eksplorasi pertambangan emas, mangan dan penambangan minyak akan berlangsung selama 5 tahun dari tahapan survey sampai dengan tahapan eksplorasi, hal ini meninggalkan masalah yang mengancam masa depan masyarakat adat Golo Lebo dan masyarakat lokal. PT Manggarai Manise yang beroperasi di wilayah adat Komunitas Golo Lebo, Kec Elar, Kab Manggarai Timur, Prov Nusa Tenggara Timur terbukti ilegal. PT MM memang mempunyai IUP tetapi belum mempunyai izin pinjam pakai berdasarkan ps 38 (3) UU 41 th 1999, karena berada dalam kawasan hutan. Lebih parahnya lagi IUP eksplorasi sudah berakhir sejak 2013, sejatinya kawasan harus berstatus quo dan tidak ada aktivitas. Namun fakta dilapangan hingga saat ini perusahaan tersebut masih beroperasi, padahal belum ada perpanjangan IUP oleh Bupati.
Manufacture
Pertambangan
10 2017 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Prov. NTT (Taman Wisa Alam Ruteng) – Kab. Manggarai (Colol) MA Colol merupakan masyarakat adat yang telah menetap sejak tahun 1800an dan telah mengalami pemekaran desa sebanyak 4 desa akibat dari pertambahan jumlah penduduknya. keempat desa tersebut adalah 1) Kampung Colo (induk), 2) Kampung Biting, 3) Kampung Welu, dan 4) Kampung Tangkul. Namun keberadaan MA Colol tidak diakui oleh oleh pemerintah daerah walaupun sebenarnya secara tertulis MA Colol masuk ke dalam daftar masyarakat adat sesuai dengan MK 35. Akibatnya sering terjadi konflik vertikal antara MA Colol dan pemerintah daerah.
Taman Wisata Alam
Hutan Konservasi
Displaying : 1 of 10 entries, Rows/page: