DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

1 1986 Lahan Garapan Masyarakat Kasepuhan Citorek Ditumpangi Perum Perhutani Tahun 1990, Perum Perhutani melakukan reboisasi di Desa Citorek (lokasi: Gn. Kendeng, Gn. Bapang, Lebak Tugu) di blok Pasir Makam lalu berlanjut ke tahun 1994 di blok Ciguha dan blok Pasir Petey. Penanaman ini dilakukan di atas lahan garapan masyarakat yang berupa ladang dan sawah (ditanam juga pohon pinus). Akibatnya adalah lahan garapan masyarakat ditumpangi oleh Perum Perhutani. Sepanjang periode tersebut, apabila perum Perhutani menemukan masyarakat yang menggarap lahan yang dianggap oleh mereka adalah lahan perhutani maka alat-alat pertaniannya akan diambil, dan apabila masa panen maka perum Perhutani meminta 25% dari hasil panen tersebut.
hutan
Hutan Produksi
2 2010 Kasepuhan Cisitu Masih Dibayangi Tambang Emas Liar Kondisi di wilayah adat Kasepuhan Cisitu khususnya di wilayah eks pertambangan ANTAM di lokasi Cikidang sedang di serbu atau di jarah ribuan orang  yang sama sekali mengangkangi hak-hak dan kedaulatan Kasepuhan Cisitu. Tindakan  penjarahan ini melibatkan apparatus Desa (kepala desa) dan oknum pejabat lainnya dengan mendapatkan upeti dari setiap hasil penambangan
Emas
Pertambangan
3 2006 Penetapan Taman Nasional Ujung Kulon Menimbulkan Ketegangan di Kampung Legon Pakis Ketegangan masyarakat dengan TNUK mulai terjadi ketika Perubahan bentuk pengelolaan kawasan dari cagar alam menjadi Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan/sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi pemukiman yang mula-mula akan direlokasi.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
4 2006 Penembakan Petani Kampung Cikawung oleh Petugas Taman Nasional Ujung Kulon Ketegangan masyarakat dengan TNUK mulai terjadi ketika Perubahan bentuk pengelolaan kawasan dari cagar alam menjadi Taman Nasional Ujung Kulon. Puncaknya, tanggal 4 November 2006, terjadi penembakan terhadap salah seorang petani hingga tewas oleh petugas Taman Nasional (semacam Jagawana) yang bernama Untung di Curug Cikacang-Kp. Cikawung Girang.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
5 2017 Kasepuhan Masyarakat Adat Cirompang Vs Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Konflik sumber daya alam (SDA) yang terjadi antara MA Cirompang dengan pihak TNGHS yang dilatarbelakangi oleh tumpang tindih kawasan. Akibat dari konflik ini MA cirompang mengalami pelanggaran HAM dan hak-hak perempuang yang meliputi ; hak atas rasa aman dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
6 2017 Kasepuhan Masyarakat Adat Ciptagelar Vs Taman Nasional Halimun-Salak Keberadaan masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak dan Sukabumi telah diakui (melalui SK, Perda, RTRW). Namun status hak atas wilayah adatnya masih belum jelas sehingga telah terjadi tumpang tindih batas wilayah yang diklaim oleh masyarakat kasepuhan dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
7 2014 Kasepuhan Masyarakat Adat Cibedug Vs Taman Nasional Halimun-Salak Status kepemilikan lahan yang tumpang tindih antara pihak TNGHS dengan MA Cibedug yang mengakibatkan semakin sulitnya MA Cibedug dalam mengakses SDA yang seharusnya dapat diakses dengan mudah sesuai hukum adat yang berlaku.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
8 2006 Kasepuhan Masyarakat Adat Cibedug Vs Taman Nasional Halimun-Salak Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000). Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai bentuk penjagaan dengan ekosistemnya agar tetap dapat mempertahankan hidupnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996, masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
9 2014 Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek VS Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000). Para leluhur (karuhun) mereka yang membentuk komunitas Kasepuhan adalah para pemimpin laskar Kerajaan Padjadjaran yang mundur ke daerah selatan karena kerajaan mereka berhasil dikuasai oleh Kesultanan Banten pada abad ke-16. Sebagai urang tradisi, Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan Masyarakat Kanekes. Masyarakat Kanekes mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Sunda pertama yang menolak keras segala pengaruh luar: pengaruh Islam, Kolonialisme Belanda, dan Indonesia modern saat ini. Sebaliknya, Masyarakat Kasepuhan cukup terbuka terhadap dunia luar sepanjang tidak bertentangan dengan adat yang mereka taati, yaitu tatali paranti karuhun. Keterbukaan tersebut secara struktur sosial merupakan respons adaptif dari integritas sistem kekerabatan, pemerintahan adat, dan ekonomi Kasepuhan,
Taman Nasional
Hutan Konservasi
10 2014 Masyarakat Karang VS Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS Dari total wilayah Desa Jagakarsa 1.081 ha, terdapat 167,625 ha diklaim masuk kawasan TNGHS. Dari 167,625 ha meliputi leuweung kolot/paniisan (1,616 ha), leuweung cawisan (4,157 ha), pemukiman (3,204 ha), kebun (96,573 ha), dan sawah (62,056 ha).
Taman Nasional
Hutan Konservasi
Displaying : 1 of 10 entries, Rows/page: